Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Zakat dan Distribusi Keadilan Ekonomi

2 April 2024   15:34 Diperbarui: 2 April 2024   15:35 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Problem zakat yang dimaksud dikategorikan menjadi beberapa poin. Pertama, soal kesadaran umat. Nampaknya umat Islam belum sepenuhnya memiliki kesadaran individu dan apalagi kolektif kolegial untuk menunaikan kewajiban zakat. Problem ini terbilang cukup serius, karena bisa saja sebagai wujud "pembangkangan" terhadap rukun Islam dan syariat Islam itu sendiri. Problem ini bisa saja terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu a) ketidaktahuan; b) tidak ada sosialisasi dan dakwah; c) terjangkit sindrom penyakit kapitalistik (hubb ad-dunya wakara hiyatal maut), dan d) masa bodoh.

Tidak heran kemudian jika potensi pemasukan zakat pertahun terbilang cukup besar dan signifikan. Namun, kenyataannya malah jauh panggang dari api. Hanya sekitar sepuluhan persen saja umat Islam yang menunaikan kewajiban zakat. Selebihnya malah tidak. Lupa bahkan tidak mau sama sekali menunaikan kewajiban zakat. Bersamaan dengan itu, umat Islam ternyata begitu rajin dan aktif membayar pajak. Nampaknya pajak jauh lebih wajib dibandingkan dengan zakat. Sungguh ironis. Tapi begitulah fakta perihal kesadaran zakat (sebagian) umat Islam.

Kedua; problem Amil Zakat. Dalam Islam, Amil Zakat termasuk memiliki kedudukan penting lagi strategis. Karena Amil Zakat dimandataris dan atau diberikan otority khusus untuk mengumpul, mengelola dan mendistribusikan zakat. Selain Amil Zakat itu sendiri sebagai bagian dari mustahiq zakat. Amil Zakat mengembang tugas-tugas ilahiyat sekaligus moral-sosiologis. Amil Zakat menerjemahkan frase "khudz min amwlihim shadakatan, ..." dalam kerja-kerja zakat dan keummatan. Amil Zakat, baik sebagai perorangan dan atau lembaga, diinstruksikan langsung oleh Allah untuk mengambil zakat dari harta umat Islam yang telah memenuhi syarat.

Namun, problem yang terjadi kemudian adalah ternyata Amil Zakat semacam tidak memiliki "daya paksa" untuk menjalankan tugas-tugasnya. Meskipun, lagi-lagi, Amil Zakat mendapat legacy dari teks bahasa agama sekaligus konstitusi kita. Implikasinya, Amil Zakat hanya sekedar "berkhutbah" dan menganjurkan kewajiban zakat saja. Tidak ada "daya paksa"nya di sana. Maka, wajar jika masyarakat muslim yang tidak memiliki kesadaran zakat semacam menemukan momentum bahkan legacy tambahan untuk tidak menunaikan kewajiban zakatnya.

Tentu hal demikian jauh berbeda dengan dunia perpajakan. Direktorat Pajak dan Bea Cukai memiliki "daya paksa", sehingga ada sanksi bagi wajib pajak manakala kewajiban pajak tidak ditunaikan dengan baik. Tidak bermaksud untuk membandingkan. Namun, problem ini bisa menjadi pekerjaan rumah tambahan bagi umat Islam, khususnya dari kalangan intelektual, ulama, praktisi, politisi dan pemangku jabatan terkait, untuk memikirkan cara meretas problem tersebut, agar kewajiban zakat berjalan bersamaan dengan berjalannya kewajiban pajak.

Atau setidak-tidaknya umat Islam, khususnya mereka-mereka yang telah memenuhi syarat berzakat, tahu juga bahwa rukun dan syariat Islam itu bukan semata kalimat syahadat, shalat, puasa dan haji. Ada juga zakat. Bukan sunnah hukumnya, apalagi mubah. Akan tetapi, wajib hukumnya bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat (kecuali zakat fitrah wajib untuk semua jiwa bahkan janin yang sudah jelas jenis kelaminnya sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama). Sehingga, mau tidak mau harus menunaikan kewajiban zakat.

Ketiga; problem pengelolaan dan distribusi zakat. Zakat yang dikumpulkan bukan untuk ditimbun menjadi kekayaan pribadi dan kelompok pengelola zakat. Pun bukan didistribusikan sesuka hati untuk orang dan kelompok tertentu. Akan tetapi, seperti lazimnya, zakat yang dikumpulkan akan didistribusikan kepada mustahiq zakat yang ada. Terdapat tata aturan dan atau mekanisme ketat yang mengaturnya di sana. Sehingga, zakat yang notabenenya dari umat akan kembali lagi ke umat melalui tahapan mekanisme perzakatan.

Pada problem ini akan terurai benang kusut seputar kriteria mustahiq zakat, metode distribusi zakat dan model pendekatan distribusi zakat. Terkait dengan mustahiq zakat, harus ada updating data dalam setiap tahun. Tujuannya agar teridentifikasi mustahiq zakat yang masih berhak untuk mendapatkan zakat atau sudah tidak lagi. Misalnya, mustahiq zakat dari kalangan fakir miskin. Bisa saja tahun ini masih tergolong sebagai mustahiq zakat. Namun, tahun depannya sudah tidak lagi karena ekonominya sudah mulai stabil dan aman.

Perubahan status mustahiq zakat menjadi muzakki inilah penting untuk diperhatikan. Karena, hal tersebut terkait dengan manajemen lanjutannya berupa metode dan model pendekatan dalam distribusi zakat. Jika zakatnya adalah konsumtif oriented, maka fakir miskin selamanya tetap akan menjadi mustahiq zakat. Tidak ada perubahan dan perkembangan. Namun, jika distribusi zakat bersifat produktif oriented, maka distribusi zakat bisa menjadi daya tekan atas fenomena kemiskinan sekaligus menjadi daya angkat terhadap ekonomi umat.

Problem-problem semacam itu tidak boleh dibiarkan begitu saja berkembang biak. Sebab, bisa saja menjadi faktor lain bagi tidak berfungsinya zakat dengan baik dan benar. Sehingga, keadilan ekonomi menjadi idiom dan cita-cita zakat tidak terwujud dalam kehidupan masyarakat muslim. Wajar kemudian jika umat Islam termasuk umat termiskin, meskipun Islam memiliki instrumen yang paling efektif dalam memberantas tingkat kemiskinan dan mengembangkan ekonomi umat.

Mewujudkan Keadilan Ekonomi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun