Mohon tunggu...
Saufi Ginting
Saufi Ginting Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Azka Gemilang di Kisaran, Kabupaten Asahan Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Namaku Za (Bab 2)

31 Januari 2022   21:15 Diperbarui: 31 Januari 2022   21:17 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Televisi

 

Tadi aku diantar ayah pergi sekolah. Seperti biasa. Tak ada yang luar biasa. Tapi aku selalu senang diantar ayah. Aku selalu menyapu pandangan ke pohon ketapang yang ada di kiri dan kanan jalan.

Pohon ketapang berbatang ramping, memiliki ranting yang tumbuh lurus dengan daun berbentuk oval dan agak lebar. Daunnya berwarna hijau terang ketika masih muda, dan akan tetap terlihat hijau meskipun terjadi pergantian musim.

Suasana perjalanan ini selalu saja saja menambah kebahagiaan hatiku, apalagi bersama ayah dan ditemani matahari yang tak malu-malu untuk terbit.

Hari ini Ayah mengajak aku murojaah. Hafalan al-Qur'an Ayah untuk juz 'amma, sebenarnya biasa-biasa saja. Beberapa kali aku setoran hafalan juz tiga puluh ini, misalnya surah An-Naba', ayah selalu melihat Al-quran. Tapi sebulan belakangan, baik surah An-Naba, maupun surah yang aku hafal seperti An Naziat bahkan 'Abasa, Ayah tak perlu melihat Al-Qur'an lagi.

Ternyata hafalan Ayah sudah sangat banyak untuk juz 'amma.

"Malu ayah kau kalau hafalannya sedikit, sementara kau selalu setoran hafalan sama Ayah" jelas mamak sambil menuangkan nasi dari tempatnya ke piringku saat sarapan pagi.

"Dulu Ayah juga sering menghafal, tak dapat hafalan yang panjang. Tapi karena melihat Za yang terus menghafal dan mengulang bacaan juz 'amma, Ayah juga menjadi tertarik dan berusaha dengan tekun untuk menghafal yang panjang. Alhamdulillah, hafalan Ayah sekarang sudah hampir selesai untuk juz 'amma." Timpal ayah sambil bersiap untuk membaca doa sebelum makan.

Hal ini menjadi nilai positif padaku. Setiap mengantarkan aku sekolah, di jalan ayah selalu mengulang hafalannya atau mendengarkan hafalanku, tentu saja diselingi cerita-cerita baru di hari lainnya. Ia membawa selembar kertas ayat Al-Quran yang telah digandakan. Sehingga bila lupa, akan mengulang dan melihat catatan pada selembar kertas yang berisikan ayat Al-Quran tadi.

"Kan lebih enak pakai gawai, Yah?" sewaktu ayah akan memasukkan selembar catatan yang berisikan surah Al-Muthafifin ke dalam kantong baju kaos birunya.

"Repot, bisa saja jatuh di jalan gawainya" jelas ayah sambil mengambil kunci sepeda motor.

Kata guru hafalan ku, dulu aku anak yang selalu terlambat menghafal Al-Qur'an. Saat teman-teman sekelas sudah masuk surah 'An--Naziat, aku masih berkutat di ayat-ayat awal An-Naba'. Tapi sekarang aku malah bisa mendahului hafalan teman-teman. Ternyata aku baru menyadarinya, hafalan yang kuhafal dengan mudah itu, sudah sering kudengar dari Ayah yang juga terus menghafal satu demi satu surah pada juz 'amma.

Sekarang aku malah sering melihat dan mendengar ayah memutar bacaan Al-Qur'an yang dilantunkan oleh qori terkenal seperti Muzammil Hasbalah atau Hannan At'ttaqi yang bacaannya sangat enak didengar melalui pengeras suara. Bahkan setelah suara kedua qori terkenal tadi melantunkan juz 'amma, tiba-tiba aku mendengar suara yang sepertinya aku sangat hafal dan mengenalnya.

Ternyata ayah merekam suaranya sendiri ketika membaca Al-Quran dengan gawainya. Kemudian ia pindahkan ke flashdisc, hingga aku bisa mendengar ayah melantunkan juz 'amma melalui pengeras suara.

"Kenapa direkam yah?" sambil memperhatikan aktivitas ayah yang memindahkan hasil rekamannya untuk ayat yang baru saja dihafal ke flashdisc melalui komputer.

"Suara Muzammil dan Hannan sangat indah dan enak didengar. Tapi Ayah kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan irama bacaan mereka. Makanya ayah inisiatif untuk mengulang bacaan sendiri melalui rekaman. Hingga bisa Ayah ikuti, dan dapat paham apabila yang sudah dihafal ada yang terlewatkan atau panjang pendeknya tidak tepat"

Begitulah sekarang kegiatan ayahku dalam mengajarkan Al-Qur'an kepadaku. Mudah-mudahan selain menjadi amal jariyah ayah, menjadi pahala bagiku yang meniru apapun yang dilakukan ayah. Apalagi sekarang kami sudah tidak punya televisi di rumah, jadi hafalan juz 'amma ku semakin banyak.

Eh, kau tahu kenapa kami tak punya televisi? Akulah penyebabnya. Sebenarnya ayah tak pernah setuju kami punya televisi. Mamakku yang meminta sama Ayah. Kasihan mamak sama aku yang sering menonton televisi ke tempat Wak Beti. Televisi wak Beti sangat besar, meskipun tak sesuai dengan ukuran ruangan yang ada di rumahnya.

"Yah, belilah televisi untuk anakmu itu. Kasihan kali kutengok dia selalu menumpang nonton di rumah Wak Beti" kata mamak sambil memijat lembut kepala ayah yang baru pulang dari belanja.

"Ah, tak usahlah, tak penting televisi untuk kita. Jangan dikasih lagi Zakiyah nonton televisi apalagi sampai numpang seperti itu" ayah meluruskan kakinya sambil menikmati pijatan tangan mamak di kepalanya.

"Cocoklah itu, Yah. Beli sajalah televisi itu, biar tak numpang lagi dia nontonnya" mamak meyakinkan. Meskipun sebenarnya mamak paham maksud ayah adalah melarang membeli, bukan sekedar melarang menumpang nonton di tempat Wak Beti.

Ayah diam. Mamak tak melanjutkan. Aku tetap punya jatah menumpang nonton televisi di rumah Wak Beti setelah salat Ashar. Itu waktu yang diizinkan mamak bukan ayah, dan itu pula waktu keluarga wak Beti ada di rumah. Tapi hebatnya wak Beti memiliki waktu libur, setiap hari Jum'at tak pernah berangkat jualan ke pajak. 

Selang dua hari mamak merayu ayah kembali untuk membeli televisi. Jawaban tetap sama dari Ayah. Dua hari kemudian, kembali mamak merayu, tetap tak ada persetujuan. Dua hari selanjutnya juga begitu. Hingga genap dua pekan, tepatnya hari Jum'at pukul 13.00, saat ayah masih belum pulang dari salat Jum'at --biasa setiap Jum'at ayah kembali ke rumah pukul 14.30, karena ayah bendahara badan kemakmuran masjid, jadi harus menghitung, mencatat seluruh pemasukan dan pengeluaran selama Jum'at semalam sampai Jum'at ini-, wak Beti datang mengantarkan televisi ke rumah.

Aku gembira, aku bahagia, menonton televisi tak mesti kulakukan pada pukul 16.00, dan menumpang di rumah Wak Beti. Remote control kupencet tak henti-henti. Terus mencari siaran yang kusenangi.

"Loh, ada televisi? Sejak kapan?" Aku terkejut melihat ayah sudah berdiri di belakangku, masih memakai peci.

"Tadi diantar Wak Beti, Yah. Terimakasih Yah, udah dibelikan televisinya." Aku tak konsentrasi terhadap pertanyaan ayah. Kukira ayah bertanya kapan datang televisinya.

Ayah hanya tersenyum mendengar jawabanku, dan berlalu menuju kamar. Selang beberapa menit, mamak keluar dari kamar dengan tergopoh-gopoh, memintaku mematikan televisi. Kata mamak walau ada televisi di rumah, jadwal menonton seperti biasa, dari pukul 16.00 sampai 17.00 saja. Bedanya di rumah sendiri, tak di rumah Wak Beti.

Ternyata dua hari kemudian aku baru tahu kalau mamakku dimarahi ayah, sebab membeli tanpa sepengetahuannya. Mamak bilang demi anak kita.

"Demi anak bukan memanjakan Zakiyah dengan televisi. Tapi harus banyak membaca, dan rajin mengulang bacaan Al-Quran!" Suara ayah meninggi, aku bisa mendengarnya dari ruang kamarku yang bersebelahan dengan kamar ayah dan mamak.

Aku segera bersembunyi di balik selimut, sangat takut. Ayah tak pernah meninggikan suaranya kepada mamak. Tak hanya aku, mamak juga begitu. Kikuk dan takut.

Aktivitas menontonku terus kulakoni, hingga dua bulan. Kupikir ayah sudah reda amarahnya, tetapi tidak. Setiap kali aku menonton televisi di luar jam wajib, ayah masuk kamar atau ke dapur mencari mamak, tak lama mamak tergopoh-gopoh mematikan televisi dan memintaku untuk segera beranjak dari tempat duduk di depan televisi.

Sekitar lima bulan yang lalu, saat aku sedang bermain gasingan dari sisir, ya dari sisir rambut. Kau tahukan sisir rambut? Sisir rambut yang aku punya itu ada pegangannya dan berlubang. Aku memasukkan jari telunjuk kanan pada lubang pegangan sisir, kemudian kuputar-putar hingga seperti gasing. Ternyata semakin kencang diputar, sisir melompat dan menabrak televisi yang tergantung di dinding. Kaca televisi retak, membentuk belahan dari atas ke bawah, yang mengakibatkan televisi hanya bisa mengeluarkan suara tanpa gambar.

Ayah hanya tersenyum. Lebar. Bahkan sangat lebar. Saat mamak memberi tahu televisinya rusak. Aku yang sudah merasa bersalah meminta maaf pada ayah.

"Ok, Za dimaafkan, tapi tidak ada televisi pengganti ya." Senyum ayah semakin lebar, akhirnya bersiul-siul menuju kamar. 

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menonton televisi. Meski penasaran kenapa ayah tak marah, aku tak berani untuk meminta dibelikan televisi yang bekas apalagi yang baru.

Apa yang terjadi kemudian di luar dugaan. Tak sengaja aku mendengar pembicaraan antara mamak dan ayah. Pagi dihari libur itu ayah membantu mamak membilas pakaian yang sedang dicuci. Aku menyapu dapur. Ketidaksengajaanku berubah menjadi menguping dan mengintip.

"Yah, kasihan anakmu ga bisa nonton lagi" kata mamak sambil memisahkan antara baju kecil dan baju besar ke dalam ember yang berbeda. 

Aku sudah bersiap-siap untuk kegirangan ini, begitu mendengar curhatan sedih mamak tentang aku yang yang tak bisa menonton televisi lagi. Akan tetapi justru rasanya ingin aku melompat terbang dengan sapu yang kuletakkan di antara kedua pahaku seperti nenek sihir. Bedanya aku akan menggunakan sapu ijuk. Menjauh dan menjerit sekuatnya di atas langit sana. Kaget.

"Ayah memang dari dulu ga kepingin kita punya televisi. Makanya berkali-kali mamak mintapun tidak akan ayah belikan. Tontonannya sangat sedikit sekali yang dapat mendidik dengan baik. Apalagi bila kita tak dapat menemaninya. Usahkan tontonan film atau sinteron, iklannya sajapun sulit untuk ayah memaafkan diri sendiri melihat televisi itu ada di dalam rumah. Ayah berdo'a sama Allah, 'ya Allah berikan Ayah cara supaya televisi ini ga ada di rumah Ayah lagi. Tapi tanpa membuat anak dan istri Ayah tersinggung, serta tak ada alasan untuk membeli televisi lainnya." Tangan ayah cekatan menuangkan pewangi pakaian ke dalam mesin cuci. Aku mengintip, dan terus mencuri dengar, sebab tak mungkin aku terbang ke awan. Bisa kaget seisi dunia.

"Eh, dua hari kemudian Allah ngasi jawaban. Waktu Ayah pulang belanja, mamak laporan televisinya pecah. Langsung Ayah bilang dalam hati 'Alhamdulillah."

"Ish...ish...ish" Mamak sedikit memonyongkan bibirnya.

Tak ada lagi televisi, dan tak boleh membeli lainnya. Tapi justru sebagai pengganti televisi ayah membelikan pengeras suara dan sebuah flashdisc, yang isinya murottal Al-Quran. Selain Muzammil dan Hanan ada juga suara ayahku di situ. Hebat bukan, suara ayahku bersanding dengan Muzammil Hasbalah dan Hannan Attaqi yang terkenal itu. Besok aku mau diajari ayah merekam suaraku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun