Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Zakat dan Distribusi Keadilan Ekonomi

2 April 2024   15:34 Diperbarui: 2 April 2024   15:35 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Azis Maloko

Setiap memasuki sepuluh akhir bahkan pertengahan Ramadhan, umat Islam seantero jagat diingatkan kembali dua hal penting dalam Islam. Pertama adalah syariat i'tikaf. Syariat ini hendak mengajak umat Islam untuk "berkhalwat" secara khusus dengan Allah di masjid-masjid selama kurang lebih sepuluh hari terakhir melalui berbagai saluran amalan ketaatan, mulai dari salat, zikir, baca al-Qur'an, istighfar dan amaliah lainnya. Karena, di sana terdapat sebuah peristiwa misterium yang bernama lail al-qadr, malam kemuliaan, keberkahan, kesejahteraan dan seribu bulan.

Sehingga, i'tikaf bisa dimaknai sebagai upaya sesaat meninggalkan dunia beserta pelbagai hiruk-pikuk, kegaduhan dan kebisingan yang berada di dalamnya untuk kembali fokus dan konsentrasi beribadah. Dengan kata lain, i'tikaf adalah sebuah syariat yang bertujuan untuk memaksimalkan kesalehan individu, menyelami lautan ketaatan kepada Allah Rabb al-Qadi Izzati dalam mihrab i'tikaf. Bisa juga dikatakan bahwa i'tikaf adalah syariat yang bersifat individualistik, hanya untuk masing-masing individu muslim dan utilitasnya hanya untuk nafsi-nafsi.

Sementara point kedua adalah syariat yang bertalian dengan zakat, khususnya zakat fitrah. Berbeda dengan i'tikaf, zakat adalah syariat yang mencoba mengajak setiap diri untuk membersihkan jiwa dan harta bendanya dengan melibatkan individu-individu lain yang tergolong sebagai mustahiq zakat (orang yang berhak untuk mendapatkan distribusi zakat), khususnya kalangan fakir miskin. Di sana terjadi perjumpaan dan pertautan dua bentuk kesalehan dalam beragama, yaitu kesalehan individual vertikal transendental dan kesalehan sosial-horisontal.

Dalam konteks demikian, zakat bisa diandaikan sebagai sebuah syariat yang bergerak dari individu-individu untuk kepentingan kolektif kolegial dari kalangan mustahiq zakat. Dengan kata lain, syariat zakat ini mencoba mengajak individu untuk ikut serta merasakan kondisi riil yang dialami oleh fakir miskin yang notabene sebagai mustahiq zakat yang paling penting. Seolah-olah setiap individu diajak untuk menginsafi dan mengarifi "penderitaan hidup" fakir miskin dengan cara menyisihkan sebagian rezekinya kepada mereka dalam bentuk zakat.

Persoalan zakat inilah rasa-rasanya penting untuk kemudian dipercakapkan lebih lanjut. Setidaknya memberikan informasi tambahan dalam pengayaan pemahaman seputar zakat. Bahwa zakat bukan saja wajib karena bagian dari rukun Islam dan perintah dalam agama Islam. Akan tetapi, karena zakat sendiri memiliki aspek-aspek lain bagi kehidupan umat Islam, yakni aspek distribusi keadilan ekonomi yang seringkali dilupakan dan dilalaikan oleh sebagian besar umat Islam. Sehingga, umat Islam semakin mantap dalam menunaikan kewajiban zakat.

Apalagi jagat permedsosan baru-baru ini kembali ramai dan heboh mempercakapkan hal ihwal bertalian dengan zakat dan lembaga zakat dalam kerangka diskursus ilmiah. Di antara point yang menjadi "titik tengkar" adalah soal penafsiran terhadap mustahiq zakat yang bernama "fisabilillah" (apakah berjenis kelamin atau tidak), jenis-jenis zakat (khususnya zakat profesi), standarisasi penentuan barang wajib zakat dan besaran zakatnya hingga pada pengandaian ada upaya "kapitalisasi" zakat dengan mengatasnamakan lembaga zakat.

Memang zakat termasuk salah satu persoalan yang agak seksi hingga membuat banyak mata terpanah olehnya. Karena, di sana ada namanya fulus yang dikumpulkan, dikelola dan didistribusikan. Sehingga, banyak orang termasuk berfastabiqul khairat dalam berzakat. Bukan dalam rangka untuk menunaikan kewajiban zakat, akan tetapi berfastabiqul khairat untuk menjadi pengelola zakat. Di sana keikhlasan dalam mengabdi dan mengurus umat benar-benar teruji dengan "warna-warni" dan hasrat untuk memperkaya diri, kelompok dan lembaga.

Zakat Sebagai Distribusi Keadilan Ekonomi

Islam merupakan agama yang begitu memperhatikan aspek keadilan. Bahkan agama Islam itu sendiri sebagai agama keadilan (ad-dn al-'adl). Karena, keadilan sebagai jiwa, sumber inspirasi, basis dan prinsip sekaligus tujuan dari Islam itu sendiri. Keadilan semacam idiom dan cita-cita moral dan spiritual agama Islam. Olehnya, ditemukan begitu banyak teks bahasa agama yang berbicara panjang lebar tentang keadilan. Keadilan termanifestasi dalam semua aspek ajaran Islam, privat maupun publik sekalipun. Sehingga, tidak ada diskriminasi di sana

Dalam segmentasinya, keadilan merupakan asas dan prinsip penting dalam ekonomi Islam. Lalu lintas cakupannya terkait dengan proses memperoleh dan mendapatkan harta kekayaan, cara penggunaannya dan distribusinya terhadap hak-hak orang lain yang mendapat legalitas menurut teks bahasa agama dan konstitusi. Ada juga menggambarkan mulai dari sumber pendapatan yang halal dan toyib, pemenuhan kebutuhan pokok manusia dan distribusi pendapatan dan kekayaan secara merata sesuai pos-pos yang diatur dalam Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun