Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Zakat dan Distribusi Keadilan Ekonomi

2 April 2024   15:34 Diperbarui: 2 April 2024   15:35 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam konteks zakat, sebagai instrumen penting dalam distribusi keadilan ekonomi, konsep keadilan ekonomi diandaikan sebagai sebuah upaya untuk menyalurkan sebagian harta yang dimiliki kepada mereka-mereka yang membutuhkan dari kalangan mustahiq zakat. Artinya, harta benda yang dimiliki tidak boleh ditimbun begitu saja dan juga tidak boleh dihabiskan untuk pelbagai kegiatan hedonistik keduniaan. Tidak boleh serakah dan pelit. Tidak boleh individualistik dan monopolistik. Karena semuanya itu adalah watak kapitalistik.

Penyaluran harta kekayaan kita kepada orang-orang yang membutuhkan dan berhak adalah sebuah keniscayaan teologis dan moral-sosiologis. Meskipun, lagi-lagi, harta benda (or kekayaan) tersebut adalah miliki pribadi dan hasil kerja keras sendiri. Sebab, pada harta benda milik pribadi terdapat pula hak orang lain. Hak orang lain ini dalam percakapan ekonomi Islam pada umumnya maupun fikih zakat secara khusus disebut-istilahkan dengan mustahiq zakat, orang yang berhak mendapat zakat. Di sanalah ruang penyaluran sebagian harta kekayaan.

Sehingga, selama seseorang itu beragama Islam, maka selama itu pula terikat dengan aturan main terkait dengannya. Termasuk aturan main yang mengatur hal ihwal yang bertalian dengan hak dan kewajiban dalam zakat. Bagi orang yang telah memenuhi syarat berzakat, maka diwajibkan untuk segera menunaikan zakatnya. Tidak boleh menunda-nunda. Apalagi sampai lupa hingga enggan untuk menunaikan kewajiban zakat. Karena, kewajiban zakat tersebut terkait erat dengan hak mustahiq zakat. Mau tidak mau harus ditunaikan, kecuali menjadi pembangkang.

Pembagian hak dan kewajiban dalam zakat pada sesungguhnya merupakan manifestasi (dari) keadilan ekonomi itu sendiri. Proses kerjanya dalam kehidupan sangat indah dan menakjubkan. Seseorang tidak dibiarkan kaya dan bahagia sendiri. Tidak dibiarkan menjadi manusia serakah, monopolistik, pelit-kikir dan zalim dengan pelbagai macam nikmat. Pun seseorang tidak boleh dibiarkan menderita begitu saja dalam hidupnya hanya karena tergolong sebagai fakir miskin dan dhuafa. Harus ada etos kepedulian sosial-ekonomi di sana.

Ya, untuk peduli dengannya tidak perlu beragama dan mencatut logika-logika agama. Cukup menjadi manusia, penderitaan tidak akan dibiarkan begitu saja. Orang yang punya nurani akan tergerakkan untuk membantu mereka-mereka yang tengah mengalami penderitaan hidup, dari kalangan fakir miskin dan dhuafa. Tentunya, upaya untuk membantu dan menyalurkan ekonomi kepada orang yang membutuhkan adalah bagian dari manifestasi keadilan ekonomi. Apalagi di sana juga ada perintah untuk saling membantu di antaranya melalui kewajiban zakat.

Apalagi dalam konteks demikian agama mengatur penyaluran hak dan kewajiban tersebut. Seharusnya orang akan lebih termotivasi dan tergerakkan untuk memenuhi kewajiban zakatnya. Apalagi dalam hal itu juga terdapat reward sekaligus punishment (yang bersifat ukhrawi). Tidak ada alasan lagi untuk tidak berzakat. Terlampau ironis jika ada perintah agama (juga aturan konstitusi) yang di dalamnya ada reward dan punishment dan pada sisi lain banyak orang begitu menderita hidupnya dan membutuhkan uluran tangan, namun sama sekali tidak menggerakkan batin untuk membantunya.

Sungguh, manusia-manusia semacam itu (pada) hakikatnya telah mati jiwa dan nuraninya, meskipun raganya masih bergentayangan di semesta jagat. Mereka hidup tapi tidak memberikan faidah dan utilitas bagi sesamanya. Mereka serakah, pelit dan benar-benar egoistik. Ya, karena dianugerahkan kelebihan oleh Tuhan, namun tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tidak dimanfaatkan untuk menunaikan kewajibannya dalam beragama, di antaranya kewajiban zakat. Padahal berzakat adalah cara menggembirakan manusia melalui agama.

Problem Seputar Zakat

Rupa-rupanya zakat dalam praktiknya masih cukup banyak menyisakan problem yang agak serius. Entah disadari atau tidak, problem seputar zakat ini menjadi fakta sekaligus issu yang usianya terbilang cukup tua. Sebab, problem zakat ini bermunculan bersamaan dengan sejarah awal-awal Islam, khususnya pada Khalifah pertama, Abu Bakr ash-Shiddiq. Nampaknya hingga kini terus menggelinding laiknya bola salju, meski dengan citarasa dan format yang agak sedikit berbeda karena hadir dalam settingan dimensi ruang dan waktu yang berbeda.

Pada waktu itu, kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq "disibukkan" dengan pekerjaan domestik, di antaranya mengurusi bahkan memerangi mereka-mereka yang terkategori sebagai orang yang enggan untuk menunaikan kewajiban zakat. Selain dua problem genting lainnya, yaitu munculnya nabi palsu dan fenomena orang murtad secara terang-terangan. Hal demikian antara lain menjadi faktor mengapa pada masa kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq tidak ada upaya-upaya serius untuk melakukan futuhat terhadap wilayah kekuasaannya.

Cukup banyak problem zakat lainnya. Namun, ada beberapa problem yang dianggap penting dan bisa menjadi rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh mereka-mereka yang memiliki otority. Karena bagaimana pun juga urgensitas zakat kini sudah diakui secara konstitusional, bukan semata menjadi bagian dari credo dan living law dalam spektrum kehidupan sosial dan kebangsaan. Sehingga, pengelolaan zakat (pengumpulan dan distribusi) seharusnya semakin maju dan jauh lebih efektif lagi dalam menekan tingkat kemiskinan sekaligus mengangkat perekonomian masyarakat (muslim).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun