Mohon tunggu...
Kebijakan Artikel Utama

Reposisi Politik Pertanian 2019 - 2024

11 Juli 2018   10:21 Diperbarui: 12 Juli 2018   12:29 3741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: kompas/P RADITYA MAHENDRA YASA

Usia Kerja Kabinet  Kabinet Jokowi-JK akan berakhir. Lumbung Pangan Dunia, sebagai cita-cita dan arah perjuangan politik pertanian menyisakan banyak catatan. Bukan hanya cita-cita dan arah perjuangan tersebut terkesan abai dengan kondisi nasional tapi juga gagal pencapaian. Politik pertanian untuk memerangi kartel pangan belum dimenangkan, gonjang-ganjing harga, stok pangan nasional yang menghawatirkan dan kesejahteraan petani tidak terwujud.

Kondisi pertanian tahun 2014-2018 tidak memberikan catatan baik. Perbaikan jaringan irigasi, waduk, pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR), Subsidi Benih dan Pupuk dengan menetapkan program Swasembada 6 komoditas sampai dengan tahun 2019, bagi-bagi Alsintan, Toko Tani Indonesia (TTI), Program PAJALE, Upsus tidak menjamin juga untuk menghentikan impor pangan. 

Meskipun sudah ditopang dengan peningkatan drastis anggaran pertanian dan pangan sebesar Rp. 15,47 tahun 2014 menjadi 22,6 Trilliun tahun 2018, walhasil impor beras tetap tidak dapat dihentikan. 

Berdasarkan kajian Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani (AB2TI) tahun 2017 Indonesia tetap melakukan impor beras sepanjang 2014-2017 yakni sebesar 844.191 ton (2014), 861.630 ton (2015), 1.281.213 ton (2016), 307.526 ton (2017). 

Impor pangan merupakan indikator ketidak mampuan petani secara nasional untuk menyangga pangan. Kekurangan stok pangan berakibat terjadinya gejolak harga pangan. Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp. 9.450 per kg hanya bertahan satu tahun yakni pada tahun 2014, kenaikan harga beras diatas HET mulai tidak dapat dikendalikan awal Februari tahun 2015. 

Berdasarkan kajian AB2TI (2017) Harga beras medium sepanjang tahun 2015 berkisar antara Rp. 9.700-10.400, tahun 2016 berkisar antara Rp. 10.500-10.800, tahun 2017 berkisar harga Rp. 10.600-10.900 dan paling fenomenal adalah awal tahun 2018 harga beras medium mencapai Rp. 11.400/Kg. 

Harga beras yang melambung tinggi tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani. Keuntungan beras tetap ada di pedagang sebab rantai pasok dan distribusi beras yang panjang merupakan keuntungan terpelihara pedagang.

Tata Komunikasi yang Buruk.

Komunikasi pencapain kinerja kementrian pertanian selalu menyisakan hal yang menggelikan. Tata komunikasi yang dibangun selalu bombastis dan berlebihan bahkan kadang nihilisme terhadap kinerja petani dan kinerja kementrian pertanian masa sebelumnya. Seolah seluruh pencapaian produksi pangan nasional adalah usaha sendiri bukan usaha segenap bangsa Indonesia. 

Komunikasi yang buruk terjadi beberapa kali sebut saja pernyataan Mentan tentang perbandingan antara petani Indonesia dan Petani Korea Selatan yang menyudutkan petani Indonesia dengan kalimat "Petani Indonesia malas". 

Komunikasi yang buruk juga ditampilkan ketika terjadi impor beras tahun 2015 dan 2017. Pemerintah tampil ngotot bahwa terjadi peningkatan produksi sebesar 6,42% atau surplus 10 juta ton beras pada tahun 2015. 

Namun, pada tahun yang sama diputuskan impor beras November (318.925 ton), Desember (291.981 ton) dan dilanjutkan pada Januari 2016 (382.546 ton), Februari (296.375 ton), Maret (303.077 ton). Demikian juga terjadinya serangan Wereng Batang Coklat (WBC) tahun 2017. Pemerintah bergeming bahwa WBC bukanlah sesuatu yang serius.

Kementrian Pertanian kembali blunder dengan mengeluarkan pernyataan bahwa terjadi peningkatan produksi gabah nasional dari 79.1 juta ton GKG menjadi 81.6 juta ton GKG. Padahal sedang terjadi ancaman gagal panen sebesar 25-45 % di Pulau Jawa, hasilnya pun dapat ditebak, Impor kembali dilakukan untuk mengurangi resiko kekurangan pangan secara nasional.

Ancaman Tata Kelola Pertanian yang Buruk

Desa Daulat Benih yang digagas dan dibangun belum memberikan pengaruh yang signifikan, 1 berbanding 79. Jumlah yang dicanangkan dianggap belum mampu untuk menyangga kebutuhan benih seluruh desa di Indonesia. Desa daulat benih juga tidak mencirikan secara jelas kebutuhan benih nasional dan strategi pencapaiannya, padahal diversifikasi benih menentukan diversifikasi pangan. 

Desa Daulat Benih yang dikembangkan selama ini tidak merujuk kebutuhan keragaman benih nasional dan rencana diversifikasi pangan sehingga Desa Daulat Benih hanya penghasil benih pangan utama saja terutama benih padi. 

Selain sebagai penghasil benih padi, desa daulat benih juga tidak merubah sturuktur pengusaan benih. Berdasarkan kajian Third World Network bahwa 90 % penguasaan benih padi hibrida, 90% benih jagung hibrida dan 70 % benih hortikultura adalah perusahaan Transnasional. 

Hal lain adalah kondisi lahan pertanian yang cenderung kritis. Penggunaan pupuk sintetis sudah tidak dapat dijadikan patokan lagi. Kajian Pupuk (2009) sudah memberikan peringatan yang keras bahwa penggunaan pupuk sintetis berlebihan tidak berpengaruh terhadap peningkatan hasil. 

Peningkatan penggunaan Urea sebesar 80,8%, TSP/SP36  sebesar 302%,  ZA/AS sebesar 371% dan  NPK sebesar 8220% hanya meningkatkan produksi padi 17,4% atau meningkatkan 51,90 juta ton menjadi  60,93 juta ton.

Penguasaan lahan pertanian dan Rumah Tangga Pertanian juga menjadi perhatian serius. Ketimpangan agraria dimana 0,2 % penduduk menguasai 56 % asset nasional dan Lahan pertanian pangan yang menghidupi 91,9 juta jiwa petani kecil hanya bertambah 2,96 % (1986 -- 2012), sedangkan lahan perkebunan yang dimiliki sedikit orang bertambah 144 %. Penurunan jumlah Rumah Tannga (RT) Pertanian juga menjadi maslaah yang tidak boleh diabaikan. 

Penurunan RT Pertanian dari 31,170 juta (2003) menjadi 26,126 juta (2013) sudah mencerminkan kekhawatiran dengan hilangnya 5 juta Rumah tangga pertanian. Kondisi luas lahan yang dimiliki petani juga belum beranjak dari luas 0.2 Ha per Rumah Tangga Petani. 

Seluruh prasyarat menuju krisis pangan dan lahan pertanian sudah terjadi yakni  berupa penguasaan petani atas benih yang rendah, luas lahan yang sempit, harga yang tidak menentu, lahan cenderung kritis dan levelling off, dan tidak bersatunya pemerintah dengan kaum tani karena komunikasi yang buruk. Seolah peringatan krisis pangan yang akan terjadi pada tahun 2025 akan terwujud.

Politik Kesejahteraan Kaum Tani

Membalik keadaan yang sekarang harus menjadi tugas politik kaum tani. Petani yang tidak berdaulat atas benih, hasil panen dan harga harus merebut kedaulatannya. Petani harus diberikan prasyarat kedaulatan berupa reforma agraria sejati, agroekologi, dan  terwujudnya kedaulatan pangan.

Reforma Agraria

Menjungkirbalikan struktur pengusaan tanah tidak seharusnya menjadi agenda berdarah dan penuh kepiluan. Pemerintah sudah mulai dengan membagi-bagi sertifkat lahan. Pengakuan lahan memang prasyarat yang utama namun jauh diatas harus terjadi perubahan struktur penguasaan lahan.

Tanah harus didistribusikan kepada petani. Luas lahan petani harus ditambah untuk menyangga pangan nasional, untuk meningkatkan kesejaheraan petani, menambah Nilai Tukar Petani dan menghentikan urbanisasi. 

Kaum tani tidak harus berbondong-bondong lagi ke kota mencari penghidupan. Desa harus menjadi basis kekuatan nasional. konflik lahan harus berhenti dan desa kembali berdaulat, aman, nyaman dan sentosa. Romantisme struktur pengausaan lahan dapat dipelajari dari kisah sukses Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra  (MST) di Brazil. 

Okupasi lahan oleh masyarakat tak bertanah mampu kembali menghidupkan Desa-desa baru yang komunal. Desa yang terorganisir yang mampu memberikan pangan yang sehat dan jaminan masa depan yang baik bagi anggota komunalnya. Reforma agraria merupakan perwujudan dari terlaksananya pengakuan hak atas pangan.

Agroekologi

Agroekologi merupakan sebuah pendekatan pertanian yang dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi; metabolisme alam, sistem sosial, dan budaya; serta pengetahuan lokal. Praktek agroekolgi dapat berbeda satu wilayah dengan wilayah lain, termasuk perbedaan praktek karena perbedan sosial dan budaya, namun prinsip-prinsip agroekologi tetap harus diterapkan. 

Prinsip-prinsip agroekologi adalah Menggunakan benih lokal (Adapted Seed), Meningkatkan bahan organik dalam tanah untuk memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah, sistem Polikultur untuk meningkatkan daya tahan tanaman dan kesehatan tanaman serta menghindari serangan hama dan ledakan hama, Perlakuan konservasi tanah untuk menyehatkan tanah dan menghindari terjadinya krisis lahan dan  Mengelola keragaman hayati di lahan. Prinsip-prinsip agroekologi inilah yang mampu menguatkan kelembagaan petani. 

Pengerjaan pertanian harus dikembalikan sebagai pekerjaan gotong royong (komunal). Pengadaan benih, pupuk organik (pupuk utama), lembaga pendidikan petani dan lembaga pemasaran hasil pertanian harus diatur sendiri di tingkat desa. Kaum tani harus bergerak dan bergeser posisi dari objek menjadi subjek pertanian.

Kedaulatan Pangan

Dasar dan Mandat kedaulatan pangan sudah terwujud ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Dasar dan Mandat itu berupa Pancasila dan UUD 1945, UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Bab II Pasal 2: Penyelenggaraan Pangan dilakukan dengan berdasarkan asas:  a. kedaulatan), UU No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Bab II Pasal 2: Perlindungan dan Pemberdayaan Petani berasaskan pada: a. kedaulatan), UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 18 Juli 2013 tentang gugatan petani terhadap UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Pergeseran paradigma ketahanan pangan yakni Situasi dimana semua orang, pada setiap waktu memiliki akses secara fisik, sosial dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi (FAO). 

Tanpa mempermasalahkan jenis, cara produksi dan darimana pangan berasal harus diganti menjadi pangan diproduksi secara sehat oleh petani Indonesia. Perubahan paradigma harus dilakukan untuk menjadikan praktek impor sebagai permasalahan kedaulatan bangsa bukan sekedar permasalahan kekurangan stok pangan. Tujuh Pilar Kedaulatan Pangan Menurut Dwi Andreas Santosa (2014) adalah sebagai berikut: 

1. Hak atas pangan; redistribusi tanah untuk petani; 

2. Akses terhadap sumberdaya produktif (akses petani kecil terhadap sumberdaya air, genetik dan SDA); 

3. Model pertanian agro-ekologi berbasis komunitas dan keluarga (Pertanian Organik, SRI, pertanian berkelanjutan);  

4. Rasionalisme hijau: pengakuan tentang kompleksitas produksi pangan, hubungan komuna petani-petani serta petani-alam; 

5. Perlindungan petani (dari perdagangan pangan internasional yang tidak adil) dan 

6. Demokratisasi Petani (petani kecil memiliki hak untuk menetapkan kebijakan pertanian pada semua tingkatan yang berhubungan dengan pertanian) contoh ada "Farmer Jury" di India dan Gerakan kedaulatan pangan di India, dengan 1,21 milyar penduduk masih mampu mengekspor beras 4,5 juta ton, jagung 2,2 juta ton, dan tepung kedelai 4,2 juta ton (2011). 

7. Reposisi Politik Pertanian adalah membalik arah pertanian dari berbasis korporasi menjadi berbasis petani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun