Iqbal tetap menyatukan antara wilayah teologis-intuitif yang bersifat parsial dengan wilayah kajian ilmu yang bersifat universal demi mempertahankan keyakinannya. Sehingga ia menemukan kesulitan dalam mencari penjelasan secara rasional-argumental. Sementara Pierce sejak awal telah memisahkan dengan tegas antara wilayah kajian teologis-dogmatis dan wilayah kajian ilmu.
Tentang akal, Iqbal terjebak pada pandangan ambigu; kadang ia mencurigai akal sehingga memerlukan bimbingan intuisi, namun kadang pula ia memuji peran akal yang luar biasa. Mencermati hal itu, dapat dipahami bahwa sebenarnya ia mengakui peran akal dalam perkembangan ilmu dan pengetahuan tetapi belum menemukan pola yang pas untuk merumuskannya menjadi bangunan ilmu.
Epistemologi Pierce, di sisi lain, memiliki bangunan yang cukup kokoh. Meskipun ia menilai pendekatan para empiris maupun rasionalis bermasalah tetapi ia tidak menghiraukannya sama sekali. Ia tetap berusaha memadukan dengan menyempurnakannya melalui konsep konsep semiotiknya.
Berbeda dengan Iqbal yang meyakini kebenaran intuisi sebagai kebenaran final, epistemologi Pierce begitu kaya dan kuat menilai logika baru berkenaan dengan metodologi ilmiah. Pemikiran epistemologi Pierce tampaknya lebih menjanjikan dalam penyelesaian masalah dan kesulitan epistemologi modern bila dibandingkan dengan bangunan epistemologi Iqbal.
Baik Iqbal maupun Pierce tidak setuju dengan dikotomi antara rasio dan materi, teori dan praktis, jasmani dan rohani, namun tetap berusaha untuk memadukannya dalam penjelasan. Keduanya pun memandang alam dengan hukumnya sebagai peluang bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penelitian demi kemakmuran dan manfaat sebanyak-banyaknya.Â
Epistemologi Iqbal fokus pada asal usul ilmu dan alat/ perangkat yang digunakan dalam memeroleh ilmu, dan lebih memfokuskan pada intuisi. Karena itu ia menerapkan epistemologi idealism-spiritualisme atau modern klasik. Sedangkan Pierce menerapkan epistemologi pragmatis atau analitik kontemporer karena lebih fokus pada metodologi atau logika ilmiah.
Melalui logika ilmiah atau metodologi, Pierce berhasil membuat bangunan ilmu yang cukup kokoh, semuanya teranyam sistematis. Hal ini hanya mampu diimpikan oleh Iqbal, yakni induksi intelektual yang dalam istilah Pierce dikenal sebagai abduksi yang merupakan varian dari induksinya.
Akal yang ada pada bahasan Iqbal belum berkembang menjadi logika, sedangkan pada Pierce telah berkembang menjadi logika yang telah terlatih dalam hal menggunakan cara-cara berpikir yang benar sehingga melahirkan hasil optimal. Penekanan Pierce bukan pada logika formal tetapi pada logika ilmiah sehingga perlu dilakukan dialog intensif-ekstensif antara keduanya untuk menemukan pola pikir baru yang lebih inklusif.
Buku ini, meski sudah lama dan topik bahasannya sudah umum diketahui orang tetap menyajikan bentuk dialog yanf komprehensif. Dua tradisi berpikir berbeda pun dengan latar belakang pengalaman religius berbeda yang dihadirkan oleh kedua tokoh di buku ini toh mampu bertemu pada suatu pokok bahasan yang universal.Â
Di tengah limpahan teks yang bertebaran, buku-buku lama sayang untuk dibiarkan bertumpuk saja. Lagipula pengalaman baca akan berbeda di lintas ruang dan waktu; atau tidak berlebihan jika saya katakan pada konteks kedewasaan yang berbeda.Â
Apapun itu, bahasan yang dibungkus dialog dari buku ini masih patut kita renungkan. Apalagi topiknya masih hangat diperdebatkan hingga hari ini. Untuk menemani diskusi atau secangkir kopi, buku ini saya rekomendasikan untuk mendinginkan suasana. Mari belajar berdialog! Â