Paling penting untuk diungkapkan dalam kaitannya dengan itu adalah bukan hanya sama dengan gagasan besarnya pasangan AMIN, akan tetapi sangat boleh jadi pasangan Prabowo-Gibran "malu-malu" untuk mengatakan bahwa mereka juga mengusung gagasan "perubahan" dalam versi mereka. Hanya saja karena platform politik yang bernama "perubahan" sudah digunakan pasangan AMIN, sementara narasi politik yang berkembang adalah pasangan AMIN kontra dengan rezim Jokowi dan pasangan Prabowo-Gibran mendukung rezim Jokowi, maka semacam malu-malu dan alergi untuk menggunakannya. Meskipun, diakui dalam forum perdebatan Capres.
Kedua; dalam forum perdebatan tersebut nampak terlihat rupa-rupanya Prabowo beberapa kali berbicara tidak berbasiskan data yang akurat. Bukan saja dalam sesi tanya-jawab dan sanggah-menyanggah dengan Anies Baswedan, akan tetapi juga ketika berdebat dengan Ganjar Pranowo. Persoalan pertama adalah Prabowo berbicara tidak berdasarkan data ketika berdebat dengan Ganjar terkait persoalan pupuk. Di mana Prabowo mengatakan bahwa "yang saya dapat fase keliling khususnya di Jawa Tengah, Pak Ganjar, petani-petani di situ sangat sulit dapat pupuk dan mereka mengeluh dengan Kartu Tani yang bapak luncurkan. Ini mempersulit mereka dapat pupuk."
Berbeda dengan itu, Ganjar mengatakan bahwa kelangkaan pupuk tidak hanya di Jawa Tengah, melainkan juga di daerah lain seperti, Papua, Sumatera Utara, dan NTT. Selain itu, Ganjar pun mengingatkan posisi Prabowo yang sempat menjadi ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). "Mungkin bapak sedikit agak lupa untuk saya bisa mengingatkan karena bapak pernah menjadi Ketua HKTI. Pak, data petani kita tidak pernah beres". Tidak hanya sampai di situ, Ganjar mengatakan lebih lanjut bahwa dengan kondisi semacam itu: "maka kalau kemudian satu data petani itu bisa kita kelola, maka distribusi pupuknya harus bisa sampai dan tempat sasaran."
Lantas di mana letak persoalannya? Persoalannya adalah Prabowo tidak menyajikan data secara komprehensif terkait dengan persoalan pupuk. Alih-alih hendak mengkritik dan menyerang Ganjar, rupa-rupanya Prabowo lupa bahwa persoalan pupuk tidak hanya terjadi di Jawa Tengah ketika Ganjar menjabat sebagai seorang Gubernur dengan program Kartu Taninya, akan tetapi terjadi hampir pada semua Provinsi di Indonesia . Selain itu, tanpa sadar, keduanya secara tidak langsung mengkritik problem-problem pertanian pada rezim Jokowi. Sementara itu, keduanya selalu mengidentifikasi dan mengidentikkan dirinya sebagai pelanjut rezim Jokowi-sme.
Hal serupa juga terjadi ketika seorang Prabowo berdebat dengan seorang Anies soal penanganan polusi di DKI Jakarta ketika Anies menjabat sebagai Gubernur saban hari. Di situ Prabowo mempertanyakan penggunaan anggaran DKI Jakarta yang terbilang besar itu. Indikator pertanyaan Prabowo ini mengacu secara langsung pada salah satu sampel yang diandaikan kuat dan bisa digunakan untuk "menyerang" Anies dalam forum perdebatan Capres itu. Di mana Prabowo mengatakan bahwa Anies malah gagal alias tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti untuk mengurusi polusi ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan anggaran 80T.
Menjawab itu Anies menjelaskan kerja sains-ilmiah dan proses kerja penanganannya dalam mengatasi polusi udara di DKI Jakarta selama dirinya menjabat sebagai Gubernur. Bahkan Anies memulai dengan menganalogikan kasus Covid-19 yang sempat membuat Prabowo intrupsi. Menurut Anies, di Jakarta sudah dipasang alat pemantau polusi udara. Bila masalah polusi udara itu bersumber dari dalam kota Jakarta, maka hari ini, besok, minggu depan akan konsisten akan terus kotor, tapi apa yang terjadi? Ada hari di mana kita bersih, ada hari di mana kita kotor. Ada masa Minggu pagi Jagakarsa sangat kotor, apa yang terjadi? Polusi udara tak punya KTP, angin tak ada KTP-nya.
Tidak hanya sampai di situ, Anies juga menjelaskan bahwa angin itu bergerak dari sana ke sini. Ketika polutan yang muncul dari pembangkit listrik tenaga uap mengalir ke Jakarta maka Jakarta punya indikator, karena itu Jakarta mengatakan ada polusi udara. Ketika anginnya bergerak ke arah Lampung, ke arah Sumatera, ke arah Laut Jawa, di sana tidak alat monitor maka tidak muncul, dan Jakarta pada saat itu bersih. Namun, apa yang dijelaskan oleh Anies itu malah disikapi dengan nada "tantrum" dan mengatakan bahwa "jadi saya kira gampang menyalahkan angin, hujan dan sebagainya ya mungkin tidak perlu ada pemerintahan kalau begitu."
Ketiga; catatan paling penting adalah respon yang diberikan oleh Prabowo dalam perdebatannya dengan Anies. Di sana terdapat beberapa problem fundament dan bahkan sangat fatal, sebuah problem yang dipertontonkan secara telanjang dan vulgar di depan publik Indonesia. Sebab, problem tersebut dilakukan oleh seorang calon pemimpin bangsa dan juga pengusung platform politik yang bernama "gemoy-santuy". Harusnya seorang calon pemimpin tidak hanya terkenal dengan kecerdasan intelektual dan pengalamannya dalam berbagai kepemimpinan publik, tetapi paling penting adalah memberikan ketauladanan dalam kebaikan pada umumnya.
Rupa-rupanya hal demikian tidak sepenuhnya ditemukan dalam forum perdebatan Capres perdana itu. Beberapa kali seorang Prabowo menunjukkan sesuatu yang sama sekali tidak mencerminkan platform politik gemoy-santuy yang selama ini dikempanyekan di mana-mana. Di mana pada forum perdebatan Capres perdana itu rupa-rupanya platform politik gemoy-santuy berubah seketika, berubah hampir seratus delapan puluh derajat. Karena, Prabowo merespon perbedaan paham dan artikulasinya dalam perdebatan dengan kata-kata dan ekspresi gesture tubuh yang tidak pantas; tidak pantas untuk dilakukan oleh orang sekelas Prabowo dan calon pemimpin.
Problem pertama adalah panggilan berkali-kali yang dialamatkan kepada Anies. Panggilan "Anies, Anies, Anies" dengan agak panjang adalah panggilan yang mengandaikan Anies bagaikan seorang "anak kecil" dan "tidak ada apa-apanya". Bisa juga bermakna apa yang disampaikan Anies adalah salah, jauh dari objektivitas dan rasionalitas. Bahkan panggilan semacam itu juga bisa diandaikan sebagai bagian dari mengejek seorang Anies. Sebab, panggilan semacam itu tidak relevan dengan perdebatan bahkan tidak dibutuhkan panggilan semacam itu dalam ruang-ruang perdebatan. Jika tidak sepakat dengan lawan debat, maka kritik saja apa yang menjadi substansi masalahnya.
Tidak sampai di situ. Nampak terlihat juga rasa-rasanya Prabowo juga tidak sungkan-sungkan "mengejek" Anies dengan ekspresi gesture bahasa tubuh. Ejekan ini berlangsung ketika seorang Anies sementara memberikan penjelasan terkait dengan apa yang menjadi pertanyaan dan sanggahan Prabowo. Padahal Anies Baswedan menjelaskan dengan lemah lembut dan sambil senyum yang merupakan karakter otentiknya selama ini. Seharusnya sebagai seorang tokoh nasional, negarawan dan calon pemimpin bangsa memberikan contoh yang baik dengan mendengar apa yang disampaikan lawan dengan sikap saling menghormati, bukan malah sebaliknya.