Mohon tunggu...
Azizah Putri
Azizah Putri Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - nurazizah

Nur Azizah Eka Putri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serba Salah

29 September 2019   09:00 Diperbarui: 29 September 2019   09:29 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari mulai muncul menunjukkan senyum indahnya, memancarkan sinarnya yang perlahan menembus jendela kamar Karin dan membangunkan Karin dari tidur lelapnya. Namun, senyuman indah sang surya tak membuat Karin merasakan hal yang sama. 

Ia masih  saja memikirkan kepergian sahabatnya, Nia, tanpa sebab yang jelas. Hal ini membuat Karin semakin cemas dan penasaran mengapa sahabatnya pergi secara tiba-tiba, yang Karin tau Nia menulis surat untuknya yang Nia letakannya diloker meja Karin. 

Entah bagaimana surat itu bisa ada disana, kemungkinan 2 hari yang lalu Nia pergi pagi-pagi sekali ke sekolah dan meletakkan surat itu diloker Karin

 "Karin ayo bangun udah siang ini, trus sarapan nanti kamu telat!" teriakan mama dari luar kamar yang langsung membuyarkan lamunan Karin

"Eh iya ma," sahut Karin

Karin bergegas mengambil handuk dan baju mandi dari lemari dan meletakkannya di atas meja khusus di kamar mandi. Kamar mandi Karin berada dalam kamarnya, jadi seragam untuk hari Selasa hanya ia letakkan di atas tempat tidur. 

Sekitar 15 menit, Karin siap untuk turun dan sarapan bersama mama. Mama sedari tadi menunggu Karin yang tak kunjung turun, sambil sesekali memainkan ponselnya dan melihat jam, akhirnya Karin turun dari kamar.

Saat Karin turun mama langsung mengomel, kenapa mandinya lama banget lah, kenapa tadi bangun kesianganlah, dan bla bla bla. Padahal ini adalah mandi tercepat yang bisa Karin lakuin, biasanya juga sejam.

Karin lalu duduk di depan mama yang baru saja menutup mulutnya karena mengomeli Karin. Karin langsung terdiam dan melahap makanan di depannya dengan antusias. 

Baru setengah makanannya habis, ia langsung mengambil tas ransel di sampingnya dan menyahut tangan mama lalu menciumnya dan berlari menuju mobil. Akhir-akhir ini, terburu-buru menjadi kebiasaan Karin, karena setelah kepergian Nia, ia jadi sering melamun dan lupa waktu.

Di mobil, Karin meminta Pak Joko, supirnya untuk cepat-cepat, ia takut terlambat. Pak Joko hanya mengiyakan saja apa kata Karin dan langsung menekan gas hingga hampir 100 km/jam, tapi itu hanya berlangsung beberapa menit saja, karena yah Jakarta gitu loh, penyakitnya ya macet.

Karin semakin cemas jika telat beneran. Ia marah-marah sendiri, sampai memukul-mukul dan menggoyang-goyangkan jok mobil di depannya saking geramnya.

Huh. Akhirnya sampai. Karin membuka pintu mobil tanpa menutupnya dan berlari menuju kelas. Ia harus menaiki beberapa anak tannga, hingga sampai di lantai II, kelasnya berada tepat sebelah kanan tangga, kelas IX-E. Saat Karin masuk kelas, keadaan kelas sangat ribut, seperti ada hot news yang membuat mereka antusias membicarakannya.

Saat di depan pintu, tiba-tiba Sinta datang memeluknya

"Rin, gue turut sedih ya sahabat lo pergi tiba-tiba gini. Kita semua juga baru tau kalo dia udah nggak di sini," kata Sinta
Karin yang baru datang bingung, mengapa mereka bisa tau hal ini, padahal ia menyembunyikannya selama ini, Karin nggak mau mereka merasakan apa yang ia rasakan.

"Ih kasian banget ya, sahabat sendiri nggak dikasih tau kalo dianya mau pindah, atau jangan-jangan lo nggak dianggep sahabat kali," cerewet Sandra, dia cewek yang bandel, cerewet, suka gosipin orang juga ngomporin orang bareng sama satu temennya, Citra, dia sama aja kayak Sandra.

"Enak aja! Gue juga dikasih surat tau, tapi yang gue tau dia pindah doang, kemananya gue belum tau soalnya belum selesai baca," Karin spontan marah-marah.

Sinta meredam emosi Karin dengan memegangi pundaknya dan meminta Karin memakluminya. Sinta meminta Karin untuk membacakan surat Nia di kelas, karena yang lainnya ingin tau keberadaan Nia. Sayangnya, surat itu tertinggal di dalam buku biologi saat Karin belajar tadi malam

 "Ih pelit banget sih nggak mau ngasih tau kita, pasti itu ma...," belum selesai ocehan Citra bu guru tiba-tiba datang

"Selamat pagi, Bu," sapa teman-teman

"Pagi anak-anak, kita lanjut pelajaran yang kemarin, buka buku biologi halaman 102," balas bu guru

Lonceng pulang berbunyi pukul 14.00, anak-anak berhamburan keluar kelas. Saat Karin keluar kelas, tiba-tiba dari belakang Sinta merangkulnya dan berencana pergi ke rumah Karin setelah ini. 

Mereka menuju parkiran, lalu menaiki mobil, Pak Joko sudah ada di sana. Siang itu panas sekali, Karin langsung menyalakan AC dan merebahkan tubuh di jok mobil, begitu juga Sinta.

Setelah sekitar setengah jam, mereka sampai di depan rumah Karin, mereka terkejut ketika dibangunkan Pak Joko, yang sedari tadi menunggu mereka tak kunjung bangun. 

Pak Joko menurunkan mereka tidak di depan gerbang, melainkan di depan rumah, Karin suka berjalan melewati halaman rumahnya, yang banyak terdapat peliharaan mama, mereka tanaman yang hijau, segar, kolam ikan, dan kursi juga lampu-lampu taman.

Karin mengetuk pintu, tidak lama kemudian mama membukakannya

"Eh kalian udah pulang, ayo masuk," kata mama,"tumben Sinta kesini, sering-sering aja ke sini ya"

"Iya tante," balas Sinta sambil menganggukkan kepalanya ke mama

Mereka mengobrol sambil berjalan menuju ke tangga lantai II tempat favorit Karin, ya kamarnya. Karin dan Sinta langsung menuju atas, sedangkan mama menuju ke dapur, setelah menyapa tadi.

Karin membuka pintu kamarnya dan mengajak Sinta masuk. Sinta terpesona melihat kamar Karin yang serba biru seperti di bawah laut, di sana ada stiker terumbu karang dan ikan-ikan kecil yang menghiasi dinding kamar, ada juga peti harta karun tempat Karin menyimpan barang-barang berharga semasa kecilnya yang ia letakkan di samping tempat tidur. Sinta semakin takjub karena jujur ini pertama kalinya ia kesini, Karin dan Sinta tidak pernah dekat karena tidak pernah satu kelas.

"Mau masuk apa cuma di depan pintu aja?" canda Karin yang sedari melihat Sinta tadi melamun dengan mulut menganga.
Sinta tersipu malu lalu duduk di lantai beralaskan karpet halus bergambarkan kawanan lumba-lumba diwaktu senja. Sementara itu, Karin masih sibuk mencari surat dari Nia yang terselip di antara buku-buku di meja belajar.

"Nah, akhirnya ketemu juga," Karin bersemangat, "Aku sebenernya belum baca surat ini, tapi aku tau kalau ini dari Nia karena tulisan 'Untuk Karin dan Sinta' ini sangat familiar.

"Yaudah, ayo baca bareng aja. Tapi inget jangan nangis dulu sebelum selesai baca, kamu kan suka gitu, nangis duluan," lanjut  Sinta

"Heem, cerewet ih," balas Karin sambil berjalan menghampiri Sinta dan duduk di sebelahnya
Mereka membuka surat Nia dan mulai membacanya

Untuk Karin dan Sinta

Terima kasih selama ini kalian udah mau jadi sahabat anak miskin ini, makasih kalian udah mau bantu aku dalam masa-masa sulit, apalagi kalian juga udah mau bantu ngelunasin buku-buku materi kelas IX aku, jadi aku bisa belajar. Terlalu banyak yang kalian bantu, aku nggak bisa nyebutin satu persatu. Sekarang aku nggak bisa ngerepotin kalian lagi, aku juga nggak tau mau balas kalian pakai apa. Kalau aku punya sesuatu yang pantas aku kasih buay kalian, pasti akan aku kirim deh. Aku janji. Kalau kalian mau ketemu aku kalian tau harus kemana, tapi ada baiknya kalian jangan kesini.          Terima kasih                                                  

Aku sayang kalian  
Saat membaca, keduanya tak bisa membendung air mata, bulir-bulir air mata jatuh tak tertahan,  bahkan sampai membasahi surat Nia. Mereka saling memeluk dan menangisi ketidakhadiran sahabatnya di antara mereka. Ini hal wajar karena sejak kelas IX, Sinta dan Karin juga Nia menjadi teman dekat. 

Memang, Karin dan Nia lah yang bersahabat lebih dulu. Namun, tak bisa dipungkiri, diantara mereka telah tumbuh rasa saling menyayangi, peduli, dan mereka menerima apa adanya keadaan ketiganya.

Karin dan Sinta bertekad untuk menemui Nia dalam beberapa hari kedepan. Mereka sepakat akan berangkat hari Sabtu pagi.

Namun, hari semakin larut, mataharipun telah menghilang, dan telah menyudahi hari ini, Sinta harus segera pulang takut kedua orang tuanya khawatir. 

Namun, mama lebih khawatir, karena harus membiarkan seorang anak perempuan pulang sendiri malam-malam, mama juga meminta Sinta untuk menginap saja di sini. Namun, Sinta menolak itu, ia akan tetap pulang naik taksi.

 "Yaudah hati-hati ya," perhatian mama, "Karin anter Sinta ke depan trus tunggu sampai dia dapat taksi," imbuh mama
"Siap bu boss," balas Karin sambil memberi hormat ke arah mama

Setelah beberapa hari dan hari Sabtu pun tiba. Seperti yang Karin dan Sinta rencanakan mereka akan berangkat menuju tempat Nia, mereka sudah siap dengan beberapa barang dan siap meluncur bersama Pak Joko. Mama memeluk Karin dan Sinta erat-erat dan meminta mereka untuk jaga diri dan hati-hati. Tanpa Sinta dan Karin sadari, bulir air mata mama jatuh. 

Namun, mama langsung mengusapnya, tak ingin mereka tau.

Perjalanan sekitar 6 jam menuju Nia berada, mereka tidak sabar bertemu Nia. Saking bersemangatnya, saat sampai di sana mereka tertidur

"Mbak, Mbak Karin ini sudah sampai, Mbak, jadinya mau kemana?" kata Pak Joko
"Eh udah sampai ya, " Karin yang baru bangun,"ke Alun-Alun Jogja Pak Joko"
"Semoga di sana kita bisa ketemu Nia," Sinta beraharap

Diperjalanan suasana Yogya sangat terasa, Jawanya sangat kental, masih banyak kendaraan tradisional, suasana yang nyaman dan damai. Saat sampai di alun-alun, Karin dan Sinta turun, sedangkan Pak  Joko tinggal di mobil. 

Saat sedang berjalan-jalan, mereka melihat seorang gadis bertubuh kurus dengan tinggi sekitar 160 cm dan rambutnya dikuncir ekor kuda sedang menjajakan kue yang ia bawa di sebuah keranjang yang terlihat masih penuh. 

Karin dan Sinta seperti mengenali gadis itu, mereka mulai berjalan ke arah ia berjualan dan mengamatinya lebih dekat. Saat gadis itu akan pergi ke pengunjung lain dan berbalik ke belakang, ia terkejut, begitu pula Karin dan Sinta, ternyata dugaan mereka benar. Gadis itu Nia, orang yang mereka cari. 

Namun, reaksi yang ditunjukkan Nia berbeda, ia justru berlari dengan cepatnya menuju ke luar alun-alun. Tak mau kehilangan lagi, Karin dan Sinta juga mengejar Nia. Mereka terlibat aksi saling kejar mengejar hingga masuk ke gang-gang kecil. 

Mereka terlihat kuwalahan dan ngos-ngosan, bulir-bulir keringat mulai membasahi dahi mereka. Tak lama kemudian, saat Nia mencoba memastikan keadaan belakang aman, di depan ia tak melihat jalan, ia menabrak sepeda motor milik preman-preman dan Nia jatuh ke tanah. Kue-kuenya terlepas dari kandang, kakinya memar terkena knalpot yang masih panas, dan ia merasakan kakinya terbakar.

"Mmaaf mas, saya nggak sengaja," gugup Nia.

"Maaf, maaf, dan maaf semua yang orang bilang sama aja maaf, maaf doang tu gampang tinggal ngomong dong, buktinya gue sampe 5 kali ngomong maaf, ini yang ke-6. Gue gak mau tau lo harus ganti rugi, liat dong motor gue lecet nih. Makanya kalo jalan pake mata dong!" bentak mas preman sambil mengangkat tangannya dan akan memukul Nia.

Saat mas-mas preman hampir melayangkan pukulan ke arah Nia, Karin dan Sinta datang. Sinta berteriak kepada preman itu untuk tidak memukul Nia dan jangan berbuat kasar kepada perempuan. Ini bukan sepenuhnya salah Nia, para preman itu seharusnya tidak memarkirkan motornya di jalan.

"Woi, berhenti! Bisa gak sih kalo sama cewek itu gak kasar!" teriak Karin,"tolongin kek kasian itu kakinya malah diomelin"
"Wah berani juga ni cewek," balas mas preman

Tanpa berpikir panjang, Karin langsung menanyakan berapa yang preman-preman itu minta sebagai ganti rugi, Karin tidak mau ada kekerasan dan supaya masalah ini segera selesai

Karin terkejut ketika preman itu menyebutkan nominalnya. Preman itu meminta Rp1.000.000,00 sebagai ganti rugi. Karin merasa tidak adil, ia merasa cuma dimanfaatkan dan diperas oleh para preman itu untuk dapat uang banyak. 

Karin terdiam dan berfikir apa yang harus ia laukan, berikan atau tidak? Para preman itu menggertak lagi dan mengancam akan mengeluarkan senjata mereka. Sinta dan Nia terkejut. Sinta lalu memeluk Nia yang berada di tanah, mereka ketakutan. 

Melihat mereka seperti itu, Karin tidak tega, ia langsung memberikan sejumlah uang tersebut dan meminta preman-preman itu untuk pergi dengan motor mereka yang terlihat sehat wal afiat, tidak ada lecet sedikit pun.

Nia tiba-tiba berdiri sambil memegangi kakinya yang sakit

"Aku berterimaksih banget sama kalian, tapi aku kan udah bilang gak usah bantuin aku lagi, aku gak mau di bantuin kalian, apalagi kamu, Rin nggak semuanya bisa dibeli pake uang, kamu seharusnya bisa bikin preman itu minta maaf, motor mereka kan juga nggak papa, tapi kamu malah ngasih uang banyak banget. Aku tau kalian itu orang kaya, dapet uang dengan mudah, uang habis kalian tinggal minta, tapi aku apa? Aku cuma orang miskin yang nggak punya apa-apa," Nia sedikit sebal.

"Ni, maksudnya tu nggak gitu," jelas Karin,"aku nggak mau ada kekerasan di sini, biar masalahnya cepet kelar aja, lagian kaki kamu masih sakit kan"

"Udah cukup! Aku nggak butuh belas kasian kalian. Aku bisa cari uang sendiri, hasil keringatku sendiri, dan aku butuh kerja keras buat dapat uang sebanyak itu. Semua orang kayak kalian itu sama aja. Aku benci sama kalian!" bentak Nia sambil menangis dan berlari menjauh meninggalkan Karin dan Sinta yang mematung ditempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun