Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lail Al-Qadr, Itikaf dan Tajdid Al-Nafs

1 April 2024   22:14 Diperbarui: 1 April 2024   22:27 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah antara lain utilitas-manfaat yang diperoleh bagi mereka-mereka yang mencelupkan dirinya dalam proses i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Kalau pun mereka tidak ditakdirkan berjumpa dengan peristiwa lail al-qadr, meskipun dirinya sudah memaksimalkan pelbagai daya dan upaya untuk bisa beribadah dengan pelbagai varian amalan saleh, tetap saja ada nilai plusnya yang diperoleh, yakni mendapatkan apa yang dinamakan dengan tajdid al-nafs, semesta jiwa mengalami restorasi menuju kesejatian. Sebab, i'tikaf menghantarkan seseorang untuk melakukan tajdid al-nafs dan tajdid al-nafs menjadi jembatan perjumpaan dengan peristiwa lail al-qadr.

Makanya, sama dengan i'tikaf, tajdid al-nafs juga merupakan perintah yang datang dari Nabi Muhammad saw. Jaddidu imanikum (pebaharuilah terus menerus nalar dan kualitas iman kalian) adalah perintah yang dimaksud. Dengan kesadaran dan spirit jaddidu imanikum akan tercipta tajdid al-nafs. Karena, iman adalah basis fundament perjalanan proses tajdid al-nafs. Iman menggerakkan semesta jiwa untuk senantiasa melakukan tajdid melalui pelbagai saluran amalan saleh. Tujuannya agar nalar dan spirit iman tetap berada pada jalan-jalan tajdid al-nafs, meskipun berada dalam lingkaran kehidupan yang penuh dengan pelbagai ujian dan tantangan.

Itulah mengapa juga selepas dari perang Badar yang terjadi dalam bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 17 Ramadhan 2 H / 13 Maret 625, Nabi bersabda "raja'n min al-jihd al-ashghar il al-jihd al-akbar, ql wam jihd al-akbar? Qla jihd al-qalb aw jihd al-nafsi" (Kami baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad besar. Mereka berkata: Apakah jihad besar itu? Nabi saw menjawab: Jihad (melawan) hati atau jihad (melawan) nafsu). Terlepas dari status hadisnya, karena ada yang menilainya sebagai hadis lemah (dhaif) seperti al-Iraqi, matan-konten hadis tersebut rasa-rasanya bisa diterima, apalagi tidak bertentangan dengan teks bahasa agama pada umumnya.

Sebab, jihad melawan diri sendiri merupakan jihad paling penting dan utama bahkan tergolong sebagai jihad akbar. Hal demikian antara lain dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah ketika mengklasifikasi bentuk-bentuk jihad dalam Islam. Karena, panggilan jihad dalam bentuk qital (perang fisik) tidak akan disambut dengan antusias dan sigap oleh umat Islam manakala di sana masih ada hegemoni dan dominasi nafsu angkara murka terhadap semesta jiwanya. Hanya orang-orang yang sudah lulus dari pendidikan jihad terhadap diri sendirilah yang akan menyambutnya dengan penuh antusias dan sigap. Bahkan di sana tidak ada lagi rasa khawatir dan takut.

Tentunya, jihad al-nafsi dimaksud bukan jihad yang disalahpahami kalangan teroris yang cenderung memaknai terminologi jihad sebagai perang fisik. Akan tetapi, jihad al-nafs adalah sebuah paradigma pendidikan ruhani untuk menyiapkan setiap jiwa empat tingkatan. Pertama; jihad untuk menuntut ilmu. Artinya, jihad ini menghendaki seseorang berjihad untuk mempelajari ilmu agama. Kedua; jihad untuk mengamalkan ilmu. Maksudnya, berjihad terhadap diri sendiri agar bisa mengamalkan ilmu yang dipelajari. Ketiga; jihad untuk berdakwah, yakni berjihad terhadap diri sendiri agar mendakwahkan ilmu dan amal. Keempat; jihad untuk bersabar terhadap tiga hal itu.

 Jihad al-nafs demikian merupakan instrumen penting untuk sampai pada kesadaran dan spirit tajdid al-nafs. Bahkan jihad al-nafs itu sangat dibutuhkan selama menjalankan proses i'tikaf. Dengan jihad al-nafs, seseorang akan terpacu untuk memaksimalkan pelbagai potensi, waktu dan kesempatan untuk beribadah. Perjumpaan dan persenyawaan jihad al-nafs dengan proses i'tikaf benar-benar akan melahirkan kesadaran dan spirit tajdid al-nafs. Sehingga, mereka-mereka yang menjadi proses i'tikaf memiliki etos kesalehan spritual yang tinggi dan tertib. Mereka mengatur segala sesuatunya untuk bisa maksimal beribadah pada sepuluh hari terakhir.

Realitas Umat Islam Pada Akhir Ramdhn

 

Meskipun gambaran tentang lail al-qadr dan i'tikaf begitu agung, dahsyat dan mempesona batin, namun rupanya hal demikian tidak meluluh berbanding lurus dengan realita umat Islam di lapangan, khususnya realitas umat Islam pada akhir bulan Ramadhan. Nyaris sama dengan sebuah meme satire yang berkembang luas di jagat permediaan, yakni "pusat ibadah sebagian orang pada sepuluh hari pertama adalah di rumah masing-masing, ketika masuk pada sepuluh hari kedua pusat ibadahnya sudah bergeser ke tempat buka puasa bersama, sementara ketika masuk sepuluh hari terakhir pusat ibadahnya bergeser ke tempat-tempat pembelajaran".

Ungkapan satire tersebut bisa diandaikan sebagai otokritik terhadap realitas umat Islam dalam memperlakukan bulan Ramadhan, khususnya lagi akhir bulan Ramadhan. Hal demikian terbilang sesuatu yang sangat mudah untuk dijumpa-temui dalam setiap bulan Ramadhan. Malah ungkapan satire semacam itu masih terbilang agak mendingan. Sebab, problemnya hanya terletak pada pemberlakuan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Selebihnya wajar-wajar saja. Orang boleh saja beribadah di rumahnya jika ada udzur star'inya, apalagi ibadah dimaksud hanya bertalian dengan makan sahur dan ifthar semata. Pun orang boleh saja beribadah pada acara bukber.

Memang, melihat realitas umat Islam pada akhir Ramadhan rasa-rasanya sangat disayangkan betul. Di mana pusat kegiatan sebagian besar orang Islam mulai bergeser dari masjid ke tempat-tempat perbelanjaan; mall-mall, swalayan, toko-toko dan lainnya. Mereka "beri'tikaf" di tempat-tempat itu. Nama kue, makanan, pakaian, alat kecantikan dan harganya masing-masing menjadi "zikir" yang selalu diulang-ulang selama "beri'tikaf" di sana. Di sana mereka beribadah dengan khidmat melalui pelbagai macam aneka hasrat duniawi. Mereka berlomba-lomba menjadi paling depan untuk bisa mengejar pelbagai tuntutan hasrat duniawinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun