Konfilik ini jelas menyebabkan kaum laki-laki dan perempuan saling bertentangan satu sama lain, dan memecah belah masyarakat. Hingga akhirnya Allah turunkan surat an-Nisa' ayat 19, sebagai jawaban atas keresahan kaum perempuan dalam memperoleh hak waris. Tidak hanya ayat 19 saja, dalam mempertahankan hukum baru mengenai warisan, surat an-Nisa' dalam banyak ayatnya menyebutkan dengan rinci bagian warisan untuk masing-masing perempuan di berbagai keadaan yang memungkinkan. Â
Akan tetapi pada masa itu para pria yang tidak setuju terhadap ayat tersebut, mereka mencari jalan lain untuk menginterpretasikannya yaitu dengan cara memanipulasinya, dan mereka terus mencoba menentang dimensi egalitarian Islam. Sehingga mereka tetap bisa menjaga hak-hak istimewa mereka.
Kemudian salah satu praktek yang sangat revolusioner dalam islam, islam melembagakan masa iddah, yaitu suatu masa menunggu yang disyaratkan islam bagi seorang perempuan yang baru berpisah dari suaminya (baik karena perceraian maupun sebab kematian). Agar ia tidak menikah lagi sebelum melalui periode menstruasi.Â
Tujuan dari masa iddah adalah untuk meyakinkan, jika seandainya perempuan hamil, siapakah ayah kandung yang sebenarnya dari seorang bayi yang dikandungnya itu.Â
Demi kejelasan garis keturunannya. Sedangkan dalam kehidupan Pra-Islam, nasab anak dan ayahnya itu tidak penting (untuk suku-suku yang masih mempraktekkan sistem matriarkhat), atau tidak memadai (untuk perempuan tawanan perang yang tinggal dengan penawannya), atau untuk budak perempuan yang berpindah dari satu tuan lainnya), atau tidak mungkin dan tampaknya tak terlalu penting, dalam hal perkawinan temporal mut'ah).Â
Dalam kasus yang terkhir, yang hingga sekarang tetap mampu memicu perdebatan antara kelompok sunni (yang mengecamnya), dan kaum Syi'ah (yang membolehkan perbuatan itu), seorang pria dan wanita bisa memutuskan untuk hidup sebagai suami-isteri selama beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan. Dimana sejak awal pernikahan, mereka telah menetapkan hingga kapan perkawinan mereka akan berakhir, dan telah disepakati oleh kedua pasangan tersebut.Â
Perkawinan semacam itu, yang dilakukan oleh kaum pengembara, atau para pedagang yang harus melakukan perjalanan jauh, dilarang oleh kaum Sunni. Mereka menganggap hal ini bertentangan langsung dengan prinsip-prinsip keluarga Muslim, terutama peraturan garis-bapak yang menghubungkan seorang anak dengan ayah kandungnya.
Jauh sebelum itu, perlu juga kita ketahui bagaimana kehidupan yang terjadi sebelum islam lahir membawa kedamaian. Bahwa tradisi yang terjdi pada masa pra-islam selain memperdebatkan masalah hak waris yang tidak dibagi secara adil kepada kaum perempuan, mereka juga menjadi obyek pelecehan seksual dan penganiayaan.Â
Maka untuk menjaga kesucian mereka Allah turunkan surat al-Ahzab ayat 59:
, (:59)
Artinya : "Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehinga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (al-Ahzab:59)".