Mohon tunggu...
Kebijakan Artikel Utama

Reposisi Politik Pertanian 2019 - 2024

11 Juli 2018   10:21 Diperbarui: 12 Juli 2018   12:29 3741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, pada tahun yang sama diputuskan impor beras November (318.925 ton), Desember (291.981 ton) dan dilanjutkan pada Januari 2016 (382.546 ton), Februari (296.375 ton), Maret (303.077 ton). Demikian juga terjadinya serangan Wereng Batang Coklat (WBC) tahun 2017. Pemerintah bergeming bahwa WBC bukanlah sesuatu yang serius.

Kementrian Pertanian kembali blunder dengan mengeluarkan pernyataan bahwa terjadi peningkatan produksi gabah nasional dari 79.1 juta ton GKG menjadi 81.6 juta ton GKG. Padahal sedang terjadi ancaman gagal panen sebesar 25-45 % di Pulau Jawa, hasilnya pun dapat ditebak, Impor kembali dilakukan untuk mengurangi resiko kekurangan pangan secara nasional.

Ancaman Tata Kelola Pertanian yang Buruk

Desa Daulat Benih yang digagas dan dibangun belum memberikan pengaruh yang signifikan, 1 berbanding 79. Jumlah yang dicanangkan dianggap belum mampu untuk menyangga kebutuhan benih seluruh desa di Indonesia. Desa daulat benih juga tidak mencirikan secara jelas kebutuhan benih nasional dan strategi pencapaiannya, padahal diversifikasi benih menentukan diversifikasi pangan. 

Desa Daulat Benih yang dikembangkan selama ini tidak merujuk kebutuhan keragaman benih nasional dan rencana diversifikasi pangan sehingga Desa Daulat Benih hanya penghasil benih pangan utama saja terutama benih padi. 

Selain sebagai penghasil benih padi, desa daulat benih juga tidak merubah sturuktur pengusaan benih. Berdasarkan kajian Third World Network bahwa 90 % penguasaan benih padi hibrida, 90% benih jagung hibrida dan 70 % benih hortikultura adalah perusahaan Transnasional. 

Hal lain adalah kondisi lahan pertanian yang cenderung kritis. Penggunaan pupuk sintetis sudah tidak dapat dijadikan patokan lagi. Kajian Pupuk (2009) sudah memberikan peringatan yang keras bahwa penggunaan pupuk sintetis berlebihan tidak berpengaruh terhadap peningkatan hasil. 

Peningkatan penggunaan Urea sebesar 80,8%, TSP/SP36  sebesar 302%,  ZA/AS sebesar 371% dan  NPK sebesar 8220% hanya meningkatkan produksi padi 17,4% atau meningkatkan 51,90 juta ton menjadi  60,93 juta ton.

Penguasaan lahan pertanian dan Rumah Tangga Pertanian juga menjadi perhatian serius. Ketimpangan agraria dimana 0,2 % penduduk menguasai 56 % asset nasional dan Lahan pertanian pangan yang menghidupi 91,9 juta jiwa petani kecil hanya bertambah 2,96 % (1986 -- 2012), sedangkan lahan perkebunan yang dimiliki sedikit orang bertambah 144 %. Penurunan jumlah Rumah Tannga (RT) Pertanian juga menjadi maslaah yang tidak boleh diabaikan. 

Penurunan RT Pertanian dari 31,170 juta (2003) menjadi 26,126 juta (2013) sudah mencerminkan kekhawatiran dengan hilangnya 5 juta Rumah tangga pertanian. Kondisi luas lahan yang dimiliki petani juga belum beranjak dari luas 0.2 Ha per Rumah Tangga Petani. 

Seluruh prasyarat menuju krisis pangan dan lahan pertanian sudah terjadi yakni  berupa penguasaan petani atas benih yang rendah, luas lahan yang sempit, harga yang tidak menentu, lahan cenderung kritis dan levelling off, dan tidak bersatunya pemerintah dengan kaum tani karena komunikasi yang buruk. Seolah peringatan krisis pangan yang akan terjadi pada tahun 2025 akan terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun