Mulai dari menjaga piranti. Menulisnya, Â entah ketajamam pena bulu angsa, Â kelarutan tinta, Â ketajaman pisau ukir, Â sampai pada kelenturan kulit kayu, Â atau lontar terpilih yang akan menjadi media. Menulis.
2. Menjaga nuansa bersih hati, bersoh pikiran.
Rutin melakukan meditasi, Â sambil. Melakukan upacara minum teh, Â ritual mnum kopi. Lengkap dengan penganan rebusan palawija yang menentramkan perut dan nyaman di gigi.
3. menjadikan menulis menjadi tujuan mulia dalam hidup.
Posisi kerani, Â juru tulis istana, Â buianlah posisi yang main main. Â Selalu bisa berdekatan dengan puasa. Bisa mendengar segala aib dan kelurusan kebijakan.Â
Lalu saat menulis berupaya menyampaikan dengan bijak kepada pembaca yang akan membaca tulisannya, Â satu generasi berikut atau bergenerasi generasi kemudian. Â Pujangga kuno amat sadar, bahwa kejayaan kerajaan kerajaam besar akan berujung pada catatan babad lontarnya..
4. Pada situasi paling sulit, mereka memilih menyepi, menjauhi. Pusat kekuasaan untuk mempertahankan daya murni tulisnya
Bukan rahasia lagi,  bahwa. Pujangga kuno juga ada di pasang surut kekuasaan yang diikutinya. Yang pintar berkilah dengan karyanya saat mengikuti dinasti yang berbeda, biasanya selamat. Bila keras hati,  maka nasib sial,  diasingkan adalah pilihan. Hanya penulis yang teruji, terpuji memilih menyepi di gunung atau di pantai,  menjauh,  menyepi dari kekuasaan.
5. Pujangga kuno menerima nasibnya menulis sebagai takdir terpuji.
Banyak yang menjadikan menulis sebagai panggilan jiwa dan keharusan sikap sebagai pengabdian kepada semesta besar.
Nah, Â 5 prinsip diatas bila bisa. Diselaraskan dengan jaman akan memudahkan penulis kekinian melewati bendungan mental block yang menyakitkan. Â