Mohon tunggu...
Azizou Hegar Iwayuri
Azizou Hegar Iwayuri Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hobi melukis dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ki Tak Pernah Menangis

18 Juli 2024   22:52 Diperbarui: 18 Juli 2024   23:02 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari bangku Maruk Badul Sayuti yang seperti altar dewa Olympia, terdapat manuskrip lawas yang warna kertasnya samar bagai halimun di pagi hari. Udara subuh yang hangat memaksa tubuh mereka untuk kongko-kongko sejenak di pedukuhan. Teja merah muda yang temaram berhasil membingungkan mata Maruk dan dua kawan karibnya, Agito Badi Muni serta Adik kecilnya Alwi kamil. Bunyi bedug yang sepertinya berasal dari surau Abah Sudan, Yang pagi-pagi buta begini sudah bertugas membangunkan warga. Sementara Maruk, Agi dan Kamil hanya bersender pada badan dinding lapuk. Terdapat pula poster festival kemerdekaan beberapa tahun lalu yang sudah lama tidak di ganti, warnanya pucat, sisi poster itu menyibak tutup, dan kata-kata di poster tersebut hanya bersisa ‘HUT’ sehingga tampak begitu lawas dan lecek.

Sebab belum ada satu pun yang bangun dari per istirahat penuh liur orang-orang. Abah Sudan mementung bedug yang begitu pekiknya sehingga telinga mereka bertiga pun seolah mau pecah dibuatnya.

“A-l-Amak I-ini masih p-u-kul berapa kau S-u-dan!” Bentakan Bapak Umaroeh Jinten yang menggelegar mengalahkan suara tabuhan Bedug yang begitu dahsyat—suaranya yang gagap menambah kesan aneh yang mengakar di kuping.

“Aku membangunkan engkau dan yang lain juga. Kalau kita terus tidur kapan jadi manusianya!?, kau mau terus-terusan jadi lembu malas di kolam lumpur wahai Umaro!”

Bapak Umar geming dan wajahnya tampak sedikit kesal. Abah Sudan yang lajak bak kawanan bison di sahara, serta rambutnya yang ditumbuhi uban yang jarang—menyela embusan angin, hidungnya yang persis seperti bekantan liar terus mengendus-endus aroma pahit dari hari-hari pedukuhan. Bibirnya berkecap dan tahi lalat di atas congornya tampak bergoyang-goyang. DUM! DUM! Rentetan bunyi-bunyian itu seperti auman singa guna menakuti sekawanan lembu yang tidur.

“Bangun kalian! Jangan sampai seekor ayam berkokok duluan sebelum kalian!”

Mereka mendekati moncong sepatu abah yang ringkuk. Begitu ia berbalik, Wajahnya yang garang dan sunggingan bibirnya yang menukik itu terlihat sangat mengancam. “Mau di bawa ke mana manuskrip-manuskrip ini Bah!?” Tanya Agi—suaranya tampak redup diredam dentuman bedug tadi.

“Kau taruh saja di surau. Jadi, sekarang aku minta kalian bertiga..., Anak-anak muda yang kuat-kuat ini menggotong sajadah serta pacul untuk ditebar di lapangan!” Suruhnya.

Mereka menurut dan segera menenteng sajadah menuju lapangan rumput. Abah menyuruh-nyuruh ketiga anak itu dengan suara yang menyalak, “Di situ!” “Di sana!” “Bukan di situ!” Begitulah katanya sambil menyabet-nyabetkan jari telunjuk layaknya seorang mandor. Ketika seperti itu, tubuh Abah yang bungkuk menjadi agak tegak. Lampu-lampu lilin yang samar melompat-lompat ke pundaknya yang kian merosot. Pipinya jadi begitu keriput, dan matanya dipicingkan oleh desir pagi yang lambat.

Lamat-lamat dunia mulai hijau begitu Ki Sorah datang membawa lanturannya. Seperti biasanya, Ki selalu melantunkan gurindam tentang perang Padri. Ialah si pendongeng bodoh.  Ki betul-betul pandai  bercerita, setiap kata yang ia lanturkan benar-benar membuat siapa pun melongo. Hanya Abah sajalah yang  ogah mendengar cerita aneh Ki Sorah yang jenaka itu. Abah sering kali mengata-ngatai Ki dengan julukan yang kasar, si jongos bodoh atau bahkan hewan yang pincang karena ke dunguannya.

Tetapi Ki Sorah tak menanggapi semua ejekan Abah dengan serius. Ia hanya bercanda dengan dirinya sendiri. Menghibur gelora hatinya yang suntuk sebab ibundanya meninggal hari ini. Ki yang baunya seperti jejeran buku tua yang lapuk dan coklat mengingatkan kepada sebuah manuskrip yang mereka tenteng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun