Saya dikatakan kolot, silahkan! Apabila ada mengatakan masakan negara luar enak. Begitu juga, selera makan saya hilang ketika membahas nasib PMI yang tidak enak di negara orang.
Kisahnya begini. Pada malam itu, saya ikut undangan Gala Dinner oleh sebuah perusahaan besar di Al Jazeerah Restauran.
Di lantai 4 para tamu sudah berdatangan. Saya sempat lihat Dubes RI untuk Arab Saudi pun sudah hadir.
Penerima tamu menghantarkan saya ke meja rombongan kami dimana 2 orang dari kami sudah duluan datang.
Salah seorang tuan rumah menpersilahkan saya duduk dengan hormat.
"Silahkan duduk Pak Aznil" dia mengangkat kursi mempersilahkan saya dengan hormat.
"Terimakasih," balas saya dengan penuh hormat juga.
"Kenalkan, saya Fariz," dia meletakkan tangan kanannya di dada memperkenalkan dirinya dengan posisi masih berdiri. Saya  lalu melakukan gerakan yang sama memperkenalkan nama saya.
Kami lalu berbincang berbincang akrab. Â Meski Fariz keturunan Arab tapi logat Jawanya sangat medok.
Dia menceritakan tentang perusahaannya yang fokus penempatan PMI bekerja di Timur Tengah sektor formal. Mereka sudah menempatkan PMI ribuan ke negara Padang pasir tersebut seperti perawat, konstruksi dan lain-lain.
Sambil bercanda saya balas, "Semua perusahaan jasa penempatan PMI ke Timur Tengah mengaku fokus ke nurse, tetapi tetap saja bermasalah," lalu saya iringi ketawa agar tidak tegang atas sindiran saya tersebut.
Dengan muka sedikit merah, dia ikut ketawa kecil sambil menjelaskan tentang perbedaan komitmen perusahaannya dalam hal prosedur perekrutan PMI ke Timur Tengah dengan perusahaan lainnya.
Tak berapa lama, dua orang waitress menghampiri meja kami  menghidangkan menu makanan. Saya tidak tahu nama menu makanannya.
Saya melihat ada roti canai, ada daging berwarna kuning dan berwarna merah serta ada beberapa daging ditusuk besi. Disitu ada juga seekor udang goreng.
"Ini hidangan appetizer sebelum kita makan nasi biryani," jelas Fariz ke kami.
Saya mangguk-mangguk saja sambil bertanya lugu, "Cara makannya bagaimana nih Pak Fariz?"
"Ini ada garpu dan pisau pak" sambil menunjuk di depan saya seperangkat alat makan.
"Pakai tangan boleh juga kok Pak," sambungnya dengan sopan.
Seorang waitress membentangkan serbet ke pangkuan saya.
"Silahkan nikmati pak! Ini makanan sangat lezat," Ujar Fariz.
Spontan saya berkata, "Mana enakan dengan masakan Padang?
Pak Fariz menjawab. "Wah, enakan masakan Padang Pak ! Apalagi rendangnya, terlezat didunia."
"Nah itu, Â Negara barat sekalipun saya katakan masakan primitif," balas saya ketawa.
"Bagi saya negara nemiliki peradaban maju itu apabila mampu meracik bumbu-bumbu yang ada di dunia ini menjadi makanan lezat. Yang memiliki teknologi itu cuma orang Minang," kelakar saya sambil ketawa lepas.
Sambil menyantap makanan yang masih kental rasa daging mentahnya dan miskin dengan racikan bumbu lalu melanjutkan ujaran saya,
"Saya naklum, kenapa negara lain itu primitif masakannya? Karena negara mereka tidak tumbuh pohon-pohon penghasil bumbu lezat tersebut. Maka mereka cuma tahu garam doang sebagai pelezat cita rasa !" Lanjut saya sambil mengunyah sepotong daging hidangan makan malam tersebut.
"Nah, begitu juga tentang pekerja migrant. Mereka berperilaku primitif kepada PMI , karena mereka tidak tahu meramu hidup bercita rasa indah," Â sindir saya. Suara ketawa pun meledak di meja kami.
Alunan musik gambus khas Timur Tengah menemani Gala Dinner malam itu.
Selamat MigrantDay internasional
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI