Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan Berekspresi dalam Timbangan Moral: Bijak Menyikapi Suatu Peristiwa

22 Agustus 2019   22:39 Diperbarui: 22 Agustus 2019   22:50 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Via TEMPO-Simpulan yang terburu-buru bisa berakibat kerusakan yang meluas. 
Via TEMPO-Simpulan yang terburu-buru bisa berakibat kerusakan yang meluas. 

Reflective Equilibrium: Kesatuan Nalar dan Nurani

Kedua patokan moralitas tadi, baik menurut Hume maupun Kant, masing-masing sifatnya problematik. Strategi yang ditawarkan Hume dapat menjadikan seseorang gagal mengantisipasi kondisi sosial di lingkungannya sebab terpaku pada konsep moralnya sendiri sedangkan strategi yang dijelaskan Kant menjadikan kondisi sosial tersebut dapat menjebak individu untuk ikut arus atau terbawa emosi sehingga rentan menggugurkan status agen moral seseorang.

Untuk tetap memfasilitasi kreasi tanpa harus terpenjara oleh pengawasan ketat moralitas, kedua patokan itu mesti diterapkan secara bersama; masing-masing patokan moralitas menutupi kekurangan satu sama lain. Caranya adalah jika kita sudah merasakan empati yang kuat dan mendukung sentimen kita ketika berhadapan dengan suatu peristiwa, kita mesti menyambutnya dengan pertanyaan kepada diri sendiri untuk mengklarifikasi sentimen yang ada pada diri kita. Pertanyaan itu dapat berupa apa skenario yang bisa ciptakan jikalau saja sentimen itu kita tujukan pada semua orang?

Dalam kasus rasisme terhadap saudara(i) kita dari Papua tadi, jika kita dalam posisi mereka tentunya kita akan merasa sangat sedih diperlakukan berbeda dari yang lain. Nah, saat itu muncullah rasa empati kita karena kita mampu merasakan penderitaan (sentimen) dari sesama kita. Namun jika kita marah dan melampiaskan perlakuan yang sama (meneriaki dengan nama binatang, misalnya) terhadap mereka yang berperilaku rasis kepada saudara(i) kita dari Papua maka secara morel kita sama saja dengan para pelaku rasisme itu.

Nah, ketika itu kita sadari dengan baik, dan hanya dengan bersikap serta dibarengi berpikir tenang hal itu bisa terwujud maka saat itu pula kita mengetahui ada yang salah dengan proses nalar kita. Bahwa empati yang muncul dalam diri kita disetir oleh sentimen yang salah. Kita membiarkan kebencian itu tersalur kepada orang lain, meski orang itu berbuat salah, dan tidak berupaya menahan kebencian itu untuk terhenti pada diri kita. Itu lah mengapa setiap perilaku salah secara morel jika ditanggapi dengan nalar yang kuat akan berakhir dengan kekacauan besar yang menimpa semua orang.

Empati yang muncul terhadap orang lain mesti didorong oleh sentimen yang tidak memihak. Kita mengutuk mereka yang berperilaku rasis tanpa berbalik berperilaku rasis terhadap mereka yang hanya akan membuat perilaku rasis mereka semakin menjadi-jadi. Kita mengangkat sentimen moral kita ke posisi prinsip moral; dari konsep moral yang kita pahami menjadi patokan moralitas yang dapat diacu oleh siapa saja.

Sebaliknya, ketika kita percaya bahwa setiap orang memiliki sentimen yang dapat memicu empati terhadap sesamanya maka kita pun akan merasa terawasi. Artinya, ketika kita berniat ingin melakukan sesuatu yang buruk, kita membayangkan skenario di mana semua orang akan mengutuk apa yang kita lakukan. Karena kita merasa akan melakukan hal yang sama jika berhadapan dengan situasi atau peristiwa tersebut. Pada momen itu, kita menurunkan prinsip moral dari patokan moralitas yang berlaku secara universal menjadi konsep moral yang kita anut secara pribadi.

Kombinasi kedua strategi bernalar itu untuk sampai pada suatu simpulan dengan terlebih dahulu menghadapkannya pada pengadilan moral akan membuat kita lebih tenang menghadapi sekaligus menyikapi suatu peristiwa. Boleh dikata, seperti klaim Thomas Dabay, kombinasi itu serupa dengan ide 'reflective equilibrium' yang dicetuskan John Rawls. Namun sekali lagi ditekankan bahwa menerapkan strategi ini tidak cuma butuh sikap sabar namun juga sikap hati-hati agar tidak dibelokkan oleh emosi.

Seperti yang saya sampaikan di paragraf keempat, tulisan ini hanya sebagai salah satu panduan dalam pendewasan berliterasi secara digital; terutama bagi diri saya sendiri. Ya, sebagai pengingat sekaligus pemandu untuk saya pribadi dan mereka yang mau peduli. 

Ruang ekspresi yang semakin luas perlu disikapi dengan menyadari batasan-batasan yang kita miliki. Informasi yang sampai ke kita perlu dicerna dengan baik untuk menghasilkan pemahaman yang baik pula. Setelah itu dihadapkan di depan pengadilan moral yang mengacu baik pada konsep moral yang kita anut dan juga patokan moralitas yang berlaku secara universal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun