Nafas Ki naik turun saat menuruni gunung. Kakinya yang pincang kadang membuat geraknya sangat lambat, dan ketika langkahnya baru setengah rambatan pohon yang menjalar curamnya gunung. Ki Sorah lupa apa yang ia lakukan, kenapa ia lari, kenapa ia berjalan ke arah pedukuhan. Begitulah Ki Sorah, memang aneh agaknya orang terbelakang sepertinya. Ia pun bergegas kembali ke gubuk reyot. Tepat setelah membuka pintu, hanya ada tubuh ibunya yang menggelepar di lantai rumah. Sosok Omaer telah lenyap di sapu Sang surya yang mengintip dari balik gunung. Di situ terlihat ibundanya yang sudah tak bernafas. Tubuhnya dingin serta lehernya berbekas merah, dan air matanya membuat kedua pipinya sembap.
***
Maruk dan kedua kawannya memacul tanah tandus di samping mayat yang sudah mereka berempat sholati. Dari jauh terlihat wajah Abah yang sangat murung, belum pernah terlihat Abah Sudan yang semanusia ini, dengan dahi mengerut dan hati yang seakan dikeruk sampai kandas. Sementara itu, Ki Sorah masih sibuk melucu di belakang mereka berempat.
“Ki...” Sahut Abah lirih.
“Ini ibu engkau Ki..., ia benar-benar menyayangimu. Bahkan sampai ia meninggal, ia masih segan bermain bersamamu. “ Suara Abah begitu lembut, seolah meluncur dari genting rapuh dan jatuh ke pasir.
“Aku tahu. Makanya, setidaknya saat ia mati, aku tak mau kematiannya menyedihkan seperti hidupnya.” Senyuman lega dari Ki, betul-betul senyuman yang tulus sehingga pemakaman hari itu menjadi sangat hangat.
Sambil memendam kain kafan yang mengkilap itu. Ke empat manusia yang lepas bagai gerombolan domba di padang rumput, bersama Ki Sorah yang melantur tak karuan. Seperti biasanya, ia mulai bercerita, tentang perang Padri. Manusia-manusia itu tak segan menahan tawa, mereka memperlihatkan kebahagiaan yang telah lama di telan penderitaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H