Mohon tunggu...
Azka NaaziraWardhana
Azka NaaziraWardhana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar Sekolah

Hobi: menulis dan menggambar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Death Datang Berkunjung

15 September 2023   20:06 Diperbarui: 15 September 2023   20:16 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup sebagai pencabut nyawa, atau grim reaper menurut panggilan orang-orang sekitar, begitu monoton. Tidak jarang aku harus menghadapi keluarga yang berduka, jiwa yang enggan untuk ku cabut nyawanya, jiwa yang sudah pasrah atas kematiannya dan hal-hal berbau kematian lainnya. Disaat mereka dibungkus kain kafan dan di kembalikan di bumi banyak dari mereka berteriak dan meminta agar dikeluarkan. Tapi sudah telat. Mereka tidak percaya pada karunia Tuhan. Mereka terlalu dramatis dan terlalu cepat mengakhiri hidup. Itu lah balasannya, kiamat kecil bagiku, neraka baginya. 

Sebaliknya, ada juga orang-orang yang berterima kasih telah dikembalikan di bumi. Kuburan mereka diterangi cahaya dan mimpi bagus menyertai tidur lamanya. Mereka orang-orang yang sabar menghadapi ujian kehidupan. Orang yang kuat imannya, orang yang percaya dengan nikmat dan karunia Tuhan yang akan datang. Mereka semua akan mendapat balasan yang layak suatu hari nanti. dan hari itu adalah hari dimana aku datang berkunjung dan di hari saudaraku meniup sangkakala. 

Hari ini tugasku adalah berkunjung ke Miami, sebuah kota di Florida. Lebih tepatnya South Dade, pedesaan yang tentram dan damai. Sayangnya, aku tidak terlalu memahami emosi manusia. Emosi yang aku kenal dekat hanya emosi marah, duka, sedih, depresi, dan banyak emosi lainnya yang berhubungan dengan suramnya kematian. Aku tidak bisa memahami mengapa manusia begitu bahagia dengan indahnya dunia. Apakah itu karena aku sudah melihat indahnya surga? Apakah karena itu dunia ini terasa seperti kerikil dibandingkan dengan mewahnya surga? Mungkin.

Akhirnya aku sampai di ujung jalan. Sebuah rumah kecil dengan taman yang dirawat dengan baik. Aku melewati dinding dengan mudah dan bertemulah aku dengan seorang nenek. Orang yang akan mati bisa melihatku dan respon mereka kurang lebih sama. Horor dan pasrah. Tetapi nenek ini hanya tersenyum. Seperti aku adalah anaknya yang datang berkunjung untuk minum teh.

"Anda datang awal." 

"Apakah anda tidak takut padaku?" Tanyaku.

"Tidak, mengapa aku harus takut? Kau hanya melakukan kewajibanmu. Pasti susah menghadapi orang-orang yang enggan untuk mati. Aku tidak mau menambah bebanmu." Jawabnya tulus.

"Aku menghargai usahamu, tapi tidakkah kau merasa sedikit khawatir dengan apa yang akan menunggumu di alam kubur nanti?"

"Mengapa aku harus khawatir? Aku akan dikembalikan kepada Sang Pencipta yang ingin sekali ku temui. Aku seharusnya bahagia anda datang awal."

"Bagaimana dengan keluarga anda? Anak anda, suami anda, orang tua anda, saudara anda? Bagaimana dengan mereka? Tidakkah kau merasa sedih jika mereka berlarut-larut dalam kesedihan?"


"Ah iya, keluargaku. Sejak anakku pergi merantau ke luar negeri, sudah jarang dia datang berkunjung. Tapi tidak mengapa, aku paham. Anak muda sepertinya dan dunia besar yang menarik untuk mata. Dia pasti berambisi menjelajahi seluruh pelosok dunia dan mempelajari hal yang baru. Dia anak yang baik dan mudah tertarik dengan hal baru. Aku tidak akan menghalanginya mengejar impiannya. Aku harus bersyukur dia bisa tumbuh dewasa dengan sehat." Nenek itu menyeka air mata yang keluar dari matanya. "Tapi tentu, aku ingin dia menemaniku di saat-saat seperti ini."

Aku terdiam. Nenek ini berbeda dari manusia-manusia lain yang telah ku cabut nyawanya. Nenek ini, seperti halnya manusia, menyukai indahnya hidup di dunia. Tetapi nenek ini membatasi rasa sukanya terhadap dunia, mempersiapkan dirinya untuk kehidupan selanjutnya, dan bersiap diri untuk hari dimana ia akan dipanggil. Tidak semua orang bisa merelakan semua nikmat dunia seperti ini. Tidak semua orang bisa sabar dengan lika-liku kehidupan seperti nenek ini. Dan apa yang ia dapatkan sebagai ganti? Seorang anak yang melupakannya setelah ia keluar dari sarang.

"Apakah anda akan senang jika anak anda datang di pemakaman anda?"

"Tentu aku akan sangat berbahagia. Aku ingin melihatnya sekali lagi."

"Baiklah. Sekarang izinkan saya mengantarkan anda ke kehidupan berikutnya." 

"Silahkan." Nenek itu menutup matanya dan menghembuskan nafas terakhirnya.

*

"Grim," Panggilnya lirih sembari menarik lengan jubahku. "Apakah itu...itu..-"

"Iya, itu adalah anakmu. Dia pulang secepatnya untuk mengunjungi makammu. Apakah kau tidak bahagia?"

"Aku...aku sangat berterima kasih. Oh, lihat lah dia, tinggi dan dewasa. Tidak lagi kurus dan kecil seperti dulu."

Nenek itu melepaskan pegangannya di jubahku dan berlari ke arah anaknya. Arwah tidak bisa menyentuh makhluk hidup. Makhluk tersebut hanya akan menggigil dan membiarkannya. Tetapi nenek ini membiarkan fakta itu dan tetap memeluk anaknya. Meski ia tau pelukan itu tidak sehangat semasa ia masih hidup, pelukan itu masih terasa sama untuknya. Pelukan spesial penuh cinta murni dari sang ibu untuk sang anak yang dirindukannya.

"Ibu rindu kamu, nak. Ibu tunggu kau datang berkunjung ke Miami, tetapi kenapa kau tak kunjung datang? Kenapa kau baru datang sekarang disaat ibu tidak bisa memelukmu lagi seperti dulu? Kenapa kau baru datang sekarang, nak?"

Seperti menjawab tangisan rindu sang ibu, anak itu mengulang-ulang permintaan maafnya di sela isakan tangisnya. Baru kemarin aku mengambil arwah seorang anak yang ditenggelamkan oleh ayah tirinya, dan sekarang aku mengambil arwah seorang ibu yang enggan berpisah dengan anaknya. Seorang ibu bisa melepaskan indahnya materi, tetapi tetap saja ia tidak bisa melepaskan anak yang ia besarkan dengan peluh keringat dan tangis air mata sendiri.

"Terima kasih." Nenek itu mengagetkanku dengan ucapan terima kasihnya. "Terima kasih, Grim. Maaf telah merepotkanmu. Nak, ibu juga ingin berterima kasih denganmu. Meski kamu tidak datang berkunjung ke Miami, usahamu untuk mengunjungi makamku akan ku hargai. Disaat kamu bertemu dengan Tuan Reaper, tolong jangan repotkan dia. Dia adalah alasan kau ada disini."

"Tidak perlu berterima kasih padaku. Ini hanyalah sesuatu yang kecil." 

"Biarpun begitu, sekecil apapun usaha seseorang, tetap berharga bukan?" Nenek itu tersenyum kembali.

"Aku akan mengingat itu." 

"Baiklah, aku tidak akan mengulur waktumu lebih lama." Nenek itu duduk disamping batu nisannya dan menatap anaknya untuk yang terakhir kalinya. "Tolong jagalah anakku."

"Aku akan mencoba sebisaku."

"Sekali lagi, terima kasih, Grim Reaper."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun