Mohon tunggu...
Azizou Hegar Iwayuri
Azizou Hegar Iwayuri Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hobi melukis dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ki Tak Pernah Menangis

18 Juli 2024   22:52 Diperbarui: 18 Juli 2024   23:02 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nafas Ki naik turun saat menuruni gunung. Kakinya yang pincang kadang membuat geraknya sangat lambat, dan ketika langkahnya baru setengah rambatan pohon yang menjalar curamnya gunung. Ki Sorah lupa apa yang ia lakukan, kenapa ia lari, kenapa ia berjalan ke arah pedukuhan. Begitulah Ki Sorah, memang aneh agaknya orang terbelakang sepertinya. Ia pun bergegas kembali ke gubuk reyot. Tepat setelah membuka pintu, hanya ada tubuh ibunya yang menggelepar di lantai rumah. Sosok Omaer telah lenyap di sapu Sang surya yang mengintip dari balik gunung. Di situ terlihat ibundanya yang sudah tak bernafas. Tubuhnya dingin serta lehernya berbekas merah, dan air matanya membuat kedua pipinya sembap.

***

Maruk dan kedua kawannya memacul tanah tandus di samping mayat yang sudah mereka berempat sholati. Dari jauh terlihat wajah Abah yang sangat murung, belum pernah terlihat Abah Sudan yang semanusia ini, dengan dahi mengerut dan hati yang seakan dikeruk sampai kandas. Sementara itu, Ki Sorah masih sibuk menlucu di belakang mereka berempat.

“Ki...” Sahut Abah lirih.

“Ini ibu engkau Ki..., ia benar-benar menyayangimu. Bahkan sampai ia meninggal, ia masih segan bermain bersamamu. “ Suara Abah begitu lembut, seolah meluncur dari genting rapuh dan jatuh ke pasir.

“Aku tahu. Makanya, setidaknya saat ia mati, aku tak mau kematiannya menyedihkan seperti hidupnya.” Senyuman lega dari Ki, betul-betul senyuman yang tulus sehingga pemakaman hari itu menjadi sangat hangat.

Sambil memendam kain kafan yang mengkilap itu. Ke empat manusia yang lepas bagai gerombolan domba di padang rumput, bersama Ki Sorah yang melantur tak karuan. Seperti biasanya, ia mulai bercerita, tentang perang Padri. Manusia-manusia itu tak segan menahan tawa, mereka memperlihatkan kebahagiaan yang telah lama di telan penderitaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun