Pernikahan anak di usia dini adalah salah satu masalah yang masih marak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Menurut data UNICEF, Indonesia termasuk negara dengan angka pernikahan anak yang tinggi di Asia Tenggara. Fenomena ini menjadi perhatian serius karena tidak hanya melanggar hak anak, tetapi juga berkontribusi pada berbagai permasalahan sosial, kesehatan, dan ekonomi yang berdampak pada masa depan bangsa.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 10% perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Faktor penyebab utama meliputi kemiskinan, norma budaya, rendahnya pendidikan, dan minimnya akses terhadap informasi kesehatan reproduksi. Anak-anak yang menikah dini sering kali kehilangan hak mereka untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Mereka dipaksa menjalani tanggung jawab yang tidak sesuai dengan usia dan tingkat kematangan mereka. Pernikahan anak berdampak negatif, terutama pada pendidikan, kesehatan fisik dan mental, serta kesejahteraan sosial. Anak-anak yang menikah dini cenderung putus sekolah, berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi kehamilan, dan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Jika di analisis menggunakan teori perkembangan Jean Piaget mengemukakan bahwa perkembangan kognitif manusia terjadi dalam empat tahap: sensorimotor, preoperational, concrete operational, dan formal operational. Anak-anak yang menikah dini biasanya berada pada tahap concrete operational (7–11 tahun) atau baru memasuki tahap formal operational (12 tahun ke atas).
1. Tahap Concrete Operational
Pada tahap ini, anak-anak mulai memahami logika konkret tetapi masih kesulitan berpikir abstrak dan merencanakan masa depan. Anak-anak yang menikah pada tahap ini mungkin belum mampu memahami konsekuensi jangka panjang dari keputusan pernikahan, seperti dampaknya terhadap pendidikan atau kesehatan mereka.
2. Tahap Formal Operational
Tahap ini ditandai dengan kemampuan berpikir abstrak, mengevaluasi alternatif, dan membuat keputusan berdasarkan logika. Namun, banyak anak yang menikah dini belum sepenuhnya mencapai tahap ini. Keterbatasan kognitif mereka membuat mereka sulit menghadapi tantangan pernikahan, seperti mengelola konflik atau membuat perencanaan keuangan.
Sebagai contoh, seorang anak laki-laki yang menikah pada usia 16 tahun mungkin merasa kewalahan dengan tanggung jawab untuk mencari nafkah karena dia belum memiliki keterampilan atau pengetahuan untuk mengelola situasi kompleks.
Adapun Dampak Jangka Panjang Pernikahan Anak, sebagai berikut:
1. Kesehatan Fisik dan Mental
Anak perempuan yang menikah dini sering menghadapi risiko kesehatan serius, termasuk komplikasi kehamilan dan persalinan. Selain itu, tekanan emosional dari pernikahan dini dapat menyebabkan depresi dan kecemasan.
2. Putusnya Akses Pendidikan
Anak yang menikah dini cenderung putus sekolah, menghilangkan peluang untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Hal ini berdampak pada kemampuan mereka untuk mendapatkan pekerjaan layak di masa depan.
3. Siklus Kemiskinan
Pernikahan anak sering kali memperkuat siklus kemiskinan antar generasi. Anak yang tidak menyelesaikan pendidikan cenderung bekerja di sektor informal dengan penghasilan rendah, yang berdampak pada kesejahteraan keluarga mereka.
4. Ketidaksiapan Emosional dan Psikososial
Ketidaksiapan untuk menjalani hubungan dewasa dapat menyebabkan konflik rumah tangga, ketidakstabilan hubungan, atau bahkan perceraian.
Untuk mengatasi maraknya pernikahan anak, diperlukan upaya terpadu dari pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
•Peningkatan akese pendidikan merupakan kunci untuk memberdayakan anak-anak dan mencegah pernikahan dini. Di mana Program pendidikan gratis atau subsidi untuk keluarga miskin dapat membantu menjaga anak-anak tetap di sekolah.
• Edukasi Tentang Hak Anak dan Kesehatan Reproduksi yaitu mengadakan Kampanye kesadaran menargetkan anak-anak, keluarga, dan masyarakat untuk memahami dampak negatif pernikahan dini dan pentingnya hak anak.
•Penegakan Hukum, Undang-undang yang melarang pernikahan di bawah usia 18 tahun harus ditegakkan secara ketat. Pemerintah juga perlu menyediakan perlindungan bagi anak-anak yang menjadi korban pernikahan dini.
•Pemberdayaan Ekonomi, Program pemberdayaan ekonomi, terutama bagi perempuan, dapat membantu keluarga keluar dari kemiskinan dan mengurangi tekanan untuk menikahkan anak-anak mereka.
•Perubahan Norma Sosial, Pemimpin masyarakat dan tokoh agama dapat berperan penting dalam mengubah pandangan tradisional yang mendukung pernikahan anak.
Kesimpulan
Pernikahan anak di usia dini adalah pelanggaran hak anak yang berdampak pada perkembangan individu dan masa depan bangsa. Dalam analisis berdasarkan teori Erik Erikson dan Jean Piaget, pernikahan dini menghambat penyelesaian konflik psikososial dan perkembangan kognitif yang penting bagi individu untuk mencapai kematangan emosional, sosial, dan intelektual. Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan upaya kolaboratif yang mencakup peningkatan akses pendidikan, perubahan norma sosial, dan pemberdayaan ekonomi. Dengan memastikan anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai tahapan perkembangan mereka, kita tidak hanya melindungi hak mereka, tetapi juga membangun generasi yang lebih kuat dan berdaya untuk masa depan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H