Dimana nasib perempuan dianggap bergantung di ujung struktur kepribadian suaminya, sebagaimana nasib rakyat bergantung di ujung struktur kepribadian rajanya. Hal tersebut terjadi sampai menjelang runtuhnya peradaban Islam, yaitu kurun kedua di akhir perang dunia pertama dan jatuhnya Daulah 'Utsmaniyah di Turki.
Lebih mirisnya lagi setelah Islam sudah memasuki masa kejayaan, para pemikir Muslim tetap kurang menggunakan rasionalitas semaksimal mungkin  tentang perempuan.Â
Sehingga ketika mengkritik feminisme, mereka cenderung mengambil perumusan Islam tradisional, bahkan dikuatkan dan diperkokoh dengan menggunakan data-data "ilmiah" para ilmuwan Barat tentang kedudukan perempuan, dimana mereka enggan untuk membuka mata melihat realitas historis tentang wanita Islam di negerinya sendiri.Â
Padahal jika ditilik lebih dalam yang dibutuhkan sekarang, bukan lagi sebuah gerakan anitifeminisme yang tradisional konservatif, akan tetapi suatu gerakan pascafeminisme Islami interagtif, dimana posisi perempuan bukan sebagai lawan laki-laki, melainkan sebagai kawan yang sama-sama ingin membebaskan dirinya dari tarikan naluri kehewanan, dan tarikan pengkondisian kemesinan di masa depan.
Maka untuk merealisasi komplementraitas perempuan dan laki-laki itu, memang harus merujuk pada ayat suci Al-Qur'an yang terdapat dalam surat an-Naba' ayat 8 :
(:8)
Artinya:"Dan telah kami jadikan kamu berpasang-pasangan".Â
Melalui ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hakikat dari penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk berpasang-pasangan bukan untuk saling melawan, adu jabatan dan lain sebagainya. Dan tentunya tujuan dari hidup berpasang-pasangan, adalah untuk menciptakan sebuah keharmonisan dan keseimbangan.Â
Dan hal itu tidak hanya berlaku kepada sepasang manusia saja. Bahkan hewan, tumbuh-tumbuhan juga demikian. Oleh sebab itu hendaknya kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki itu memang harus diperhatikan dan disetarakan. Dimana laki-laki tidak serta- merta memperlakukan seorang perempuan dengan pandangan yang hina dan rendah.Â
Maka memang perlu refleksi kritis terhadap penafsiran al-Qur'an yang dilakukan oleh mufassir baik yang tradisional maupun yang modernis.
Pada awal islam, kaum perempuan Muslim tidak berperan dalam urusan masyarakat, meskipun islam telah memberikan hak untuk mereka. Bahkan seringkali hak yang mereka dapatkan sama dengan hak yang diterima oleh laki-laki.Â