"Repot, bisa saja jatuh di jalan gawainya" jelas ayah sambil mengambil kunci sepeda motor.
Kata guru hafalan ku, dulu aku anak yang selalu terlambat menghafal Al-Qur'an. Saat teman-teman sekelas sudah masuk surah 'An--Naziat, aku masih berkutat di ayat-ayat awal An-Naba'. Tapi sekarang aku malah bisa mendahului hafalan teman-teman. Ternyata aku baru menyadarinya, hafalan yang kuhafal dengan mudah itu, sudah sering kudengar dari Ayah yang juga terus menghafal satu demi satu surah pada juz 'amma.
Sekarang aku malah sering melihat dan mendengar ayah memutar bacaan Al-Qur'an yang dilantunkan oleh qori terkenal seperti Muzammil Hasbalah atau Hannan At'ttaqi yang bacaannya sangat enak didengar melalui pengeras suara. Bahkan setelah suara kedua qori terkenal tadi melantunkan juz 'amma, tiba-tiba aku mendengar suara yang sepertinya aku sangat hafal dan mengenalnya.
Ternyata ayah merekam suaranya sendiri ketika membaca Al-Quran dengan gawainya. Kemudian ia pindahkan ke flashdisc, hingga aku bisa mendengar ayah melantunkan juz 'amma melalui pengeras suara.
"Kenapa direkam yah?" sambil memperhatikan aktivitas ayah yang memindahkan hasil rekamannya untuk ayat yang baru saja dihafal ke flashdisc melalui komputer.
"Suara Muzammil dan Hannan sangat indah dan enak didengar. Tapi Ayah kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan irama bacaan mereka. Makanya ayah inisiatif untuk mengulang bacaan sendiri melalui rekaman. Hingga bisa Ayah ikuti, dan dapat paham apabila yang sudah dihafal ada yang terlewatkan atau panjang pendeknya tidak tepat"
Begitulah sekarang kegiatan ayahku dalam mengajarkan Al-Qur'an kepadaku. Mudah-mudahan selain menjadi amal jariyah ayah, menjadi pahala bagiku yang meniru apapun yang dilakukan ayah. Apalagi sekarang kami sudah tidak punya televisi di rumah, jadi hafalan juz 'amma ku semakin banyak.
Eh, kau tahu kenapa kami tak punya televisi? Akulah penyebabnya. Sebenarnya ayah tak pernah setuju kami punya televisi. Mamakku yang meminta sama Ayah. Kasihan mamak sama aku yang sering menonton televisi ke tempat Wak Beti. Televisi wak Beti sangat besar, meskipun tak sesuai dengan ukuran ruangan yang ada di rumahnya.
"Yah, belilah televisi untuk anakmu itu. Kasihan kali kutengok dia selalu menumpang nonton di rumah Wak Beti" kata mamak sambil memijat lembut kepala ayah yang baru pulang dari belanja.
"Ah, tak usahlah, tak penting televisi untuk kita. Jangan dikasih lagi Zakiyah nonton televisi apalagi sampai numpang seperti itu" ayah meluruskan kakinya sambil menikmati pijatan tangan mamak di kepalanya.
"Cocoklah itu, Yah. Beli sajalah televisi itu, biar tak numpang lagi dia nontonnya" mamak meyakinkan. Meskipun sebenarnya mamak paham maksud ayah adalah melarang membeli, bukan sekedar melarang menumpang nonton di tempat Wak Beti.