Mohon tunggu...
Azwar Anas
Azwar Anas Mohon Tunggu... Karyawan Bank Syariah -

kumpulan puisi jalanan http://penyairindo.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kuajarkan Tentang Emak

16 Desember 2015   13:46 Diperbarui: 16 Desember 2015   13:52 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini aku tak mau kehilangan pandangan dari sesosok perempuan tua di dapur itu, sosok yang semakin tua seiring bertambahnya garis-garis keriput di mukanya, aku sungguh ingin menyapa dan memeluknya sekarang juga, kerinduan ini sudah berada di ujung rasa, menggelora, kadang menyiksa hati karena aku merasa durhaka karena meninggalkanya, aku ingin sekali waktu itu bawa Emak ke Australi, namun Emak menolaknya karena sesuatu hal yang ia tidak bisa tinggalkan, rutinitas sore hari itu, Emak lebih bahagia melakukannya, bukan karena dia tidak mau tinggal denganku di Australi. Aku paham betul keinginan Emak, dan aku masih ingat saat berangkat ke Australi hanya gethuk dan ridho bekal dari Emak yang aku anggap cukup dan telah membulatkan keyakinanku untuk berangkat.

Aku terus pandangi dari bangku ruang tengah, Emak masih belum sadar atas kehadiranku, mungkin dikiranya aku Mbok Lasmi atau Wo Sairun tetangga sebelah yang sering bertamu atau kadang mengantar sayur atau lau untuk emak, mereka sudah Emak anggap keluarga sendiri, mereka pun juga menganggapku sebagai anak mereka sendiri.

"Ayah!" Teriakan itu mengagetkanku, teriakan anak laki-lakiku yang langsung menemaniku duduk, sambil menatap ke sudut dimana pandanganku tadi terjatuh. Ternyata anakku Syair telah membangunkanku dari lamunan memori tentang Emak.

"Nak, lihat di dapur itu, dia ibu ayahmu ini, ayah panggil dia Emak, sudah tua, berbuat apa adanya, tapi jangan pernah melihat dari apa yang kamu lihat sekarang," ujarku pada anak tertuaku yang baru kelas empat sekolah dasar.

"Dia ibunya ayah?" tanya anakku dengan penasaran.

"Iya nak, kamu baru melihat pertama kali siang ini, lihat tangannya nak, kasar bukan?" tanyaku.

"Iya yah, kasar, seperti tergores-gores sekeliling lengannya," jawab Syair.

"Tangannya kasar karena dia relakan kulit halusnya untuk merawat anak satu-satunya hingga dewasa. Lihat uban di kepalanya nak, banyak bukan?"

"Iya ayah, hampir semua rambutnya berwarna putih," jawab Syair membenarkan.

"Begitu pula pengorbanannya bagi anaknya, seperti uban-uban itu, ayah tak dapat menghitungnya."

Begitu aku ceritakan lebih banyak lagi kisah tentang perempuan tua di dapur itu pada Syair anak pertamaku. Aku berharap dia mengerti maksudku, paling tidak setelah dewasa kelak dia akan ingat ceritaku ini. Dia Ku anggap sudah bisa mencerna berbagai pengalaman hidup, aku tahu karena Syair selalu menanyakan banyak hal tentang kehidupan, dia selalu menjaga tugas dengan baik menjaga adik-adik perempuannya Ghazia dan Affafa ketika ditinggal di rumah sendirian jika Aku dan istriku pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun