Penulis: Fatima Mernissi
Judul Buku: Wanita di dalam Islam
Judul Resensi: Ketika Islam Berbicara tentang Wanita menurut Pandangan Fatima Mernissi
Tempat Terbit: Bandung
Penerbit: Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan Pertama Tahun 1994
Tebal Halaman: 281
Salah satu tanda bahwa kita memasuki kehidupan era baru megateknik, yaitu dengan hadirnya globalisasi multimedia, dimana berbagai sistem teknologi melebur menjadi suatu jaringan megaorganik yang dikuasai oleh jaringan perusahaan-perusahaan raksasa transsional,Â
Dimana negara-negara kebangsaan kini berfungsi sebagai sarana administratif dan polisional belaka bagi kepentingan aliran yang menyatakan bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki, pernyataan tersebut didasari oleh fakta bahwa Siti Hawa diciptakan dari rusuk Adam. Sebagaimana penggalan surat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 228, yang mengatakan bahwa "...untuk laki-laki satu derajat lebih daripada perempuan."Â
Padahal jika ayat tersebut dipahami secara keseluruhan, itu tidak menyangkut hak laki-laki secara umum, akan tetatapi hanya khusus dalam masalah perceraian saja. Lebih daripada itu, pandangan negatif tentang perempuan itu menjadi pembenaran bagi struktur dominasi laki-laki dalam keluarga.Â
Dimana nasib perempuan dianggap bergantung di ujung struktur kepribadian suaminya, sebagaimana nasib rakyat bergantung di ujung struktur kepribadian rajanya. Hal tersebut terjadi sampai menjelang runtuhnya peradaban Islam, yaitu kurun kedua di akhir perang dunia pertama dan jatuhnya Daulah 'Utsmaniyah di Turki.
Lebih mirisnya lagi setelah Islam sudah memasuki masa kejayaan, para pemikir Muslim tetap kurang menggunakan rasionalitas semaksimal mungkin  tentang perempuan.Â
Sehingga ketika mengkritik feminisme, mereka cenderung mengambil perumusan Islam tradisional, bahkan dikuatkan dan diperkokoh dengan menggunakan data-data "ilmiah" para ilmuwan Barat tentang kedudukan perempuan, dimana mereka enggan untuk membuka mata melihat realitas historis tentang wanita Islam di negerinya sendiri.Â
Padahal jika ditilik lebih dalam yang dibutuhkan sekarang, bukan lagi sebuah gerakan anitifeminisme yang tradisional konservatif, akan tetapi suatu gerakan pascafeminisme Islami interagtif, dimana posisi perempuan bukan sebagai lawan laki-laki, melainkan sebagai kawan yang sama-sama ingin membebaskan dirinya dari tarikan naluri kehewanan, dan tarikan pengkondisian kemesinan di masa depan.
Maka untuk merealisasi komplementraitas perempuan dan laki-laki itu, memang harus merujuk pada ayat suci Al-Qur'an yang terdapat dalam surat an-Naba' ayat 8 :
(:8)
Artinya:"Dan telah kami jadikan kamu berpasang-pasangan".Â
Melalui ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hakikat dari penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk berpasang-pasangan bukan untuk saling melawan, adu jabatan dan lain sebagainya. Dan tentunya tujuan dari hidup berpasang-pasangan, adalah untuk menciptakan sebuah keharmonisan dan keseimbangan.Â
Dan hal itu tidak hanya berlaku kepada sepasang manusia saja. Bahkan hewan, tumbuh-tumbuhan juga demikian. Oleh sebab itu hendaknya kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki itu memang harus diperhatikan dan disetarakan. Dimana laki-laki tidak serta- merta memperlakukan seorang perempuan dengan pandangan yang hina dan rendah.Â
Maka memang perlu refleksi kritis terhadap penafsiran al-Qur'an yang dilakukan oleh mufassir baik yang tradisional maupun yang modernis.
Pada awal islam, kaum perempuan Muslim tidak berperan dalam urusan masyarakat, meskipun islam telah memberikan hak untuk mereka. Bahkan seringkali hak yang mereka dapatkan sama dengan hak yang diterima oleh laki-laki.Â
Hal ini berlandaskan pada cerita dimana setelah wafatnya Nabi Saw, para Sahabat Nabi bermusyawarah siapa yang akan menjadi penggantinya, dan tidak ada seorangpun dari perempuan yang diajukan untuk berperan serta.Â
Lantas bagaimana respon masyarakat islam waktu itu ketika mengetahui bahwa Aisyah yang memimpin perang Unta ? tindakan tersebut dianggap tercela dan keliru oleh para Sahabat besar dan dikutuk oleh istri-istri Nabi yang lain.Â
Bahkan untuk memperjelas masalah tersebut, seorang sejarawan yang bernama Sa'id al-Afghany, meneliti Aisyah selama sepuluh tahun, untuk kemudian hasilnya dijelaskan kepada kaum muslim sebuah persoalan yang telah mendesak sejak modernisasi, yakni antara perempuan dan politik. Dari penelitian tersebut di akhir Sa'id al-Afghany memberi kesimpulan bahwa memang perlu menjauhkan kaum perempuan dari politik secara mutlak.Â
Sebab kejadian ini muncul hadits misogini , yang artinya sebagai berikut "Barangsiapa yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita, mereka tidak akan pernah memperoleh kemakmuran" (Hadits misogini) ,Â
Aisyah sendiri menyadari hal itu, menurutnya karena campur tangan dia sendiri, kaum Muslim jadi berpecah belah menjadi dua faksi antara Sunni dan Syi'ah, oleh sebab itu Aisyah meminta maaf serta bertanggung jawab akan hal itu, bahkan ia juga bertanggungjawab atas semua kerugian susulan yang diderita oleh para pengikutnya.Â
Akan tetapi disamping itu yang mengejutkan para pembaca modern dari riwayat perang Unta yang terkenal itu, adalah rasa hormat yang diperlihatkan masyarakat terhadap Aisyah. Namun berangkat dari sejarah ini, yang menjadi perdebatan sengit hingga saat ini tentang hak perempuan adalah masalah politik. Dimana pemilihan pemimpin politik memang harus betul-betul diperhatikan, sehingga tidak terjadi kehancuran.Â
Oleh sebab itu tentunya masalah ini yang memicu para tokoh muslim untuk berfikir guna menyelesaikan berbagai masalah politik dan ekonomi yang menyebabkan perpecahan masyarakat muslim itu sendiri. Selesai dari permasalahan politik, buku ini juga menjelaskan tentang cerita Ummu Salamah yang bertanya kepada Rasulullah. "mengapa al-Qur'an tidak membicarakan wanita seperti layaknya pria?".Â
Kemudian Rasulullah menjawab pertanyaan itu dari mimbar Masjid . "Wahai manusia ! Allah telah berfirman, "sesungguhnya laki-laki Muslim dan perempuan Muslimah, laki-laki yang Mu'min dan Mu'minah ..dan seterusnya..". yaitu Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar".Â
Penggalan ayat tersebut menegaskan bahwa "kedudukan antara pria dan wanita adalah sama, baik pria maupun wanita. Pertanyaan Ummu Salamah jelas mewakili gerakan protes kaum perempuan lainnya. Namun tidak cukup dengan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah kepada Rasulullah mengenai perempuan, sejumlah perempuan lain mendatangi isteri-isteri Rasulullah dan berkata:Â
"Allah telah menyebut tentang anda (Istri-istri Rasulullah) di dalam Al-Qur'an, tetapi Dia tidak pernah menyebutkan tentang kami, Apakah tidak ada sesuatu tentang kami yang layak disebutkan ? untuk menjawab pertanyaan tersebut Allah turunkan Surat an-Nisa' (wanita), Â salah satu surat yang berisi hukum baru mengenai warisan dan mencabut hak istemewa kaum laki-laki, dimana sebelum ayat ini turun hanya laki-lakilah yang berhak menerima hak waris.Â
Dalam kasus warisan, Ummu Kajjah menjadi salah satu contoh, ia mengeluh kepada Rasulullah: "Suami saya meninggal, dan mereka mencegah saya memperoleh warisan, dan saya memiliki lima seorang anak perempuan, mereka juga tidak mendapatkan hak warisan karena terhalang oleh laki-laki". Â Kubaysya juga mengeluh demikian: "Ya Rasulullah saya tidak memperoleh warisan dari suami saya dan saya juga tidak memiliki kebebasan untuk menikah kembali dengan orang yang saya inginkan".Â
Konfilik ini jelas menyebabkan kaum laki-laki dan perempuan saling bertentangan satu sama lain, dan memecah belah masyarakat. Hingga akhirnya Allah turunkan surat an-Nisa' ayat 19, sebagai jawaban atas keresahan kaum perempuan dalam memperoleh hak waris. Tidak hanya ayat 19 saja, dalam mempertahankan hukum baru mengenai warisan, surat an-Nisa' dalam banyak ayatnya menyebutkan dengan rinci bagian warisan untuk masing-masing perempuan di berbagai keadaan yang memungkinkan. Â
Akan tetapi pada masa itu para pria yang tidak setuju terhadap ayat tersebut, mereka mencari jalan lain untuk menginterpretasikannya yaitu dengan cara memanipulasinya, dan mereka terus mencoba menentang dimensi egalitarian Islam. Sehingga mereka tetap bisa menjaga hak-hak istimewa mereka.
Kemudian salah satu praktek yang sangat revolusioner dalam islam, islam melembagakan masa iddah, yaitu suatu masa menunggu yang disyaratkan islam bagi seorang perempuan yang baru berpisah dari suaminya (baik karena perceraian maupun sebab kematian). Agar ia tidak menikah lagi sebelum melalui periode menstruasi.Â
Tujuan dari masa iddah adalah untuk meyakinkan, jika seandainya perempuan hamil, siapakah ayah kandung yang sebenarnya dari seorang bayi yang dikandungnya itu.Â
Demi kejelasan garis keturunannya. Sedangkan dalam kehidupan Pra-Islam, nasab anak dan ayahnya itu tidak penting (untuk suku-suku yang masih mempraktekkan sistem matriarkhat), atau tidak memadai (untuk perempuan tawanan perang yang tinggal dengan penawannya), atau untuk budak perempuan yang berpindah dari satu tuan lainnya), atau tidak mungkin dan tampaknya tak terlalu penting, dalam hal perkawinan temporal mut'ah).Â
Dalam kasus yang terkhir, yang hingga sekarang tetap mampu memicu perdebatan antara kelompok sunni (yang mengecamnya), dan kaum Syi'ah (yang membolehkan perbuatan itu), seorang pria dan wanita bisa memutuskan untuk hidup sebagai suami-isteri selama beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan. Dimana sejak awal pernikahan, mereka telah menetapkan hingga kapan perkawinan mereka akan berakhir, dan telah disepakati oleh kedua pasangan tersebut.Â
Perkawinan semacam itu, yang dilakukan oleh kaum pengembara, atau para pedagang yang harus melakukan perjalanan jauh, dilarang oleh kaum Sunni. Mereka menganggap hal ini bertentangan langsung dengan prinsip-prinsip keluarga Muslim, terutama peraturan garis-bapak yang menghubungkan seorang anak dengan ayah kandungnya.
Jauh sebelum itu, perlu juga kita ketahui bagaimana kehidupan yang terjadi sebelum islam lahir membawa kedamaian. Bahwa tradisi yang terjdi pada masa pra-islam selain memperdebatkan masalah hak waris yang tidak dibagi secara adil kepada kaum perempuan, mereka juga menjadi obyek pelecehan seksual dan penganiayaan.Â
Maka untuk menjaga kesucian mereka Allah turunkan surat al-Ahzab ayat 59:
, (:59)
Artinya : "Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehinga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (al-Ahzab:59)".
Ayat di atas berisikan peringatan kepada isteri-isteri Rasulullah agar mengenakan jilbab, dengan tujuan agar mereka mudah dikenali. Umar salah satu sahabat yang responsible terhadap perintah itu, dimana memang filosofi hijab yang di dukung oleh Umar sangatlah jelas.Â
Hal tersebut bisa dilihat dari contoh berikut, dimana ketika kaum munafik yang menyerang para perempuan, dikumpulkan untuk diberi penjelasan mengenai hijab, mereka memberi pembenaran dan mengatakan "Mereka adalah para budak". Dan Allah memerintahkan perempuan untuk mengganti pakaian mereka agar bisa dibedakan dari para budak, dan untuk itu mereka harus menyelubungi diri dengan jilbab (jubah).
Dari pemaparan diatas, besar harapan kepada para pembaca sekalian agar pandangan mengenai hakikat perempuan lebih diperhatikan lagi. karena yang tetap menjadi pernyataan hingga saat ini, yaitu kurang adanya rasa perhatian yang lebih terhadap citra seorang perempuan. Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H