Karena, respon tidak pantas itulah kemudian netizens Indonesia mengandaikan bahwa platform politik gemoy-santuy hanya sebuah gimik politik kosong tanpa pesan apa-apa. Bahkan platform politik semacam itu hanya sebagai sebuah "kamuflase politik elektoral" (meskipun banyak lembaga survei mengandaikan bahwa platform politik tersebut tidak begitu signifikan mendongkrak elektabilitas politiknya). Â Bahkan banyak pula netizens Indonesia mengandaikan bahwa laku dan Lokon politik semacam itu mengubah wajah politik gemoy-santuy menjadi wajah politik tantrum dan sentimen-emosional. Dan masih banyak lagi pengandaian lainnya.
Meskipun demikian, loyalitas dan fanatikus Prabowo tampil di mana-mana untuk memberikan klarifikasi tentang apa yang dilakukan oleh jagoannya. Tidak hanya soal kemampuan dan keluarbiasaanya dalam berdebat, tetapi juga soal beberapa tampilan yang tidak pantas yang ditunjukkan oleh seorang Prabowo. Sampai-sampai mereka mengatakan bahwa Prabowo tidak mau menyerang lawan debatnya. Bahkan sudah disampaikan sebelum debat pun juga Prabowo menolaknya. Karena, Prabowo merupakan sosok kesatria, negara, mudah memaafkan dan tidak pendendam, mengakomodir lawan-lawan politiknya dan lain sebagainya.
Namun, tim horenya Prabowo rupa-rupanya lupa bahwa memamg benar adanya kalau-kalau seorang Prabowo tidak menyerang lawan debat. Malahan kenyataannya Prabowo diserang kiri kanan oleh lawan debat, menyerang dengan bangunan argumentasi tentunya. Itu fakta. Akan tetapi, Prabowo malah menyerang lawan debat dengan kata-kata dan ekspresi gesture bahasa tubuh yang tidak pantas sama sekali. Bila dibandingkan menyerang lawan debat dengan kata-kata disertai data dan argumentasi yang kuat, malah masih jauh lebih fatal dari menyerang dengan kata-kata dan ekspresi gesture bahasa tubuh yang mengejek.
Ternyata semuanya semakin terang setelah perdebatan Capres perdana. Di mana ada insiden lain yang menjawab semua pledoi moral dan politik tim horenya. Koran Tempo melansir sebuah berita yang bertajuk "Prabowo Diam-diam Sindir Anies dan Bilang Ndasmu Etik, Timnas AMIN: Etika Tidak Dijunjung Tinggi". Berita ini hendak menjelaskan respon Tim AMIN terhadap sindiran kata "ndasmu etik" kepada Anies. Namun, point yang mau disampaikan adalah bahwa ternyata Prabowo yang dibilang tidak suka menyerang lawan (debatnya) malah diam-diam menyerang lawan (debatnya) dengan kata "ndesmu etik". Baru serangan dan sindiran itu bukan dilakukan diruang debat.
Itulah problemnya. Selama ini tokoh-tokoh nasional selalu berbicara tentang Pancasila dan cenderung mengkampanyekan "Pancasila Harga Mati" dengan melakukan apa yang dinamakan dengan "pengarusutamaan Pancasila dalam segenap segmentasi kehidupan berbangsa". Bahkan Pancasila dijadikan juga sebagai "standar nilai" dalam membaca dan menyikapi pelbagai ragam realitas yang muncul dalam sendi-sendi kehidupan kebangsaan. Tidak sampai di situ, Pancasila juga acapkali dijadikan sebagai "stempel basah" dan "palu Godam" dalam membaca dan menyikapi realitas. Makanya, atas nama Pancasila banyak Paham dibasmi dan dibumihanguskan.
Moderasi agama yang kini gencar-gencarnya dilakukan oleh rezim Jokowi maupun rezim sebelumnya juga pada sesungguhnya tidak memiliki jarak yang jauh dengan paradigma politik kebangsaan yang hendak menjadikan Pancasila sebagai sistem nilai untuk semua. Bukan saja dalam urusan kebangsaan dan kenegaraan (mencakup hukum, ekonomi, politik, demokrasi, HAM, pembangunan SDM, dan seterusnya), akan tetapi masalah keagamaan pun kini (rasa-rasanya) mulai juga dibaca dan didekati dengan perspektif Pancasila. Karena, konon di sana banyak paham-paham keagamaan yang diproduksi oleh masyarakat yang tidak sejalan dengan prinsip dan spirit Pancasila.
Sebenarnya dalam konteks-konteks tertentu tidak ada salahnya juga dengan logika semacam itu. Meskipun, belum tentu juga benar adanya. Namun, problemnya ternyata tokoh-tokoh nasional yang selalu berbicara tentang pentingnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum sepenuhnya jujur dengan Pancasila. Sebab, banyak lakon yang dipertontonkan oleh kaum Pancasila-isme malah tidak sejalan dengan prinsip dan spirit Pancasila itu sendiri. Terjadi paradoks dan kontradiksi tidak beraturan antara klaim dengan fakta-fakta riil di lapangan. "Saya Pancasila-isme" dan "Pamcasila Harga Mati" tidak lebih hanya klaim dan bualan kosong.
Ambil saja beberapa prinsip dan spirit penting dari Pancasila untuk membaca laku dan lakon politik kebangsaan yang dipertontonkan banyak tokoh-tokoh politik maupun lainnya. Di antara prinsip dan spirit Pancasila adalah membangun kemanusiaan yang adil dan beradab dalam semua segmentasi kehidupan kebangsaan. Prinsip dan spirit ini mengharuskan semua anak bangsa, khususnya mereka-mereka yang dikatakan sebagai politisi, pejabat publik dan juga mereka-mereka yang hendak menjadi calon pemimpin bangsa, untuk menjadi manusia yang adil dan beradab. Dengan kata lain, tidak menghendaki sama sekali ada kemanusiaan yang zalim dan biadab.
Konsepsi kemanusiaan yang adil dan beradab berlaku dalam semua konteks kehidupan kebangsaan. Tidak hanya berlalu dalam kondisi normal saja. Akan tetapi, berlaku pula dalam kehidupan yang tidak normal sekalipun. Kehidupan normal dimaksud mencakup kehidupan yang rukun, damai santoso, aman, damai, saling menghargai dan menghormati dan lainnya. Sementara kehidupan tidak normal dimaksud adalah kehidupan jauh dari hal-hal demikian. Termasuk dalam kategori kehidupan tidak normal adalah ketika memasuki tahun kontestasi politik. Karena, di sana terjadi fragmentasi politik bahkan sampai terjadi polarisasi dan segregasi sosial antar sesama anak bangsa.
Adalah sesuatu yang terbilang biasa-biasa saja manakala kemanusiaan yang adil dan beradab berlaku dalam kehidupan yang normal. Lebih luar biasa lagi kalau-kalau prinsip dan spirit tersebut tetap berlaku juga ketika terjadi fragmentasi pilihan politik, terjadi silang pendapat, polarisasi sosial dan politik maupun lainnya. Artinya, prinsip dan spirit Pancasila benar-benar menyata bagi seseorang manakala menghadapi fragmentasi paham dan pilihan politik dengan keadilan dan keadaban, yakni menyikapi dengan tenang, lembut, santai, sopan santun, saling menghargai. Namun, ketika tiba-tiba berubah menjadi tantrum, maka itu sudah pasti tidak Pancasilais.
*Calon Pemimpin Berwajah Sat Set*