Ada asumsi bahwa proses pembelajaran yang baik adalah berjalannya skenario pembelajaran yang didasarkan pada aktifitas belajar peserta didik yaitu membaca, menulis dan mendengarkan. Ketiga komponen pembelajaran ini telah menjadi sebuah sistem yang berjalan dan mengakar (establised) bertahun-tahun dan tak terbantahkan. Indikator keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukan guru dan peserta didik secara otomatis juga mengacu kepada ketiganya. Guru akan dikatakan berhasil dalam proses pembelajarannya apabila mampu menciptakan nuansa pembelajaran berdasarkan sistem itu.
Guru akan terlihat senang dan bangga apabila melihat anak dan peserta didiknya giat membaca buku-buku pelajaran ataupun buku penunjang lainnya. Aktifitas ini dijadikan indikator pandai karena rajin membaca. Pada hakikatnya postulat “membaca” ini tidak sepenuhnya benar. Membaca hanya merupakan aktifitas visual (pengamatan) yang harus dilalui seorang anak dan peserta didik sebagai prasyarat untuk memperoleh pengetahuan. Pada hal tujuan pembelajaran adalah untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Aktifitas lain dalam sebuah proses pembelajaran adalah menulis. Guru akan terlihat gembira dan senang apabila melihat anak dan peserta didiknya mempunyai buku catatan yang lengkap dan rapi. Seolah-olah tulisan yang lengkap dan rapi menggambarkan suatu nuansa pada diri peserta didik yang rajin dan pintar. Tesa “catatan lengkap dan rapi” ini tidak mewakili kebenaran secara utuh tentang kualitas anak dan peserta didik. Menulis hanyalah satu skill psikomotor (keterampilan) dari berbagai skill yang dimiliki peserta didik. Kurang bijakasana jika pengukuran kemampuan anak didik hanya disandarkan pada satu kamampuan saja.
Akhir dari sebuah proses pembelajaran adalah evaluasi. Kerapkali guru menyalahkan peserta didik karena mendapat nilai evaluasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Lantas guru membuat testimoni subjektif dan mengeluhkan tentang peserta didiknya yang kurang memperhatikan dan mendengarkan saat pembelajaran berlangsung sebagai biangnya. Aktifitas “mendengarkan” menjadi paradigma absolut bagi guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik.
Peserta didik yang kurang memperhatikan dan mendengarkan penjelasan guru dianggap sebagai sebuah problem. Kebanyakan guru mengimpikan peserta didiknya senyap mendengarkan saat dirinya menjelaskan sesuatu. Pola kegiatan guru ini memberikan stigma bahwa peserta didik yang memperhatikan dan mendegarkan wejangan guru dengan serius akan berdampak positif bagi penerimaan informasi pengetahuan peserta didik dan meyakini bahwa proses pembelajarannya berhasil karena peserta didik tertarik (interested) pada penjelalasannya.
Ketiga paradigma pembelajaran diatas perlu direformulasi untuk menciptakan sebuah proses pembelajaran yang berasaskan pada “belajar itu berfikir” dengan formula pembejalaran yang berbasis saintifik dengan filofosofi konstruktivistik yang lebih mengedepankan proses berfikir peserta didik dalam belajar. Proses “belajar itu berfikir” menitikberatkan pada eksistensi dan kemampuan peserta didik. Postulat Belajar itu Berfikir menghargai potensi dasar peserta didik (fitrah) sebagai makhluk yang berfikir dan menggunakan fikirannya untuk menjadi khalifah fil ardli.
Bias Makna Pembelajaran
Ada anggapan bahwa proses pembelajaran adalah menekankan dan berorientasi pada membaca buku sebagai sumber pengetahuan, menulis atau mencatat sebanyak-banyaknya informasi yang diperoleh peserta didik, dan proses pembelajaran adalah menyerap informasi pengetahuan dengan mendengarkan dengan teliti dan seksama. Apakah proses pembelajaran yang demikian dapat memancing dan menumbuh kembangkan daya bangun dan cipta pikir serta kreasi peserta didik?
Dalam pandangan saya, perlu adanya perubahan pola pikir dalam mendidik dan mengajar siswa yang lebih detail dan teknis dalam pelaksanaannya. Sehingga guru mempunyai pijakan yang jelas, alur pemikiran yang sistematis, adaptif, kreatif, dan inovatif. Paradigma filosofis konstruktivistis dalam pembelajaran yang mengedepankan kebebasan terstruktur dalam perolehan ilmu pengetahuan dapat dijadikan alternatif sebagai landasan pembelajaran .
Sejarah Konstruktivistik
Gagasan pokok konstruktivisme dimunculkan pertama kali oleh Giambatissta Vico seorang epistimolog Italia. Dan untuk pertama kalinya konstruktivisme muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas dan diperdalam oleh Jean Peaget (Suparno , 1997). Peaget dapat dikatakan sebagai penerus dan penyebar gagasan-gagasan Vico. Sebagai psikolog, Peaget lebih jauh menginterpretasikan dan mengembangkannya menjadi sebuah teori belajar sebagai postulasi dari filsafat.
Sorotan awal konstruktivisme adalah tentang pengetahuan. Konstruktivisme memandang bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil dari konstruksi manusia. Manusia membangun pengetahuannya hasil dari interaksi antara diri dan lingkungannya. Bagi kaum seorang guru konstruktivis pengetahuan tidak dapat ditransfer dari orang ke orang lain, tetapi melalui suatu tahap dan proses yang diinterpretasikan sendiri oleh orang itu. Pengetahuan bukanlah barang jadi, tetapi ia adalah sebuah proses yang terus berubah dan berkembang. Inisiatif, kreativitas dan keaktifan individu sangat berperan dalam mendapatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Paradigma dan Tokoh konstruktivisme
Von Glasersfeld menyebutkan konstruktivisme tentang kebenaran dan pengetahuan bahwa ada tiga macam konstruktivisme yaitu konstruktivisme radikal, realisme hipotetis dan konstruktivisme biasa (Suparno , 1997). Lebih lanjut Matthews (1994) ada dua tradisi aliran besar dalam konstruktivisme yaitu :
- Konstruktivisme Psikologis
Konstruktivisme Psikologis dibagi dua yaitu aliran Peaget yang personal dan Vygotsky yang lebih sosial. Dan adapun konstruktivisme sosiologis berdiri sendiri.
Jean Peaget
Pandangan Peaget yang personal dan individual dalam perolehan dan pembentukan ilmu pengetahuan. Ia memakai dasar-dasar postulat filsafat konstruktivisme dalam bagaimana seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan. Menurutnya bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran kedalam suatu proses seperti organisme beradaptasi dengan lingkungan. Sebagai seorang psikolog Peaget lebih tertarik membicarakan bagaimana seorang anak didik dengan pelan-pelan membentuk pengetahuannya sendiri dengan mengembangkan skema-skema dan mengubah skema. Meski diakuinya bahwa pada taraf tertentu lingkungan dipakai anak didik sebagai objek untuk memperoleh pengetahuan.
Ada beberapa teori belajar Peaget yaitu:
Skema
Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya secara intelektual seseorang beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan anak. Skema adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi, hipotesis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan dan naluri. Suatu contoh anak didik yang sedang berjalan dengan temannya, dan melihat seekor kambing. Saudaranya bertanya,” apa itu? Anak itu melihat dan menjawab “anjing”. Sendainya anak didik itu belum pernah melihat kambing, tapi dalam pikiran anak itu telah terbentuk katagori skema anjing yang mempunyai kemiripan dengan kambing yaitu merangkak, bertelinga, dan berkaki empat. Sehingga anak itu akan menjawab sesuai dengan skema kognitifnya yaitu anjing.
Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengan itu anak didik menginterpretasi dan mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru kedalam skema pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Asimilasi juga bisa diartikan sebagai suatu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang itu berkembang.
Akomudasi
Ada kalanya siswa tidak mampu mengasimilasikan pengalaman barunya dengan skema yang telah ada sebelumnya. Bisa jadi disebabkan adanya ketidakcocokan dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan ini siswa melakukan akomodasi yaitu: (1). Membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru. (2). Memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Misal, dalam skema anak didik bahwa musim kemarau itu tidak akan turun hujan, akan tetapi suatu waktu di musim kemarau hujan masih turun. Dengan demikian siswa harus mengubah skema lamanya, bahwa ada kemungkinan di musim kemarau turun hujan.
Equilibrasi
Proses asimilasi dan akomodasi diperlukan dalam mengembangkan struktur kognitif siswa. Dalam perkembangannya dibutuhkan keseimbangan (equilibrasi) yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi. Proses ini dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur skemata.
Teori adaptasi intelek
Yang disebut dengan mengerti dalam pandangan Peaget adalah suatu proses adaptasi intelektual tentang pengetahuan-pengetahuan baru, ide-ide baru yang diinterpretasikan dengan skema yang ada untuk membentuk pengertian baru. Menurutnya skema berkembang seiring perkembangan intelektual khususnya pada taraf operasional formal. Ia mengklasifikasikan perkembangan kognitif seseorang kepada ; tahap sensori motor, praoperasional, operasional kongkrit dan operasional formal.
Vygotsky
Vygotsky memfokuskan pada hubungan dialektika antara individu dan masyarakat dalam pembentukan ilmu pengetahuan. Ia memperhatikan hasil interaksi sosial, terutama bahasa dan budaya dalam proses belajar anak. Menurutnya dalam Suparno (1997) belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Ia membedakan dua pengertian yaitu pengertian spontan dan ilmiah.
Pengertian spontan yaitu pengertian yang didapatkan dari pengalaman anak-anak sehari-hari. Pengertian ini tidak terdefinisikan dan terangkai secara sistematis logis.
Pengertian ilmiah yaitu pengertian yang didapat dikelas. Pengertian ini adalah pengertian formal yang terdefinisikan secara sistematis logis.
Pengertian ilmiah anak tidak didapatkan dalam bentuk jadi. Ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan tingkat kemampuan anak. Dalam proses belajar kedua pengertian itu saling berkaitan. Vygotsky menggunakan dua istilah dalam kaitannya dengan pengertian ilmiah yaitu:
Zo–Ped. Yaitu suatu wilayah tempat bertemunya antara pengertian spontan anak dengan pengertian sistematis logis orang dewasa.
Inner speech. Adalah kumpulan bicara pokok yang digunakan sebagai alat dalam berpikir. Inner speech berperan dalam pembentukan pengertian spontan. Pengertian spontan ini dibagi menjadi dua yaitu : pengertian dalam dirinya sendiri dan pengertian untuk orang lain.
Ausubel
Menurut Ausubel, Novak dan Hanesian dalam Suparno (1997) ada dua jenis belajar yaitu : (1). Belajar bermakna (meaningfull learning) dan (2). Belajar menghafal (rote learning).Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Bila konsep yang cocok dengan fenomen baru itu belum ada dalam struktur kognitif seseorang, informasi baru harus dipelajari lewat belajar menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh informasi baru dalam dunai pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang telah ia ketahui.
Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat dengan inti pokok konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomen, dan fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep dan mengandaikan bahwa proses belajar siswa itu aktif.
Konstruktivisme sosiogis
Konstruktivisme sosiologis berpandangan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus juga merupakan faktor dalam perubahan sosial. Kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan secara sosial. Konstruktivisme sosiologis menekankan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan konstruksi sosial, bukan konstruksi individual. Kelompok ini menekankan lingkungan, masyarakat, dan dinamika pembentukan ilmu pengatahuan. Hal ini berbeda dengan pandangannya Peaget bahwa ilmu pengetahuan dibentuk oleh individu melalui proses berpikir terhadap suatu objek.
Konstruktivisme sosiologis mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah dibentuk dan dibenarkan secara sosial. Suasana, lingkungan, dan dinamika individu dikesampingkan. sebaliknya mereka lebih menekankan bahwa lingkungan sosial yang menentukan kepercayaan individu.
Implikasi Konstruktivisme dalam PBM PAI
Suparno (1997) mencatat beberapa implikasi konstruktivisme dalam pembelajaran yaitu:
Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah dia punyai. Dalam PBM PAI seorang guru harus mempunyai keyakinan bahwa anak didik tidak kosong pengetahuan agama yang dianutnya. Pada dasarnya, sedikit banyak anak didik telah mengetahui konsep tauhid, aqidah, syariah dan muamalah. Sehingga guru PAI hanya perlu melakukan proses adaptasi mental dan kognitif anak dengan penguatan-penguatan dasar pijakan agama melalui dalil naqli dan akli.
Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomen atau persoalan baru, diadakan rekonstruksi baik secara kuat ataupun lemah. Guru PAI dituntut mampu mengadaptasi perkembangan ilmu pengetahuan. Akselerasi ilmu pengetahuan akan selalu memunculkan masalah-masalah baru dan tantangan baru. Konsep dan defenisi tentang persoalan-persoalan keagamaan sehari-hari perlu direkonseptualisasi dan redifinisi. Seorang guru PAI tidak bisa lagi terpaku pada tumpukan buku pegangan. Guru agama harus mampu menghadirkan konstruksi warna dan nuansa baru pada standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang ada dalam silabus pendidikan agama islam
Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang. Dalam setiap jenjang dan tingkatan pendidikan sering kali terjadi pengulangan materi pelajaran agama islam, misal tentang rasul-rasul Allah. Pada dasarnya pengulangan materi itu bukan masalah besar akan tetapi tuntutannya adalah bagaimana seorang guru PAI mampu menghadirkan konsep dan pengertian baru dari apa yang telah diketahui dan dipahami oleh anak didik pada jenjang pendidikan sebelumnya. Dengan demikian, pengetahuan anak didik tentang materi yang sama tetap upto date.
Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar. Seorang guru PAI perlu melakukan penggalian lebih lanjut tentang konsep agama islam yang disandarkan pada dalil-dalil naqli yang bersifat dhanni
Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar: konsep-konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Menurut kaum konstruktivis bahwa guru adalah penyedia dan fasilitator bagi anak untuk belajar. Adapun fungsi sebagai mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas berikut :
Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan proses, proses, dan penelitian. Karena itu, jelas memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan murid dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan penghalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik.
Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran si murid jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan murid itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan murid.
Secara praksis diperlukan suatu peran dan tugas agar proses itu berjalan optimal yang disadari oleh guru yaitu:
Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh-sungguh terlibat.
Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga ditengah pelajar.
Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.
Driver dan Oldham, dalam Suparno (1997) mengutarakan beberapa ciri menghajar konstruktivistik yaitu:
Orientasi. Murid diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik. Murid diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
Elisitasi. Murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster dan lain-lain. Murid diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan dalam wujud tulisan, gambar ataupun poster.
Restrukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal:
Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok.
Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau ide tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman.
Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan baru.
Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam pengecualiannya.
Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merivisi gagasannya entah dengan menambahkan suatu keterangan ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.
Degeng (1998) mengungkapkan beberapa pandangan tentang ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut:
Belajar dan pembelajaran
- Konstruktivistik memandang bahwa pengetahuan adalah non objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu.
- Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman kongkrit, aktivitas kolaboratif dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan.
- Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
- Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik.
Penataan lingkungan belajar dan pembelajaran
- Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan.
- Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar.
- Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
- Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar.
- Kontrol belajar dipegang oleh si belajar.
Tujuan pembelajaran
- Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar, bagaimana belajar menciptakan pemahaman baru, yang menuntut aktifitas kreatif produktif dalam konteks nyata, yang mendorong si belajar untuk berpikir dan berpikir ulang dan mendemostrasikan apa yang sedang dan telah dipelajari.
Strategi pembelajaran
- Penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan ke bagian.
- Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau penangan si belajar.
- Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
- Pembelajaran menekankan pada proses.
Evaluasi
- Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata
- Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban yang benar.
- Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna seta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. Evaluasi menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok.
Catatan Konstruktivisme
Teori belajar adalah sebuah teori kemungkinan. Jadi, ada kalanya satu teori belajar cocok untuk satu situasi dan lingkungan belajar tertentu, tapi tidak cocok untuk suatu lingkungan belajar yang lain. Idealnya, suatu teori belajar adalah aplikabel dalam setiap situasi belajar kapanpun, dimanapun dan untuk siapapun. Jadi teori belajar pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan tersendiri sebagai ciri khasnya.
Konstruktivisme sebagai teori belajar juga juga tidak lepas dari catatan-catatan berikut:
- konsep dasar pembelajaran konstruktivistik adalah penekanan pada belajar bagaimana siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Dalam hal ini akan berhadapan dengan tingkat kemauan dan kecerdasan siswa yang hetererogen dan kurikulum yang sudah baku. Dari sisi kemauan dan kecerdasan, bagi anak yang memiliki kemauan yang kuat dan tingkat kecerdasan yang baik tidak akan mengalami kesulitan dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Kurikulum yang sudah baku menuntut adanya keterapaian tujuan pendidikan secara nasional, institusional, instruksional dan personal. Dengan demikian dibutuhkan kreatifitas dan kemampuan guru dalam berimprovisasi dalam mengajar.
- situasi dan kondisi lembaga sekolah yang berbeda akan sedikit menghambat penerapan konstruktivistik. Tersedianya media, lingkungan belajar yang mendukung, guru dan bahan ajar akan menjadi faktor kendala. Oleh sebab itu penerapan konstruktivistik harus melihat situasi dan kondisi dari sekolah. Artinya seorang guru harus mampu mendeteksi pada saat dan waktu yang bagaimana pembelajaran konstruktivistik cocok diterapkan.
- dari sistim evaluasi, konstruktivistik belum memberikan acuan yang jelas secara teknis. Sehingga sistim evaluasi itu dapat dicerna dan dilihat secara kasat mata oleh praktisi pendidikan. Evaluasi dengan multiple choice hanya menekankan pada pengukuran anak didik secara kognitif. Berseberangan dengan semangat konstruktivistik.
- sebagai teori belajar yang relatif baru. Teori belajar lama tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sehingga kita hanya perlu mengadakan reformulasi terhadap teori belajar lama dengan teori belajar baru. Sehingga tercipta kekuatan yang sinergis antara teori lama dengan teori baru. Wallahu A’lam Bishowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H