Menyita buku juga bertentangan dengan prinsip demokrasi yang begitu dihargai bangsa ini. Buku melambangkan kebebasan mengutarakan pendapat yang dilindungi oleh konstitusi. Menyita buku berarti merampas keistimewaan tersebut sekaligus merupakan pembangkangan terhadap ideologi bangsa.
Kalau toh alasannya karena buku itu memuat ideologi yang dilarang oleh konstitusi, perlu dipahami bahwa hal tersebut dalam rangka pergerakan yang ditujukan untuk menyerang ideologi dasar negara kesepakatan kita semua. Bukan cuma Marxisme atau Leninisme, ajaran apa pun yang melandasi suatu gerakan atau organisasi yang berseberangan dengan Pancasila dan UUD 1945, harus ditolak.
Kajian terhadap ideologi tersebut bukanlah bagian dari penerapan ideologi yang dimaksud. Sebab, secara tidak langsung, hal itu pun menyiratkan penghinaan terhadap institusi Perguruan Tinggi di negara ini yang terus berusaha menelurkan generasi yang tidak lagi berpikir picik terhadap hal semacam itu.
Sebagai bangsa dengan latar belakang peradaban tinggi, razia dan penyitaan buku bukanlah sesuatu yang wajar. Berilah kesempatan buku itu untuk membela dirinya sendiri dengan cara kita membacanya secara utuh. Jangan-jangan selama ini, kita hanya disetir oleh prasangka buta sehingga kebencian yang lahir karenanya sesungguhnya tidak berasalan.
Akhir kata, buku sebagai monumen peradaban manusia menjadi markah penunjuk arah ke mana peradaban ini akan dibawa. Razia dan penyitaan buku, dengan demikian, merupakan tindakan vandalisme atas monumen tersebut sekaligus menistakan peran mereka yang berusaha memberikan secuil kontribusinya untuk kebaikan kita bersama. Buku adalah warisan kekayaan peradaban yang patut kita lestarikan dan wariskan.
Mari membaca, mari jaga kewarasan kita!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H