Judul : Salah Asuhan
Pengarang : Abdul Moeis
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit : 1999
Tebal : 273 halaman
Novel yang pertama kali terbit tahun 1928 ini merupakan novel angkatan balai pustaka yang mengangkat cerita tentang tokoh utama yang bernama Hanafi, dirinya memiliki perangai dan obsesi untuk sama dengan bangsa Eropa.
Cerita dalam novel ini dimulai dengan konflik kisah cinta beda bangsa antara Hanafi dan Corrie. Mereka adalah teman sepermainan sejak kecil. Hanafi adalah bumiputra yang lahir di Solok, dibesarkan oleh seorang ibu dan bisa menempuh pendidikan hingga sekolah tinggi di Betawi dan berpangkat komis. Kesehariannya bercampur dengan orang-orang Eropa, dirinya merasa dirinya bukan bumiputra lagi. Sedangkan Corrie adalah anak dari ayah berbangsa Eropa dan ibu yang berdarah bumiputra. Ayahnya menyekolahkan Corrie hingga tamat HBS di Betawi.
Ketika Hanafi hendak meminang Corrie, gadis yang dicintainya itu justru pergi meninggalkan Solok dan meminta Hanafi untuk tidak usah mencarinya. Alasan penolakan Corrie tidak lain karena mereka berbeda bangsa. Corrie menganggap bagaimanapun tinggi sekolah yang ditempuh Hanafi, dan seberapapun banyak dia bergaul dengan bangsa Eropa, Hanafi tetaplah bumiputra. Jika pernikahan beda bangsa itu tetap terjadi, akan menimbulkan konflik antar kedua bangsa. Mereka akan sulit diterima oleh masyarakat bumiputra maupun bangsa Eropa. Seperti yang dirasakan ayah Corrie dengan ibunya dulu.
Melihat Hanafi yang frustasi ditinggalakan Corrie, ibunda Hanafi menjodohkan Hanafi dengan Rapiah. Putri berdarah Solok yang tak lain adalah anak dari kakak kandung ibundanya Hanafi. Engku Sutan Batutah. Pernikahan itu dianggap Hanafi sebagai pernikahan balas budi. Karena selama Hanafi sekolah, dirinya dibiayai oleh ayah Rapiah dengan kesepakatan Hanafi akan dinikahkan dengan Rapiah. Meski awalnya Hanafi menolak dengan alasan mereka tidak sepadan, tidak sederajat, namun akhirnya Hanafi mengiyakan pernikahan tersebut.
Pernikahan Rapiah dan Hanafi tidak berjalan baik. Rapiah seperti dijadikan babu oleh Hanafi. Setiap hari Rapiah selalu dicaci maki oleh suaminya. Begitu pun dengan anak mereka, Syafei. Hingga pada suatu sore, Hanafi digigit oleh Anjing dan harus berobat ke Betawi. Maka dia menggunakan kesempatan itu untuk berangakt ke Betawi dan berniat menemui Corrie.
Di Betawi, Hanafi menemukan Corrie. Beberapa bulan setelah pertemuan mereka, Hanafi memutuskan untuk menceraikan Rapiah dan mengganti status kewarganegaraannya agar disamakan dengan Bangsa Eropa. Maka setelah itu, menikahlah Corrie dan Hanafi. Sayangnya, pernikahan mereka tidak bisa diterima oleh bangsa Eropa. Kedua pasangan ini seperti dikucilkan dari pergaulan. Hal itu membuat Corrie dan Hanafi dihinggapi rasa jengkel setiap hari. Sehingga yang terjadi di rumah hanyalah perselisihan.
Corrie memutuskan untuk meninggalkan Hanafi dan pergi ke Semarang. Mengabdi di sebuah panti asuhan. Latar belakang dari kepergian Corrie itu tidak lain karena dirinya difitnah berzina oleh Hanafi. Ketika dalam kesendirian itu, sadarlah Hanafi bahwa dirinya merindukan ibu yang telah ditinggalkannya di tanah Solok. Dia pun merindukan Corrie dan menyesali perbuatannya kepada Rapiah selama ini.
Ketika Hanafi menjemput Corrie di Semarang, Corrie telah meninggal dunia akibat penyakit kolera yang dideritanya. Hanafi semakin terpukul dan putus harapan. Kemudian, dia memutuskan kembali ke kampung untuk bertemu dengan ibunya, Rapiah dan anaknya, Syafei.
Rapiah justru bersikap dingin, bahkan menghindari untuk bertemu Hanafi. Rapiah juga menjauhkan anaknya dari Hanafi. Cerita ditutup dengan kematian Hanafi yang tragis. Dia sengaja meminum tablet sublimat agar dirinya bisa bersama Corrie di alam kekal.
Tema yang diangkat dalam novel ini adalah ketidakbanggaan sebagai masyarakat bumi putera. Sehingga tokoh mengidentifikasikan dirinya selayaknya orang Belanda. Namun, penulis tidak sampai menyinggung atau menjelek-jelekkan rakyat Belanda atau menimbulkan penafsiran yang engatif. Karena pada masa novel ini diterbitkan, masih berlaku aturan nota rinkes yang mewajibkan pengarang untuk menghasilkan karya sastra yang bersifat didaktis. Novel ini juga mengusung tema kehidupan masyarakat Minangkabau, dengan tradisinya yang bermacam-macam dilihat dari variasi Bahasa yang digunakan.
Dari gaya penceritaan penulis, terlihat jelas bahwa novel ini masih sangat terpengaruh oleh kolonialisme. Beberapa percakapan dan istilah dalam novel ini menggunakan Bahasa Belanda. Gaya hidup Hanafi juga digambarkan sebagaimana orang Belanda pada umumnya. Jika dilihat dari judulnya, salah asuhan dapat diartikan Hanafi salah masuk dalam pergaulan. Pendidikan Hanafi yang tinggi dan bercampur dengan orang Belanda membuatnya sombong dan tidak mau berkumpul dengan kalangan bumiputra. Baginya, bumiputra adalah orang-orang bodoh yang tidak mengerti tatanan kehidupan bangsa Eropa. Pendidikan Hanafi yang tinggi tidak dibarengi dengan pendidikan agama yang mumpuni. Gaya hidup Haanfi yang kebarat-baratan itu seperti tercermin dalam kutipan berikut ini:
Maka tiadalah ia segan-segan mengeluarkan uang buat mengisi rumah sewaan di Solok itu secara yang dikehendaki oleh anaknya. Hanafi berkata, bahwa ia dari kecilnya hidup di dalam rumah orang Belanda saja; jadi tidak senanglah hatinya, jika aturan mengisi rumahnya tidak mengarah-arah itu pula.
Tapi sepanjang hari orang tua itu termangu-mangu saja, karena dari beranda muka sampai ke dapur dan kamar mandi diperbuat secara aturan rumah orang Belanda…(hlm. 23)
Diskriminasi bangsa dan superioritas bangsa barat juga jelas tergambar dalam novel ini. Pernikahan antara Hanafi dan Corrie yang berbeda bangsa mendapat perlawanan sosial dari masyarakat. Bagi sudut pandang orang Eropa, pernikahan dengan bumiputra hanya akan menjatuhkan martabat.
“…Tapi lain sekali keadaannya pada pertimbangan orang barat itu, kalau seorang nyonya barat sampai bersuami, bahkan beranak dengan orang sini. Terlebih dahulu nyonya itu dipandang seolah-olah sudah membuang diri kepada orang sini. Di dalam undang-undang negeri ia pun segera dikeluarkan dari hak orang Eropa…”(hlm. 15)
Selain mencerminkan kuatnya pengaruh kolonial, novel ini juga mencerminkan kebudayaan Melayu yang kental. Beberapa kata menggunakan Bahasa Melayu. Budaya yang masih melekat itu adalah tradisi balas budi. Seperti pernikahan antara Hanafi dan Rapiah. Budaya balas budi ini pada masa itu kemungkinan menjadi tradisi yang amat kental di kalangan bumiputra. Seperti dalam novel oleh Siti Nurbaya karangan Marah Roesli yang juga mengangkat tentang pernikahan balas budi.
“Maka terpikir pulalah ia akan utangnya kepada mamaknya utang uang dan utang budi, secara yang telah diterangkan ibunya dahulu.
Lalu, bertanyalah ia, “Jadi, jika dikupas kulit nampak isi, sebenarnya aku sudah tergadai kepada Engku Sutan Batuah? Dan utangku kepadanya, ‘utang uang’ dan ‘utang budi’, hanya langsai, bila kupulangi Rapiah? Berbahaya benar perniagaan yang ibu lakukan itu” (salah asuhan 63)
Dari uraian tersebut, maka disimpulkan bahwa novel ini adalah salah satu karya sastra yang masuk dalam kategori postkolonial, yaitu karya sastra yang dipengaruhi oleh memuat budaya-budaya kolonial di Negara bekas jajahan, seperti Indonesia. Penulis dapat dengan mudah menceritakan kehidupan dan kebudayaan orang melayu karena ia berasal dari Sumatera Barat. Pelukisan karakter tokoh Hanafi dan gaya hidup barat dipengaruhi oleh pengalaman penulis yang juga pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H