Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dialog Epistemologi Iqbal dan Pierce dalam Sajian Rodliah Khuzai: Sebuah Ulasan Singkat

23 Agustus 2019   22:28 Diperbarui: 23 Agustus 2019   22:31 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore tadi saya merapikan tumpukan buku-buku lama yang sepertinya sudah rindu untuk kembali dibaca. Di antara buku itu ada Dialog Epistemologi Muhammad Iqbal dan Charles S. Pierce yang ditulis oleh Dr. RODLIYAH KHUZAI, M.Ag. Buku yang saya baca di tahun 2008 lalu. Karena pembacaan ulang membangkitkan kenangan lalu, ada baiknya saya bagi pengalaman baca ini ke publik dengan ulasan sederhana. 

Dialog pemikiran antara Mohammad Iqbal dan Charles S. Pierce secara jelas dan gamblang diungkap dalam buku ini. Keduanya memberi kesan yang begitu kuat terhadap masing-masing komunitasnya dan tentunya menyumbang perubahan besar pada peradaban intelektual. Antara Iqbal dan Pierce terdapat perbedaan epistemologi yang sangat mendasar di dalam penggalian kebenaran. 

Buku ini akan memberikan sumbangan pemikiran yang besar bagi pengembangan metodologi ilmu yang akhir-akhir ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Sebab melimpahnya informasi ternyata tidak cukup mampu mendewasakan cara berpikir dan bersikap seseorang. 

Akal dan Kebangkitan Intelektualisme

Berbagai teori serta konsep tentang akal pikiran telah muncul sejak awal manusia menggunakan pemikirannya. Dalam tradisi filsafat modern Barat sendiri, kita mengenal Rene Decartes. Dia cukup dikenal dengan slogan "Cogito Ergu Sum" yang yang mengandaikan bahwa eksistensi subjek ditentukan oleh kesadarannya sendiri. 

Begitu dahsyatnya pengaruh aliran rasionalisme ini sehingga melahirkan renaissance, yaitu era pencerahan pemikiran di dunia barat. Sampai sekarang, pengaruh aliran rasionalisme masih sangat besar sehingga melahirkan berbagai penemuan ilmu dan teknologi modern. Dari sekian banyak aliran filsafat yang berkembang sepanjang sejarah filsafat barat, yang memiliki pengaruh sangat besar dan memberikan perubahan yang luar biasa adalah skeptisisme.

Skeptisisme sudah cukup populer sejak masa Pra-Socrates, salah seorang tokohnya adalah Pyrrho (360-270 SM), yang menyatakan bahwa pengamatan memberikan pengetahuan yang sifatnya relatif. Jikalau saja pengamatan itu benar, itu hanya berlaku untuk hal-hal lahiriah saja; bukan mengenai hakikatnya. Bukan hanya pengamatan, akal juga memberikan pengetahuan yang relatif. Oleh sebab itu, setiap dalil bisa benar dan bisa pula salah karena anggapan anggapan manusia terhadapnya relatif.

Charles S. Pierce sebagai seorang filsuf modern kontemporer, mengkritik Decartes dengan metode skeptisismenya. Menurutnya, tidak mungkin memulai filsafat dengan keraguan yang sempurna karena keraguan murni memerlukan argumentasi khusus. Bagi Decartes, kriteria kepastian adalah sesuatu yang dipahami secara jelas dan berbeda; hal itu menjadi tolok ukur kebenaran. 

Di sisi lain, Mohammad Iqbal justru menganggap pancaindra sebagai pembuka penemuan realitas, perlu ditindaklanjuti dengan alat lain untuk memperoleh pengetahuan yang lebih lengkap dan sempurna. Namun, tidak semua ilmu yang diperoleh dimulai melalui pancaindra, bisa saja intuisi mendahuluinya.

Epistemologi Modern

Filsafat modern dimulai sejak  tahun 1600 --- 1900, dan filsafat kontemporer beranjak dari akhir periode tersebut. Zaman modern dapat dianggap sebagai sebuah kritik tajam terhadap alam pikir abad pertengahan. Abad pertengahan mengenalkan theoretical science, sebuah usaha untuk memahami dunia. Sedangkan pada abad modern mengajukan pendekatan practical science, sebuah usaha untuk mengubah dunia. 

Renaissance bermakna kelahiran kembali manusia dalam keadaban. Pada masa ini, manusia memperjuangkan pemikiran bebas seperti pada masa Yunani kuno. Disebutlah manusia mulai saat itu sebagai animal rationale karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang. Pada masa modern ini muncul dua aliran besar pemikiran yang dikenal dengan empirisme dan rasionalisme.

Para penganut empirisme, dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut rasionalisme. Menurut penganut aliran empirisme, ilmu tidak bersifat a priori yakni secara intuitif dan mendahului pengalaman melainkan bersifat a posteriori, yaitu diperoleh setelah kita memersepsi sesuatu dalam bingkai pengalaman. 

Bagi penganut empirisme, sumber pengetahuan yang memadai adalah pengalaman. Baik pengalaman lahir yang menyangkut dunia maupun pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman. 

Perintis dan pelopor aliran empirisme itu adalah Francis Bacon (1561 --- 1626)  yang meletakkan dasar metode induksi modern dan mempelopori usaha sistematisasi secara logis prosedur ilmiah. Francis Bacon mengungkapkan bahwa tujuan ilmu ialah memperbaiki nasib umat manusia ketika hidup di dunia. Hal itu hanya akan dicapai dengan mengumpulkan fakta-fakta ilmiah melalui observasi teratur dan menarik teori dari hasil observasi tersebut.

Berbeda dengan cara pandang itu, Rene Decartes menganggap bahwa hasil semua spekulasi dapat disandingkan atau ditunda sampai hal itu jelas. Prinsip-prinsip yang tidak dapat diragukan dapat ditetapkan untuk menghadapi sumber tersebut. Tanpa prinsip-prinsip itu, metode ilmiah atau metafisika justru dapat membahayakan.

Meskipun ia sangat terpengaruh oleh metode eksperimental, Descartes lebih menganggap ilmu bagaikan pohon; meski batangnya berupa fisis, tapi akarnya adalah metafisis. Hanya melalui eksplorasi metafisika, dasar pengetahuan manusia dapat diturunkan. Ia pun menggunakan logika deduktif yang bergantung pada metafisika.

Epistemologi Kontemporer

Alur pemikiran filosofis yang timbul tenggelam dalam sejarah peradaban manusia terus bergulir. Pergumulan pemikiran antara absolutisme vs relativisme, universalisme vs partialisme, subjektivisme vs objektivisme, hingga perenialisme vs historisisme tetap berlangsung. Hal ini nampak jelas dari respon para pemikir kontemporer awal hingga pada puncaknya yaitu aliran Pragmatisme hingga Postmodernisme. 

Pragmatisme merupakan pandangan yang mengajarkan bahwa yang benar adalah yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Maksudnya, ide dan keyakinan itu memiliki nilai kontan kebenaran dalam pengertian pengalaman. Jika suatu ide tidak berhubungan dengan kegunaan praktis maka tidak ada klaim kebenaran baginya.

Postmodernisme, di sisi lain, menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan baku. Ia menolak sistematika uraian atau penyelesaian persoalan yang sederhana dan skematis. Pandangan ini cenderung memanfaatkan nilai nilai yang berasal dari berbagai sumber. Era postmodernisme melihat fenomena sosial, agama, dan realitas fisis apa adanya; tanpa harus terkurung oleh anggapan dasar dan teori baku yang diciptakan pada tradisi modernisme.

Filsafat kontemporer sering digambarkan sebagai aliran analitis karena persoalan analitik begitu dominan, terutama berkenaan dengan isu-isu linguistik. Masalahnya bukan lagi memahami apakah mungkin untuk memeroleh ilmu sebagaimana fokus pada filsafat modern, melainkan menjelaskan syarat-syarat dan prosedur untuk memperoleh ilmu tersebut.

Konstruksi Epistemologi Muhammad Iqbal: Kritik atas Idealisme Platon

Pemikiran Platon bercorak antroposentrisme (manusia sebagai pusat pemikiran) yang dilatarbelakangi oleh pandangan gurunya; Socrates. Meskipun hal itu belum diaplikasikan sepenuhnya. Pada hakikatnya, pemikiran Platon masih bersifat pra-rasional murni dengan unsur-unsur mitos masih menjadi dasar pijakannya.

Menurut Platon, pengetahuan berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keraguan yang muncul  berdasar segala penampilan dan pengalaman jasmani atau indrawi yang bermacam-macam. 

Oleh sebab itu, terdapat pertentangan antara jati diri (being) dan penampilan (becoming) yang dialami setiap manusia. Platon menolak pengetahuan yang berasal dari pancaindra karena dianggapnya sebagai pengetahuan yang artifisial atau palsu.

Iqbal mengkritik epistemologi Platon yang menganggap rendah ilmu yang diperoleh melalui pancaindra dan memandang dunia dan seisinya hanya sebagai bayang bayang yang tidak nyata. Iqbal menolak pendapat Platon dengan pendekatan Quranik. Iqbal memperlihatkan bahwa Tuhan sangat menghargai pancaindra sebagai anugerahNya. 

Sebab itu Tuhan akan meminta pertanggungjawaban atas segala aktivitas yang dilakukan pancaindra yang dalam memeroleh pengetahuan. Ajakan Platon untuk mencapai kebaikan tertinggi dengan cara menjauhi dunia, sangat bertentangan dengan tujuan penciptaan manusia sebagai penguasa di muka bumi. 

Iqbal meyakini bahwa untuk memeroleh pengetahuan tidak cukup hanya menggunakan satu teori (akal), seperti yang dikemukakan Platon tetapi harus melalui kombinasi indra, akal, dan intuisi. Penolakan Iqbal terhadap Platon dan idealismenya bertolak dari pijakannya yang bertentangan dengan paradigma Tauhid yang dipahami Iqbal.

Iqbal memandang Agama bukan sekadar persoalan tabiat manusia, tetapi juga mengatur keseluruhan ekspresi manusia. Iqbal mendasarkan kritik kerasnya atas dikotomi Timur dan Barat sebagai argument tentang dualisme palsu (kebenaran religius vs kebenaran sains). Menurutnya, dualisme itu melahirkan distorsi.

Iqbal menunjukkan bahwa keunikan diri, bila dimengerti semestinya, memegang kunci untuk memahami semua eksistensi. Dia menolak dikotomi, seperti mengada dan menjadi, manusia dan Tuhan, pikiran dan materi, nalar dan intuisi, sains dan agama, subjek dan objek serta pemikiran dan tindakan. Iqbal selalu menyatakan bahwa semangat Al-Quran adalah semangat terhadap hal hal yang kongkret-eksperimental dan anti-klasik. 

Bahkan ia mengungkap lahirnya Islam adalah lahirnya intelektual induktif yang menjadi kebudayaan Islam yang sebenarnya sekaligus menjadi landasan bagi kebudayaan modern. Iqbal menyadari bahwa ilmu pengetahuan merupakan studi objektif yang netral tentang alam. Ia menghendaki sebuah komunitas peneliti yang selalu ingin mencari kebenaran sempurna tanpa memandang kasta, keyakinan, atau warna kulit. 

Merupakan sesuatu yang logis, menurut Iqbal, bahwa dalam diri manusia terdapat seperangkat alat yang berfungsi untuk memeroleh ilmu pengetahuan seperti pancaindra, akal, dan intuisi. Pada awalnya, Iqbal berusaha untuk berlaku seimbang terhadap indra, akal, dan intuisi, tetapi akhirnya ia lebih menekankan pada peran intuisi.

Meski demikian, akar epistemologi Mohammad Iqbal yang semula diusahakan dapat mengatasi kesulitan epistemologi Platon dan dapat membantu keterbelakangan umat Muslim dalam ilmu serta sains ternyata belum cukup memberikan arti yang signifikan. Sebab pada akhirnya, Iqbal terjebak sendiri pada kritiknya terhadap dunia ide yang dikemukakan Platon. Jadi epistemologi Iqbal masih bersifat dogmatis-intuitif.

Konstruksi Epistemologi Charles S. Pierce: Kritik Atas Rasionalisme Descartes

Pierce menyanggah Decartes dengan mengatakan bahwa metode keraguan tidak mungkinkan sebab tidak ada proporsi yang pasti. Pierce tidak dapat membenarkan adanya hal-hal yang tidak dapat dipikirkan, yang menurut Decartes sesuatu yang tidak dapat dijelaskan karena memang Tuhan membuatnya begitu.

Menurut Pierce, meskipun ada pra-anggapan dalam konsensus keyakinan akal sehat, seseorang tidak dapat mengerti tanpa bertanya meskipun dapat disuguhkan kepada mereka kritik secara hati-hati. Pandangan Pierce yang mengkritik keyakinan akal sehat memberi masukan bagi pertimbangan kritik keyakinan terhadap akal sehat dengan mengakui bahwa keraguan dapat berupa refleksi terhadap keyakinan seseorang.

Akal sehat memang diperlukan namun tidak cukup karena ia tidak sanggup menjelaskan dan tidak mengerti sebab sebab kesesatan dan cara berpikir yang palsu. Pierce bersikeras bahwa kebenaran ilmu tidak mutlak tetapi relatif, dinamis, dan terus berubah sesuai dengan dinamikanya. Maka "God made it so"menurut epistemologi Decartes bersifat dogmatis dan tidak memiliki argumentasi yang kuat dalam mempertahankan klaimnya.

Pendekatan Pierce untuk membenarkan nilai pengetahuan teoritis dibuat melalui logika dan teori Etikanya. Etika membahas soalan tujuan dan tidak semata soalan benar atau salah. Karena itu, masalah fundamental etika bukan tentang apakah benar itu, melainkan tentang apa yang telah aku siapkan dengan hati-hati untuk menjawab apa yang ingin aku lakukan, apa tujuanku, dan apa yang aku akan lakukan setelah itu?

Etika menunjukkan tujuan hidup sementara logika dalam pengertian inklusif mengkaji cara-cara mencapai tujuan akal. Karena itu, tidak mungkin mencapai atau meraih logika rasional kecuali bersandarkan pada etika. 

Pierce menekankan bahwa pengetahuan ilmiah bukan sesuatu yang pasti sempurna dan melampaui pencapaian objeknya. Ilmu dan pengetahuan tidak pernah mencapai formulasi yang final atau absolut mengenai alam semesta. 

Pengakuan batasan niscaya dari pengetahuan ilmiah disebut oleh Pierce dengan istilah fallibilisme yaitu sikap hati-hati terhadap ilmu yang dengan sengaja menyembunyikan komitmen yang sempurna dan final terhadap perolehan metode ilmiah. Tetapi di satu sisi, ada semangat kepercayaan terhadap ilmu dan jaminan bahwa ilmu benar-benar menuntun pada kebenaran.

Logika Intuitif versus Logika Ilmiah: Dialog Antara Iqbal dan Pierce

Baik Mohammad Iqbal dan Charles S. Pierce disebut sama-sama pribadi yang religius. Itu terlihat jelas pada konsep-konsep kepercayaan dan keyakinan yang mewarnai pemikiran keduanya. Namun keduanya berbeda pandangan pada wilayah kajian ilmu yang universal.

Iqbal tetap menyatukan antara wilayah teologis-intuitif yang bersifat parsial dengan wilayah kajian ilmu yang bersifat universal demi mempertahankan keyakinannya. Sehingga ia menemukan kesulitan dalam mencari penjelasan secara rasional-argumental. Sementara Pierce sejak awal telah memisahkan dengan tegas antara wilayah kajian teologis-dogmatis dan wilayah kajian ilmu.

Tentang akal, Iqbal terjebak pada pandangan ambigu; kadang ia mencurigai akal sehingga memerlukan bimbingan intuisi, namun kadang pula ia memuji peran akal yang luar biasa. Mencermati hal itu, dapat dipahami bahwa sebenarnya ia mengakui peran akal dalam perkembangan ilmu dan pengetahuan tetapi belum menemukan pola yang pas untuk merumuskannya menjadi bangunan ilmu.

Epistemologi Pierce, di sisi lain, memiliki bangunan yang cukup kokoh. Meskipun ia menilai pendekatan para empiris maupun rasionalis bermasalah tetapi ia tidak menghiraukannya sama sekali. Ia tetap berusaha memadukan dengan menyempurnakannya melalui konsep konsep semiotiknya.

Berbeda dengan Iqbal yang meyakini kebenaran intuisi sebagai kebenaran final, epistemologi Pierce begitu kaya dan kuat menilai logika baru berkenaan dengan metodologi ilmiah. Pemikiran epistemologi Pierce tampaknya lebih menjanjikan dalam penyelesaian masalah dan kesulitan epistemologi modern bila dibandingkan dengan bangunan epistemologi Iqbal.

Baik Iqbal maupun Pierce tidak setuju dengan dikotomi antara rasio dan materi, teori dan praktis, jasmani dan rohani, namun tetap berusaha untuk memadukannya dalam penjelasan. Keduanya pun memandang alam dengan hukumnya sebagai peluang bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penelitian demi kemakmuran dan manfaat sebanyak-banyaknya. 

Epistemologi Iqbal fokus pada asal usul ilmu dan alat/ perangkat yang digunakan dalam memeroleh ilmu, dan lebih memfokuskan pada intuisi. Karena itu ia menerapkan epistemologi idealism-spiritualisme atau modern klasik. Sedangkan Pierce menerapkan epistemologi pragmatis atau analitik kontemporer karena lebih fokus pada metodologi atau logika ilmiah.

Melalui logika ilmiah atau metodologi, Pierce berhasil membuat bangunan ilmu yang cukup kokoh, semuanya teranyam sistematis. Hal ini hanya mampu diimpikan oleh Iqbal, yakni induksi intelektual yang dalam istilah Pierce dikenal sebagai abduksi yang merupakan varian dari induksinya.

Akal yang ada pada bahasan Iqbal belum berkembang menjadi logika, sedangkan pada Pierce telah berkembang menjadi logika yang telah terlatih dalam hal menggunakan cara-cara berpikir yang benar sehingga melahirkan hasil optimal. Penekanan Pierce bukan pada logika formal tetapi pada logika ilmiah sehingga perlu dilakukan dialog intensif-ekstensif antara keduanya untuk menemukan pola pikir baru yang lebih inklusif.

Buku ini, meski sudah lama dan topik bahasannya sudah umum diketahui orang tetap menyajikan bentuk dialog yanf komprehensif. Dua tradisi berpikir berbeda pun dengan latar belakang pengalaman religius berbeda yang dihadirkan oleh kedua tokoh di buku ini toh mampu bertemu pada suatu pokok bahasan yang universal. 

Di tengah limpahan teks yang bertebaran, buku-buku lama sayang untuk dibiarkan bertumpuk saja. Lagipula pengalaman baca akan berbeda di lintas ruang dan waktu; atau tidak berlebihan jika saya katakan pada konteks kedewasaan yang berbeda. 

Apapun itu, bahasan yang dibungkus dialog dari buku ini masih patut kita renungkan. Apalagi topiknya masih hangat diperdebatkan hingga hari ini. Untuk menemani diskusi atau secangkir kopi, buku ini saya rekomendasikan untuk mendinginkan suasana. Mari belajar berdialog!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun