Mohon tunggu...
Azriel Khair Fadillah
Azriel Khair Fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia

Saya tertarik mengeksplorasi berbagai jenis seni dan kreativitas. Selalu terbuka pada pengalaman dan ide baru. Saya menulis untuk berbagi, saya berkarya untuk menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Simbolisme dalam Perlawanan: Representasi Visual Bendera Demonstrasi di Korea Selatan

19 Desember 2024   14:16 Diperbarui: 19 Desember 2024   14:16 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Association of People Who Still Call It Twitter (Sumber: X)

Pada awal Desember 2024, Korea Selatan menjadi pusat perhatian internasional akibat gelombang protes besar-besaran yang dipicu oleh keputusan Presiden Yoon Suk Yeol menetapkan darurat militer. Keputusan ini, yang diumumkan mendadak pada tengah malam, memicu kemarahan publik karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip demokrasi. Yoon beralasan bahwa darurat militer diperlukan untuk menangkal ancaman dari Korea Utara dan "elemen anti-negara." Namun, langkah tersebut memicu ketidakpercayaan rakyat dan parlemen, yang dengan tegas menolak kebijakan tersebut melalui voting resmi.  

Sebagai respons, aksi demonstrasi mulai bermunculan di berbagai penjuru Korea Selatan. Demonstrasi puncaknya direncanakan melibatkan 200.000 orang di pusat kota Seoul. Selain tuntutan agar Yoon mundur, demonstrasi ini juga menampilkan elemen unik, yakni adanya penggunaan bendera-bendera kreatif dengan tulisan-tulisan yang menyampaikan pesan solidaritas dan kemandirian. Dalam konteks ini, bendera menjadi alat komunikasi yang mencerminkan identitas para demonstran sekaligus strategi simbolik untuk menjawab kritik masa lalu, di mana aksi protes sering dicap sebagai hasil mobilisasi pihak-pihak tertentu, seperti partai politik atau organisasi tertentu.  

Dikutip dari suatu utas yang diunggah akun @tang__kira di aplikasi X (sebelumnya Twitter) pada tanggal 8 Desember 2024, tulisan pada bendera-bendera ini beragam, mulai dari yang humoris hingga yang penuh sindiran, seperti "Paguyuban Babu Kucing Gembrot," "Asosiasi Orang yang Masih Manggil Aplikasi Ini Twitter," dan "Federasi Diem di Rumah Aja." Kreativitas ini tidak hanya mempertegas bahwa demonstrasi dilakukan atas kehendak pribadi, tetapi juga mencerminkan budaya Korea Selatan yang kaya akan simbolisme visual dalam perjuangan sosial. 

Perbandingan menarik dapat dilihat dalam demonstrasi di Indonesia, di mana para demonstran juga menunjukkan kreativitas serupa melalui media yang berbeda. Hal ini juga disampaikan dalam salah satu balasan pada utas  milik @tang__kira di X yang membahas bendera-bendera dalam demonstrasi Korea Selatan. Salah satu akun menyebutkan bahwa budaya membawa poster dengan tulisan unik telah menjadi bagian dari demonstrasi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh, dalam demonstrasi di depan Gedung DPR, seorang mahasiswa membawa poster bertuliskan, "Cuti Nonton Drakor Karena di DPR Lebih Banyak Drama," yang langsung menarik perhatian publik dan media sosial. Poster-poster ini, meskipun berbeda dari bendera yang digunakan di Korea Selatan, memiliki tujuan serupa, yakni menyampaikan pesan personal, mengundang senyum atau tawa, dan mengekspresikan solidaritas secara kreatif.

Namun, meskipun memiliki kesamaan dalam elemen humor dan simbolisme visual, fokus tulisan ini tetap pada fenomena unik di Korea Selatan. Dalam konteks bendera-bendera yang dibahas, penggunaan simbol visual sebagai tanda personal dalam demonstrasi tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga menjadi cerminan identitas individu yang lebih dalam. Perbandingan dengan Indonesia menunjukkan bahwa kreativitas dalam protes adalah fenomena global, tetapi cara, media, dan konteks lokalnya memberikan karakteristik yang berbeda pada setiap negara.

Untuk memahami fenomena bendera ini, teori semiotika menjadi alat analisis yang relevan. Semiotika atau semiologi adalah bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang (Sobur, 2009). Sobur menyatakan bahwa Charles Sanders Peirce mengembangkan semiotika dengan tujuan utama untuk memahami dan menjelaskan proses inferensi atau penalaran logis secara lebih mendalam. Namun, menurut pandangan Eco, semiologi juga mencakup pembahasan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan "signifikasi" dan proses komunikasi. Dalam teori informasi, Doede Nauta menyebutkan bahwa semiotika merupakan salah satu jenis fisiologi pemindahan informasi, yang berperan penting dalam proses komunikasi. Dalam berkomunikasi, ada elemen penting yang memungkinkan komunikasi dapat berjalan, yaitu tanda. Littlejohn dalam buku yang ditulis Sobur (2009) menyatakan bahwa tanda-tanda (signs) merupakan dasar dari seluruh komunikasi, memungkinkan manusia untuk saling berhubungan dan bertukar informasi. Tanda-tanda ini menjadi perangkat yang digunakan manusia untuk memahami dunia dan berinteraksi dengan sesamanya.

Pengertian tanda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu sesuatu yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu. Sedangkan, tanda dalam kajian semiotika, adalah sesuatu yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain. Menurut pandangan Saussure, setiap tanda terdiri dari dua komponen utama. Komponen utama tersebut ialah signifier (penanda), yaitu bentuk fisik dari tanda, dan signified (petanda), yaitu konsep atau makna yang diwakili oleh tanda tersebut. Kombinasi keduanya menjadi fondasi dalam memahami proses komunikasi melalui tanda. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu merupakan tanda. 

Dalam fenomena ini, bendera-bendera yang digunakan dalam demonstrasi ini dapat disebut sebagai tanda-tanda dalam kajian semiotika, karena mengandung makna yang ingin disampaikan oleh pembawa bendera kepada khalayak. Bendera-bendera yang digunakan dalam demonstrasi ini memiliki fungsi komunikatif yang kuat dalam menyampaikan identitas dan pesan dari individu atau kelompok tertentu. Dengan menggunakan teori semiotika, analisis terhadap bendera-bendera ini dapat mengungkap bagaimana setiap elemen visual dan tekstual pada bendera menyampaikan pesan tertentu yang mewakili identitas atau sikap pembawanya. Analisis berikut akan menguraikan tanda-tanda tersebut berdasarkan teori yang telah dipaparkan.

Bendera 1 memiliki penanda dengan gambar jamur berjalan dan tulisan "걷는버섯동호회" dan "Walking Mushroom Lover" menyampaikan pesan personal dari seorang individu yang mengidentifikasi dirinya sebagai pecinta konsep jamur berjalan. Dalam konteks ini, penanda atau signifier berupa gambar dan tulisan berfungsi sebagai representasi langsung dari identitas pribadi, sementara signified atau petandanya menegaskan bahwa bendera ini tidak mewakili kelompok lain selain dirinya sendiri.

Association of People Who Still Call It Twitter (Sumber: X)
Association of People Who Still Call It Twitter (Sumber: X)

Bendera 2 memiliki signifier atau penanda yang menampilkan logo lama Twitter dengan tulisan "트위터라 부르는 사람들 " dan "Association of People Who Still Call It Twitter," menunjukkan bahwa pembawa bendera tersebut adalah bagian dari kelompok yang masih menggunakan nama lama "Twitter" untuk aplikasi X. Penanda ini mencerminkan nostalgia terhadap identitas lama aplikasi, sementara signified atau petanda menunjukkan bahwa aksi mereka tidak terkait dengan institusi resmi mana pun, melainkan mewakili sebuah asosiasi informal dengan nilai-nilai tertentu.

Bendera National Procrastination Union (Sumber: X)
Bendera National Procrastination Union (Sumber: X)

Bendera 3 dari "National Procrastination Union" memperlihatkan signifier atau penanda berupa gambar seorang stickman yang meninggalkan meja kerja, menyiratkan bahwa pembawa bendera adalah bagian dari asosiasi yang mengidentifikasi dirinya sebagai procrastinator. Penanda ini secara humoris mengakui kebiasaan menunda pekerjaan, sementara signified atau petandanya menegaskan bahwa meskipun cenderung menunda, mereka tetap hadir di aksi demonstrasi tepat waktu, mengungkapkan ironi atas situasi yang dianggap genting.

Bendera Federasi Diem di Rumah Aja (Sumber: X)
Bendera Federasi Diem di Rumah Aja (Sumber: X)

Bendera 4 memiliki signifier atau penanda dengan animasi orang tidur dan di bawahnya terdapat tulisan Korea bertupuk yaitu "전국 집에누워있기 연합", "제발 그냥 누워있게 해줘라 ", dan "우리가 집에서 나와서 일어나야겠냐" mewakili "Federasi Diem di Rumah Aja." Penanda ini menyampaikan citra seseorang yang lebih suka diam di rumah, sementara signified atau petandanya menekankan keikutsertaan dalam aksi sebagai bentuk pernyataan genting yang mendorong mereka untuk turun ke jalan meski bertentangan dengan kebiasaan mereka.

Melalui bendera-bendera ini, para demonstran tidak hanya menyampaikan pesan unik tetapi juga menciptakan ruang representasi yang mengolok-olok kebijakan, kebiasaan, atau identitas mereka sendiri. Fenomena ini menunjukkan bahwa tanda-tanda visual seperti bendera dapat menjadi alat komunikasi yang efektif dalam menyampaikan kritik atau pandangan secara kreatif dan terkadang penuh humor.

Demonstrasi besar-besaran di Korea Selatan pada Desember 2024 menjadi momen yang tidak hanya menyoroti perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga menunjukkan kreativitas masyarakat dalam menyampaikan kritik melalui simbolisme visual. Penggunaan bendera sebagai medium protes tidak hanya memperkuat identitas individu atau kelompok, tetapi juga berfungsi sebagai tanda dalam konteks semiotika, yang menghubungkan elemen visual dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan memanfaatkan teori semiotika, analisis ini berhasil mengungkap bagaimana bendera-bendera tersebut memainkan peran penting dalam komunikasi sosial.

Bendera-bendera ini memiliki penanda unik yang dirancang untuk menyampaikan pesan-pesan spesifik dari pembawanya. Misalnya, bendera dengan gambar jamur berjalan dan tulisan "Walking Mushroom Lover" menampilkan identitas individu sebagai pecinta jamur berjalan. Penanda ini secara langsung mencerminkan identitas personal, sementara petandanya menegaskan bahwa pembawa bendera tidak mewakili siapa pun selain dirinya sendiri. Hal serupa terlihat pada bendera yang membawa logo lama Twitter, menyimbolkan nostalgia dan keteguhan kelompok terhadap identitas lama aplikasi yang kini disebut X.

Bendera lainnya, seperti yang diusung oleh "National Procrastination Union," mengolok-olok kebiasaan menunda pekerjaan, tetapi juga menekankan kehadiran mereka dalam aksi sebagai bentuk tanggapan terhadap situasi yang mendesak. Sementara itu, bendera "Federasi Diem di Rumah Aja" menggunakan ironi untuk menunjukkan bahwa bahkan individu yang cenderung menyendiri dan pasif sekalipun merasa perlu turun ke jalan demi menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan pemerintah.

Terdapat banyak sekali tanda yang terkandung dalam bendera-bendera demonstrasi tersebut. Setiap bendera memiliki konteks yang personal dan unik. Beberapa contoh bendera seperti "Asosiasi Konservasi Naga," "Paguyuban Babu Kucing Gembrot," "Perkumpulan Nasional Orang Ga Nyiapin Bendera," dan "Orang-orang yang Mendoakan Kebahagiaan Fu Bao" tentu memiliki makna masing-masing. Jika bendera-bendera ini hanya dilihat sebagai objek visual semata, mungkin analisis hanya akan berfokus pada simbol-simbol yang terlihat. Namun, ketika bendera-bendera ini digunakan sebagai alat dalam demonstrasi, penggunaannya memberikan konteks baru yang memperkaya makna dan fungsinya.

Keberadaan bendera-bendera ini membuktikan bahwa simbol visual tidak hanya menjadi media komunikasi, tetapi juga alat yang efektif untuk menciptakan ruang dialog dan solidaritas di tengah masyarakat. Melalui representasi tanda-tanda visual ini, demonstran berhasil mengubah protes menjadi ekspresi kolektif yang kreatif, lucu, dan penuh makna. Lebih jauh, bendera-bendera tersebut menegaskan bahwa aksi demonstrasi yang digelar bukanlah hasil mobilisasi partai politik atau kelompok tertentu, tetapi sepenuhnya lahir dari inisiatif individu yang ingin menunjukkan sikap mereka secara independen.

Fenomena ini menunjukkan bahwa teori semiotika, khususnya yang mengkaji elemen penanda dan petanda seperti yang diungkapkan oleh Saussure, sangat relevan untuk memahami dinamika simbolisme dalam protes sosial modern. Setiap elemen pada bendera-bendera tersebut dirancang dengan cermat untuk menyampaikan pesan yang spesifik sekaligus universal, memungkinkan audiens untuk memahami maksud pembawanya secara langsung atau melalui asosiasi simbolik yang lebih luas.

Pada akhirnya, bendera-bendera kreatif ini tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang kontroversial, tetapi juga menjadi cerminan budaya masyarakat Korea Selatan yang kaya akan simbolisme visual. Dengan pendekatan yang penuh humor dan sindiran, aksi ini berhasil menunjukkan bahwa protes tidak harus selalu serius dan formal, melainkan bisa menjadi ekspresi artistik yang tetap kuat dalam menyampaikan pesan. Demonstrasi ini menjadi bukti bahwa dalam perjuangan sosial, kreativitas dan simbolisme dapat menjadi alat yang tak kalah efektif dari kata-kata. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun