Mohon tunggu...
Saufi Ginting
Saufi Ginting Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Azka Gemilang di Kisaran, Kabupaten Asahan Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Namaku Za (Bab 2)

31 Januari 2022   21:15 Diperbarui: 31 Januari 2022   21:17 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah hanya tersenyum. Lebar. Bahkan sangat lebar. Saat mamak memberi tahu televisinya rusak. Aku yang sudah merasa bersalah meminta maaf pada ayah.

"Ok, Za dimaafkan, tapi tidak ada televisi pengganti ya." Senyum ayah semakin lebar, akhirnya bersiul-siul menuju kamar. 

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menonton televisi. Meski penasaran kenapa ayah tak marah, aku tak berani untuk meminta dibelikan televisi yang bekas apalagi yang baru.

Apa yang terjadi kemudian di luar dugaan. Tak sengaja aku mendengar pembicaraan antara mamak dan ayah. Pagi dihari libur itu ayah membantu mamak membilas pakaian yang sedang dicuci. Aku menyapu dapur. Ketidaksengajaanku berubah menjadi menguping dan mengintip.

"Yah, kasihan anakmu ga bisa nonton lagi" kata mamak sambil memisahkan antara baju kecil dan baju besar ke dalam ember yang berbeda. 

Aku sudah bersiap-siap untuk kegirangan ini, begitu mendengar curhatan sedih mamak tentang aku yang yang tak bisa menonton televisi lagi. Akan tetapi justru rasanya ingin aku melompat terbang dengan sapu yang kuletakkan di antara kedua pahaku seperti nenek sihir. Bedanya aku akan menggunakan sapu ijuk. Menjauh dan menjerit sekuatnya di atas langit sana. Kaget.

"Ayah memang dari dulu ga kepingin kita punya televisi. Makanya berkali-kali mamak mintapun tidak akan ayah belikan. Tontonannya sangat sedikit sekali yang dapat mendidik dengan baik. Apalagi bila kita tak dapat menemaninya. Usahkan tontonan film atau sinteron, iklannya sajapun sulit untuk ayah memaafkan diri sendiri melihat televisi itu ada di dalam rumah. Ayah berdo'a sama Allah, 'ya Allah berikan Ayah cara supaya televisi ini ga ada di rumah Ayah lagi. Tapi tanpa membuat anak dan istri Ayah tersinggung, serta tak ada alasan untuk membeli televisi lainnya." Tangan ayah cekatan menuangkan pewangi pakaian ke dalam mesin cuci. Aku mengintip, dan terus mencuri dengar, sebab tak mungkin aku terbang ke awan. Bisa kaget seisi dunia.

"Eh, dua hari kemudian Allah ngasi jawaban. Waktu Ayah pulang belanja, mamak laporan televisinya pecah. Langsung Ayah bilang dalam hati 'Alhamdulillah."

"Ish...ish...ish" Mamak sedikit memonyongkan bibirnya.

Tak ada lagi televisi, dan tak boleh membeli lainnya. Tapi justru sebagai pengganti televisi ayah membelikan pengeras suara dan sebuah flashdisc, yang isinya murottal Al-Quran. Selain Muzammil dan Hanan ada juga suara ayahku di situ. Hebat bukan, suara ayahku bersanding dengan Muzammil Hasbalah dan Hannan Attaqi yang terkenal itu. Besok aku mau diajari ayah merekam suaraku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun