Pandemi Covid-19 memang banyak hikmah bagiku dan keluargaku. Bagaimana tidak? Biasanya hari Ahad yang harusnya libur, ada saja acara yang harus aku ikuti. Terutama acara organisasi. Kontan saja suami dan anak-anak tidak kebagian waktu jalan-jalan pagi sama emak.Â
Nah, mumpung semua agenda hari Ahad lockdown, aku sempatkan jalan-jalan pagi sama suami dan anak-anak. Alhamdulillah bikin fresh dan sangat menyenangkan. Benar-benar bisa lepas penat. Serasa nyanyi lagu "Bebas"-nya Iwa K.
Bebas... lepas...
Kutinggalkan saja semua beban di hatiku
Melayang kumelayang jauh
Melayang dan melayang
Bagi sebagian orang, apa yang aku lakukan itu tidak biasa. Kebiasaanku pergi pagi pulang petang, di hari libur sekalipun sudah jadi hafalan para tetangga.Â
Tidak heran kalau aku bisa belanja di tukang sayur, bisa pulang gasik dan hal-hal yang sulit aku lakukan karena 'sok sibuk' menjadi pemandangan aneh bagi mereka. Ada saja komentar mereka yang bikin makjleb tapi juga bikin tersenyum.Â
"Seneng ya Dik, ada ibu!" Begitu salah satu komentar tetangga saat aku mengajak si kecil belanja sayuran pagi-pagi.Â
Memang serba salah sih, pergi terus dibilang "kok pergi terus!" Giliran ada waktu senggang dibilang tumben.Â
"Mboten tindak, Bu...? Kok tumben bisa belanja!". Begitulah!
Hal itu tidak masalah bagiku. Bahkan komentar paling pedes sekalipun kuanggap biasa saja. Bahkan ada yang menyematkan label Bu Thoyib padaku. Jelas ini terinspirasi dari lagu "Bang Thoyib" yang tak pulang-pulang itu.Â
Biarkan saja! Santuy saja! Kata orang sekarang.Â
Lha memang iya sih. Apalagi kalau aku bisa boncengan atau jalan bareng suami dengan enjoy, menyapa para tetangga, mampir sarapan bubur atau singgah di kebun dan memberi makan ikan di kolam kami yang cukup jauh dari rumah. Waaah, benar-benar momen istimewa kami dan pemandangan asing bagi para tetangga yang melihat.
Pulang lebih cepat adalah surprise luar biasa buat suami dan anak-anak. "Hah, Ibu sudah pulang?" Itu komentar spontan mereka saat lihat kendaraan sudah terparkir dengan manis dan matahari belum beranjak ke peraduan.Â
"Ibu balik?" Kalau ini pertanyaan anak keduaku saat aku terpaksa mampir rumah di tengah hari karena ada sesuatu yang tertinggal. Dia sudah hafal kalau aku muncul di rumah di luar kebiasaan, berarti nanti bakal balik kantor lagi untuk mencet mesin presensi finger print. Sehingga bisa di rumah seharian, menikwati waktu bersama di luar jam kerja bagi kami adalah sesuatu banget. Momen langka yang selalu dinantikan.
Menjadi perempuan bekerja memang dilematis. Di satu sisi dia bisa membantu ekonomi keluarga, namun di sisi lain dia dituntut bertugas sebagai istri pendamping suami sekaligus ibu bagi anak-anak.Â
Tahu kan bagaimana tuntutan kerja di jaman now. Tidak hanya action di lapangan, berpindah dari acara yang satu ke acara yang lain, bertemu orang, bertemu kelompok binaan, pendampingan dan masih banyak lagi.Â
Tuntutan administrasi yang menggunung juga harus dituntaskan. Tentu saja sangat menguras energi dan pikiran. Belum lagi tugas rumah tangga yang tidak kalah padatnya.Â
Tiga anakku semua laki-laki, otomatis aku menjelma menjadi perempuan paling cantik di rumah. Karena orang timur mengidentikkan pekerjaan rumah adalah pekerjaan perempuan. Pokoknya borongan.Â
Namun itu tidak berlaku di rumah kami. Aku dan suami membiasakan berbagi tugas dengan anak-anak. Mungkin terlihat aneh bagi orang timur, laki-laki kok cuci piring, memasak, mencuci baju, menjemur pakaian dan angkat jemuran. Tapi bagi kami itu biasa. Bagi kami, pekerjaan itu tidak berjenis kelamin. So, no problemo!
Orang Jawa mengatakan bahwa kehidupan seseorang itu wang sinawang. Ketika orang memandang kita hidup enak, belum tentu kita merasa hidup enak. Sebaliknya ketika orang memandang kita sengsara, belum tentu juga kita sengsara. Maunya sih, ketika orang memandang kita hidup enak, kita benar-benar hidup enak. Bagiku apapun kondisinya kita, harus kita syukuri.
Terkait wang sinawang, ada pengalaman yang tidak bisa kulupakan. Tidak disangka aku akan dibela sama mbak yang punya toko. Ceritanya ada tetangga yang bertemu di toko tempat aku mengfotokopi tugas-tugas dan laporan pekerjaanku.Â
Tetangga itu komentar, "Njenengan sih enak, PNS!"Â
Belum sempat aku timpali, si mbak yang punya toko bilang, "Ah kalau aku tidak mau jadi Mbak Zizah!"
"Memangnya kenapa?" timpalnya. Dia jawab lagi, "Nggak pernah lihat siangnya rumah, kerjaannya banyak, kalau fotokopi sampai bertumpuk-tumpuk!"Â
Gubrak! Bener juga kata si mbak. Dialah saksi kepulanganku, saat aku  melintas di depan rumahnya setiap hari.
Meski tidak sepenuhnya benar kalau aku tidak pernah lihat siangnya rumah, namun aku terharu dengan jawaban itu. Berarti kan si mbak memperhatikan bagaimana sebenarnya hidup ini. Yang terlihat enak di mata seseorang, belum tentu enak di mata orang lain.Â
Dan pada intinya, kita diingatkan untuk senantiasa mensyukuri apa yang kita peroleh. Karena menurut Allah-pun demikian. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al Baqarah: 216).
Sekarang, mau apa lagi kalau tidak bersyukur dan bersyukur. Dibilang tumben sama tetangga, nggak masalah. Dibilang tumben juga sama suami dan anak-anak, itu mah biasa. Asal nggak dibilang "Tumben bersyukur ..!". Na'udzubillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H