Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan Berekspresi dalam Timbangan Moral: Bijak Menyikapi Suatu Peristiwa

22 Agustus 2019   22:39 Diperbarui: 22 Agustus 2019   22:50 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hume beranggapan bahwa simpulan logis yang baik mesti lulus pengadilan moral. Sentimen itu akan mengawal opini dan perilaku kita terhadap suatu peristiwa. Masalahnya adalah, tidak setiap orang berbagi sentimen yang sama terhadap suatu peristiwa atau perilaku. Ada yang merasa senang ketika perilaku rasisme ditujukan kepada suatu etnis tertentu. Begitupun dengan orang yang merasa paling benar ketika mengomentari ritual ibadah orang lain atau mereka yang cuek/ tidak merasa bersalah ketika membuang sampah sembarangan.

Hume sudah mengantisipasi hal tersebut. Menurutnya, kita jangan menyamakan sentimen dengan empati. Betul bahwa setiap orang punya kapasitas dalam hal membangun sentimen. Namun, empati bukanlah sentimen. Empati merupakan kapasitas bagi seseorang untuk merasakan sentimen dari orang lain. Seperti cermin, istilah yang dipilih oleh Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments-nya, Dengan cermin itu kita menemukan diri kita pada diri orang lain. Sehingga kita tidak ingin orang itu tertimpa musibah sama seperti kita tidak ingin musibah itu menimpa diri kita sendiri.

Dalam kasus orang yang merasa senang ketika orang lain menderita atau menunjukkan perilaku tidak bersalah saat melakukan sebuah kesalahan adalah contoh seseorang gagal melihat sentimen pada diri orang lain. 

Ia mungkin merasa bahwa ia salah ketika melakukan hal itu namun toh ia tetap membiarkan orang lain menerima akibat dari perbuatannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sentimen tidak menjamin bahwa seseorang punya kualitas moral yang baik. Dari situ pula disimpulkan bahwa sentimen tidaklah cukup untuk membenarkan sebuah simpulan dan putusan.

Via ANTARA- Perilaku Rasisme hanya mampu dilakukan oleh mereka yang mati rasa. 
Via ANTARA- Perilaku Rasisme hanya mampu dilakukan oleh mereka yang mati rasa. 

Lalu bagaimana patokan moralitas kedua; prinsip dasar yang dipahami secara universal bahwa manusia punya kapasitas sebagai agen moral yang dapat diekspresikan dengan leluasa? Nah, prinsip ini yang merupakan pokok bahasan moral dari Immanuel Kant. Menurutnya, untuk menemukan prinsip itu dalam diri kita maka jalannya adalah dengan mengasah kekuatan nalar. Nalar yang mempertimbangkan argumen-argumen yang baik akan menuntun kita pada simpulan yang lebih jernih yang tidak akan berseberangan dengan nurani. Masalahnya, bagaimana kita yakin bahwa argumen yang kita ajukan itu baik?

Kant menuntun kita, sebagai langkah awal, untuk membayangkan sebuah skenario. Ketika berhadapan dengan sebuah situasi atau peristiwa, hal-hal apa saja yang akan kita lakukan? Sebagai contoh, seorang pemuka agama engkau dapati sedang menyinggung simbol dari agama lain dan engkau adalah satu-satunya orang yang sempat merekam kejadian itu. Nah, ada sekelompok orang yang ingin mendapatkan bukti dari kejadian itu dan engkau berbohong kepada mereka bahwa engkau tidak punya rekamannya.

Pada konteks itu, engkau menggunakan kebohongan untuk menutupi sesuatu yang engkau anggap akibatnya lebih besar. Taruhlah bahwa jika rekaman itu tersebar, akan mengundang keributan di tempat lain yang kejadian itu tidak akan terjadi jika engkau tidak menyebarkan rekamannya. Lagipula, engkau cukup menjelaskan kepada pemuka agama itu atau mereka yang sepaham dengannya bahwa pandangan mereka pada satu sisi keliru. Itu dapat engkau lakukan tanpa mengundang keributan dan menjaga agar informasi tertentu tidak perlu disebarluaskan.

Bagi Kant, pertimbangan moral untuk tidak menyebarkan rekaman itu, meskipun itu benar, lahir karena engkau membayangkan sebuah skenario di pikiranmu sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan. Skenario itu menjawab pertanyaan; bagaimana jika orang lain bereaksi terhadap perbuatan yang saya lakukan? Apakah reaksi itu dapat saya kendalikan? Apabila engkau yakin bahwa, dengan segala pertimbangan, argumen yang engkau ajukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu akan konsisten dengan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh skenario yang telah engkau buat maka hal itu secara morel dapat dibenarkan.

Namun tidak cukup sampai di situ. Meskipun simpulan dan putusan itu telah dibenarkan, masih ada satu pertanyaan lagi yang harus dijawab; perlukah hal itu dilakukan? Pertanyaan itu untuk memastikan bias dalam skenario yang kita buat. Jangan sampai kita saja yang paranoid; membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya tidak butuh perhatian. Sebab terkadang ketika kita sudah yakin pada suatu simpulan dan kita pun secara pasti akan melakukannya, ternyata hal itu tidak perlu dan sama sekali tidak memberikan dampak signifikan terhadap kondisi/ situasi di luar pikiran kita.

Selain membangun skenario sebagai simulasi uji nalar terhadap suatu peristiwa, Kant juga mengingatkan kita untuk mempertimbangkan subjek yang dilibatkan oleh skenario tersebut. Menurutnya, seseorang sebagai agen moral harus memandang orang lain setara dengannya sebagai agen moral; manusia sesama manusia. Itu berarti jika seseorang bersikap rasis, menganggap orang lain lebih rendah dari dirinya maka ia tidak bisa dianggap sebagai agen moral. Sehingga opini dan perlakuannya kepada orang lain itu tidak bisa dibenarkan secara morel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun