Azis Maloko
Tidak tahu apa sesungguhnya yang tengah terjadi pada bangsa dan negara Indonesia, sehingga sampai kini bermunculan banyak hal yang memalukan dan memuakkan dalam panggung demokrasi kita. Menjelang pesta demokrasi pada tahun 2024, banyak sekali lakon politik yang tidak edukatif dipertontonkan secara vulgar oleh banyak pihak turut mewarnai dinamika politik. Bukan satu, dua dan tiga kali saja, akan tetapi banyak sekali jumlahnya. Bila hendak dibuatkan daftarnya niscaya membutuhkan waktu yang lumayan panjang dan lembaran yang terbilang tebal. Karena, peristiwa-peristiwa dimaksud tampaknya terjadi secara beruntun dan silih berganti.
Bisa saja fenomena politik semacam itu, seperti dikatakan Pak Lurah, karena jagat perpolitikan Indonesia kini terlampau banyak drama dan sinetron politiknya. Meskipun hingga kini aktor drama dan sinetronnya masih menjadi teka-teki misterius. Ya. Pada rezim ini rasa-rasanya hampir segala sesuatu terlihat kabur oleh banyak orang. Bukan semata karena banyak peristiwa politik terjadi dengan begitu misteriusnya, akan tetapi sangat boleh jadi di sana ada ketakutan politik menghantui dan mengancam banyak orang manakala mereka memilih untuk jujur dan berani dalam memberikan penilaian dan komentar terhadap berbagai rentetan peristiwa politik yang terjadi.
Genealogi dan Fenomena Asam Sulfat
Salah satu peristiwa politik yang terbilang begitu penting dalam kaitannya dengan itu adalah peristiwa "asam sulfat". Tentunya, pentingnya peristiwa tersebut bukan karena terdapat utilitas di dalamnya. Akan tetapi, karena peristiwa tersebut tergolong sangat memalukan dan memuakkan. Sehingga, menjadi penting untuk diperhatikan dengan seksama dan secara kritis. Ya. Peristiwa "asam sulfat" adalah peristiwa politik yang (sangat) memalukan dan memuakkan publik. Sebab, peristiwa tersebut terjadi dan dilakukan oleh orang yang dibangga-banggakan dengan berbagai predikasi dan dinobatkan untuk menjadi pemimpin Indonesia ke depannya
Secara genealogis, peristiwa "asam sulfat" ini bukan baru terjadi pertama kalinya pada 4 Desember 2023, tetapi terjadi juga pada 3 Desember 2023. Keduanya terjadi dalam forum yang berbeda. Hal demikian berarti peristiwa ini terjadi bukan secara kebetulan begitu saja. Sebab, tidak mungkin kebetulan terjadi secara berulang-ulang kali. Apalagi terjadi pada hal yang sama. Tentunya, sangat tidak mungkin. Kecuali memang di sana ada "pengetahuan" tentang istilah tersebut sebagai "resep" bagi fenomena stunting, sehingga "pengetahuan" demikian berkali-kali digunakan untuk menjawab dan menjelaskan permasalahan terkait dengan fenomena stunting itu.
Jauh sebelumnya juga sudah terdapat berbagai peristiwa politik yang dilakukan (olehnya). Misalnya, ketika ditanya soal metode dan strategi agar supaya generasi milenial dan gen z dapat memiliki akses untuk berkarir di kancah internasional di bidang Teknik Informatika (TI) dan lainnya malah dijawab dengan enteng bahwa hal demikian sudah ada bukunya, sehingga tidak perlu untuk dijelaskan lagi. Padahal di situ generasi milenial dan gen z _yang notabene kecenderungan pilihan politiknya selalu dikaitkan dengan calon pemimpin muda_ membutuhkan sebuah jawaban dan gagasan langsung dari calon pemimpin bangsa yang tergolong "milenial" tersebut.
Seharusnya momentum emas semacam itu dimanfaatkan oleh calon pemimpin bangsa _yang hanya mengejar elektabilitas politik tanpa memperhatikan intelektualitas dan etikabilitas sebagaimana dikatakan Rocky Gerung_ untuk berbicara gagasan dan pengalaman terkait dengan apa yang ditanyakan generasi milenial dan gen z agar mereka lebih yakin lagi bahwa calon pemimpin muda bangsa juga dapat diandalkan karena punya wawasan literasi, gagasan, pengalaman dan prestasi yang disampaikan melalui ruang-ruang dialog. Sehingga, mereka mempunyai cukup alasan untuk memilih pemimpin muda  dan dapat diterima pula hasil-hasil survei terkait dengannya.
Namun, hal itu mungkin berat dan sulit untuk dilakukan oleh mereka-mereka yang tidak terbiasa dengan literasi dan sharing gagasan. Sebab, untuk sharing gagasan tentang segala sesuatu dibutuhkan wawasan literasi dan pengalaman dalam mengikuti berbagai ruang-ruang dialog. Orang-orang yang miskin wawasan literasi, tidak punya gagasan besar (grand idea) dan tidak punya pengalaman sharing gagasan dan literasi akan membuat banyak alasan untuk mangkir dari ruang-ruang dialog. Bahkan ketika diminta pandangan terkait dengan hal ihwal kepimpinannya pun direspon apa adanya dengan alasan irit berbicara. Belum lagi ketika berbicara ngelantur sana dan ngelantur sini.
Tentunya, di sini tidak dinafikan bahwa manusia, siapa pun orangnya, memiliki kemungkinan untuk melakukan kesalahan dalam berbagai format. Apalagi manusia pada umumnya juga memiliki kekurangan dan kelemahan, selain kelebihan dan kekuatan. Hal demikian sangat mudah untuk ditemukan dalam kehidupan. Bahkan agama pun jauh hari telah mensabdakan bahwa "setiap anak keturunan Adam (pasti) akan melakukan kesalahan dan sebaik-baiknya mereka yang melakukan kesalahan adalah kembali sadar dan bertaubat". Hal demikian tidak berarti kemudian kesalahan dibiarkan begitu saja terjadi. Akan tetapi, perlu ada kritik dan evaluasi di dalamnya.
Jangankan manusia secara umum, orang berilmu sekalipun memiliki kekurangan dan kelemahan. Bahkan orang berilmu kadangkala keliru dan tergelincir dalam sebuah kesalahan, karena orang berilmu juga manusia yang tidak terbebas dari sebuah kesalahan dan dosa. Hal demikian sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama di antaranya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah bahwa "inna al-'lim qad yazallu wal budda idz laisa bi ma'shm". Secara logika, jika seorang berilmu saja demikian halnya, apalagi orang kurang ilmu, pengalaman dan nekat mengambil mengurus hajat banyak orang. Sudah bareng tentu memiliki potensi dan ruang kemungkinan untuk melakukan hal demikian.
Problemnya adalah ketika setiap orang tidak menyadari dan mereposisi dirinya dalam kehidupannya. Misalnya, seseorang yang miskin literasi, tidak punya konsep dan gagasan plus tidak punya pengalaman kepemimpinan yang matang dan layak memaksakan diri dan atau dipaksakan untuk menjadi calon pemimpin lalu seenaknya berbicara tentang hajat banyak orang (seolah-olah publik semuanya seperti dirinya). Di sini bukan semata soal melakukan kekhilafan dan keberanian untuk meminta maaf secara terbuka. Akan tetapi, soal kenekatan dan kemasabodohan mengambil bagian urusan banyak orang tanpa menyadari apa dan bagaimana eksistensi dirinya.
Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, genealogi peristiwa politik yang bernama "asam sulfat" menandakan sebuah fenomena politik tentang kurang dan miskinnya literasi politik bagi calon pemimpin bangsa. Selain itu, genealogi "asam sulfat" juga menandakan bahwa tidak semua orang yang maju menjadi calon dalam suksesi kepemimpinan publik memiliki kualitas dan kriteria yang dapat diandalkan. Apalagi kalau-kalau sistem demokrasi juga semacam memberikan ruang terbuka bagi semua orang yang dipandang "layak" untuk diusung, didukung dan diperjuangkan, meskipun banyak terdapat problem dan kekurangan di dalamnya.
Cukup ironis manakala mereka-mereka yang begitu berhasrat untuk menjadi pemimpin bangsa malah tidak memiliki kesadaran, tradisi dan wawasan literasi yang luas dan teruji. Juga kalangan elit politik yang terbilang tidak begitu jujur dan berani untuk mengambil sikap di dalamnya. Padahal menjadi pemimpin bangsa memiliki segmentasi tanggungjawab yang terbilang banyak dan besar. Di sana bukan beberapa orang dan kelompok yang di pimpin dan juga bukan tanpa tantangan di dalamnya. Sehingga, selain dibutuhkan pengalaman birokrasi (itupun kalau prosesnya normal) dan kecakapan lainnya, juga dibutuhkan juga kesadaran, tradisi dan wawasan literasi.
Makanya, tidak boleh menganggap remeh soal wawasan literasi bagi seorang pemimpin bangsa. Karena, menjadi pemimpin membutuhkan pengetahuan dan seni khusus. Hal demikian hanya dapat diperoleh di antaranya dengan wawasan literasi yang dilakoni dan digeluti. Pemimpin bangsa yang miskin literasi niscaya memiliki pengetahuan, pandangan dan wawasan yang sempit. Hal demikian antara lain mungkin menjadi penyebab kenapa banyak pemimpin miskin literasi cenderung melahirkan kebijakan yang tidak pro rakyat, tidak pro demokrasi dan tidak pro HAM. Termasuk menabrak berbagai aturan demi mengoalkan dan melanggengkan hasrat kekuasaan politik
Sebaliknya, pemimpin yang melek dengan literasi hingga memiliki wawasan dan reputasi khusus dalam bidang literasi akan memiliki kekayaan dan keluasan wawasan dalam memimpin. Hal demikian sudah bareng tentu akan berimplikasi pada cara pandang dan juga kebijakan-kebijakannya. Di mana tipologi pemimpin semacam ini akan melakukan kajian secara mendalam teliti, cermat dan cepat dengan menggunakan berbagai approach, sehingga produk kebijakan yang dilahirkan benar-benar bisa menghadirkan solusi bagi masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga, kebijakan-kebijakan politiknya merupakan refleksi dari wawasan literasi politik dan kepemimpinan.
Meskipun, tidak dinafikan bahwa ada juga pemimpin yang miskin literasi memiliki track record politik yang bagus ketika menjalankan roda kepemimpinannya. Bisa saja karena pengaruh positif dari orang-orang di sekitarnya. Pun ada juga fakta yang menunjukkan bahwa kadang kecerdasan seorang pemimpin pun sangat rentan digunakan untuk melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Di situ ada titik perjumpaan dengan karakter dan pandangan politik yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Termasuk pengaruh-pengaruh dibalik layar dan lainnya. Intinya, wawasan literasi sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin untuk melakukan kerja-kerja kepemimpinannya.
Coba bayangkan, bila fenomena "asam sulfat" itu berlanjut menjadi sebuah pandangan dan kebijakan politik, sangat boleh jadi akan terjadi banyak problem dalam tubuh kebangsaan kita. Sangat boleh jadi problem yang terjadi nyaris sama dengan "asam sulfat" itu, yakni "mematikan" kesehatan manusia. Artinya, bila hal demikian berlanjut menjadi pandangan dan kebijakan politik niscaya akan melahirkan gelombang "kematian" bagi sistem demokrasi bahkan bagi masyarakat, bangsa dan negara sekaligus yang ditandai dengan berbagai kebijakan yang dilahirkan berupa kebijakan yang anti demokrasi dan supremasi hukum, anti HAM, tidak pro kepentingan rakyat, pro Asing dan seterusnya.
Apalagi sudah ada lembaga survei yang melansir hasil survei terkait dengan kualitas intelektual (intellectual qualities), bahwa calon pemimpin tersebut memiliki kualitas intelektual lebih unggul dibandingkan dengan calon pemimpin lainnya. Sehingga, sangat boleh jadi hasil survei semacam ini bisa kemudian dijadikan sebagai "stempel basah" bagi para fans boy dan fanatikusnya untuk membenarkan dan membela mati-matian setiap sabda dan kebijakan politiknya. Dikhawatirkan pula emak-emak yang kurang literasi dan terlampaui percaya dengan survei semacam itu menerima begitu saja sabda politik terkait dengan fungsi "asam sulfat" bagi fenomena stunting.
Pada konteks itu, mereka-mereka yang memiliki hasrat yang begitu membabi-buta untuk menjadi pemimpin bangsa hingga menabrak aturan dan logika publik harusnya menjadi pemimpin bagi dirinya terlebih dahulu sebelum mengambil kepemimpinan publik dengan mengurus hajat banyak orang itu. Wujud menjadi pemimpin untuk diri sendiri di antaranya adalah memimpin diri untuk belajar dengan baik hingga memiliki wawasan dan reputasi literasi plus kekayaan pengalaman. Sehingga, ketika tampil dalam panggung demokrasi, baik karena keniscayaan maupun keterpaksaan, setidak-tidaknya memiliki bekal kepemimpinan dari segi pengalaman dan wawasan literasi.
Seperti pepatah yang mengatakan bahwa "tampil tanpa persiapan, turun tanpa penghormatan." Artinya, melakukan sesuatu tanpa persiapan yang matang akan berdampak pada hasilnya. Bahkan sebelum turun tanpa penghormatan, calon pemimpin semacam itu bisa saja duluan babak-belur oleh berbagai kesalahan dan "pelanggaran", sehingga merusak tata nilai yang ada, selain dirinya dan keluarganya. Mungkin hal demikian di antara konsekuensi dan sanksi yang dipercepat bagi mereka-mereka yang ingin tampil menjadi pemimpin tanpa melalui sebuah persiapan yang matang; mereka tampil hanya karena relasi kuasa dan privilese orangtua.
Paradoks (dengan) Wajah Demokrasi
Genealogi dan fenomena "asam sulfat" tersebut pada akhirnya harus dikatakan sangat paradoks dengan sistem demokrasi pada umumnya. Dalam genealogi historicalnya, sistem demokrasi lahir dan dikembangkan oleh kalangan intelektual dan elitis untuk mensukseskan kepemimpinan publik melalui sebuah mekanisme pemilihan. Di mana masyarakat sebagai pemilik saham terbesar di dalamnya, karena kepemimpinan publik dalam sistem demokrasi ditentukan oleh masyarakat melalui sebuah mekanisme pemilihan. Sehingga, terdapat sebuah rumusan teoretis tentang demokrasi sebagai vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan).
Pada konteks itu, semua masyarakat (yang punya hak untuk memilih sebagaimana diatur oleh konstitusi) memiliki kedudukan yang sama. Siapa dan bagaimana atribut masyarakatnya, sama-sama sebagai pemilih dan suaranya cukup menentukan dalam demokrasi, hatta setiap masyarakat hanya memiliki satu suara. Sehingga, masyarakat yang sekolah maupun tidak sekolah dan punya pekerjaan maupun tidak memiliki kedudukan yang sama sebagai pemilih. Di sini keterlibatan masyarakat sebagai pemilih dibatasi. Masyarakat yang boleh memilih adalah masyarakat yang telah memenuhi syarat minimal usia sekitar 17 tahun (UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 348-350).
Meskipun demikian, tidak semua masyarakat yang memiliki hak memilih juga bisa maju berlaga menjadi calon pemimpin pada tingkat dan level tertentu. Sebab, di sana masih cukup banyak syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi oleh masyarakat untuk bisa meng-upp statusnya sebagai pemilih menjadi calon pemimpin yang siap untuk dipilih. Misalnya, syarat untuk menjadi calon pemimpin bangsa. Sebut saja Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) pasca putusan Mahkamah Konstitusi jo. UU No. 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU No. 19 Tahun 2023.
Artinya, di sana ada syarat yang mesti untuk dipenuhi oleh seorang calon pemimpin. Mungkin untuk pemilih tidak apa-apa manakala syaratnya hanya batas usia minimal menjadi pemilih dalam setiap kontestasi politik. Meskipun, banyak gerakan politik yang berupaya untuk menyertakan syarat bagi pemilih tersebut dengan syarat-syarat lainnya. Misalnya, menjadi pemilih cerdas dan kritis, bukan pemilih emosional dan transaksional. Namun, syarat menjadi seorang pemimpin tidak cukup hanya dengan batas usia minimal dan maksimalnya. Sebab, horizon tanggung jawab seorang pemimpin (sangat) jauh berbeda dengan tanggung jawab seorang pemilih.
Mengacu pada aturan yang disebutkan di atas (terlepas dari berbagai kontroversi, polemik dan diskursus tentangnya), syarat menjadi seorang pemimpin bangsa diatur sedemikian rupa. Bila dikategorikan, syarat demikian terdiri dari beberapa kategori, yaitu: 1) kategori keimanan dan ketakwaan; 2) kategori status kewarganegaraan; 3) kategori komitmen moral kebangsaan; 4) kategori kesehatan rohani dan jasmani; 5) kategori hukum; 6) kategori administratif; 7) kategori usia minimal dan maksimal; 8) kategori pengalaman kepimpinan minimal; 9) kategori standar minimal pendidikan; 10) kategori bebas dari organisasi terlarang; dan 11) kategori visi dan misi.
Nampaknya, kategorisasi syarat Capres-Cawapres demikian terbilang biasa-biasa saja. Dengan kata lain, meskipun kategori syarat menjadi Capres-Cawapres terbilang lebih banyak dari syarat menjadi pemilih (memang harusnya demikian halnya), namun kategori syarat tersebut terbilang tidak terlalu ketat dan menggambarkan sebuah peradaban bangsanya. Dengan syarat-syarat demikian banyak masyarakat berpeluang untuk maju menjadi calon pemimpin, hatta tingkat pendidikannya hanya sampai SMA dan sederajat dan syarat-syarat lainnya hanya formalitas semata. Apalagi kalau masyarakat yang memiliki relasi kuasa dan privilese orangtuanya.
Di situlah wajah paradoks demokrasi itu. Pada satu sisi menginginkan agar supaya sistem demokrasi agak lebih intelek dan elit serta dapat menjadi ruang selektif untuk menghadirkan pemimpin bangsa yang berkualitas, namun pada sisi lain malah tercipta "akal politik kolektif" yang bernama "koalisi partai politik" untuk mengusung calon pemimpin tanpa memperhatikan kualitasnya. Pun begitu halnya dengan para elit politik yang selalu mengikhtiarkan tentang pentingnya menjadi pemilih cerdas dan kritis dalam pesta demokrasi, namun pada sisi lain para elit politik malah (kelihatan) tidak begitu cerdas dan kritis dalam mengusung calon pemimpin.
Raibnya Marwah Panggung Demokrasi
Sistem demokrasi dan elit politik nampaknya masih mementingkan elektabilitas politik semata tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan aspek intelektualitas dan etikabilitas plus pengalaman kepemimpinan politik seorang calon pemimpin. Â Makanya, sistem demokrasi dan juga elit politik masih terjebak pada "demokrasi prosedural", bukan "demokrasi substansial". Implikasinya, sistem demokrasi menjadi panggung bagi calon pemimpin yang kualitasnya pas-pasan. Sementara para elitenya hanya memburu calon pemimpin yang memiliki relasi kuasa dan elektabilitas politik. Di sanalah titik perjumpaan calon pemimpin semacam itu dengan hasrat elite politik.
Padahal bangsa Indonesia tidak kehabisan stok orang-orang intelektual dan berpengalaman di birokrasi. Tersebar hampir dalam berbagai instansi. Termasuk instansi politik. Pendidikan menjadi amanat konstitusi. Banyak institusi pendidikan yang bermunculan untuk mendukung dan mewujudkan amanat konstitusi. Sehingga, lahir dan berkembang orang-orang Indonesia dengan tingkat pendidikan yang jelas sampai level doktoral dan mendapat penganugerahan Guru Besar/Profesor. Namun, Sumberdaya Manusia (SDM) Indonesia yang begitu dahsyat nampaknya tidak begitu penting bagi partai politik untuk diusung menjadi calon pemimpin bangsa.
Wajar kemudian jika bermunculan calon pemimpin dalam panggung demokrasi dengan standar kualitasnya terbilang pas-pasan. Tidka perduli apa dan bagaimana wawasan intelektual, wawasan literasi (poltik dan kepemimpinan) dan pengalaman politik. Intinya, kalau-kalau calon pemimpin demikan punya "elektabiltas politik" yang "dimainkan" oleh lembaga survei lalu kemudian didukung dengan relais kuasa dan privilese orangtuanya, maka punya peluang untuk maju sebagai calon pemimpin. Wajar pula jika hal demikian pada akhirnya membuat sistem nilai dalam berbangsa pun ikut rusak karena terjadi blunder dan offside melalui tangan-tangan kekuasaan.
Dengan fenomena dan paradoks semacam itu, mau tidak mau berimplikasi pada marwah panggung demokrasi. Ya. Panggung demokrasi untuk memilih calon pemimpin yang memiliki wawasan intelektual, wawasan literasi, gagasan dan narasi, pengalaman kepemimpinan politik dan rekam jejak, malah berubah menjadi panggung joget-jogetan. Di sana bukan gagasan dan narasi politik yang ditonjolkan sebagai bahan edukasi dan pencerahan politik melainkan berbagai gimik politik yang tidak begitu penting dikarenakan tidak mengandung pesan politik kecuali ditafsirkan dengan berbagai retorika dan logika untuk memanipulasi psikologi publik.
Makanya, banyak rumor mengandaikan bahwa sistem demokrasi semacam itu masih jauh lebih baik sistem demokrasi yang berlangsung dalam sebuah lembaga dan organisasi. Meskipun, di sana terdapat banyak dinamika, namun syarat menjadi calon pemimpin lembaga dan organisasi begitu ketat. Tidak ada ceritanya calon pemimpin lembaga dan organisasi mahasiswa adalah lulusan SMA dan/atau kuliah tanpa ada kejelasan status, prospek dan progres kuliahnya. Pun tidak ada ceritanya calon pemimpin lembaga dan organisasi mahasiswa adalah orang yang miskin wawasan literasi, tidak punya wawasan intelektual, gagasan dan narasi.
Lebih-lebih lagi bila dikaitkan dengan sistem demokrasi yang berlaku dalam dunia kampus, terkait dengan pemilihan Rektor. Lagi-lagi, di sana tidak ada ceritanya calon Rektor adalah lulusan SMA/sederajat dan/atau kuliah dengan status yang tidak jelas. Sudah bareng tentu calon rektornya adalah orang yang memiliki wawasan literasi, wawasan intelektual, gagasan dan narasi, pengalaman dan selalu tampil dalam berbagai ruang-ruang dialog dan sharing gagasan, plus bukan calon yang plonga-plongo. Lebih dari itu, calon Rektor adalah orang tunduk pada konstitusi kampus. Tidak menggunakan tangan-tangan kekuasaan untuk mengotak-atik konstitusi hanya untuk menjadi Rektor.
Tentunya, kita perlu bertanya, kenapa sistem demokrasi yang diterapkan berbeda-beda, khususnya dalam kaitannya dengan syarat dan kriteria calon pemimpinnya? Di sinilah perlu ada evaluasi dan perubahan dalam sistem demokrasi. Bila syarat minimal menjadi Rektor saja harus menyandang gelar akademik setingkat doktor, maka syarat pemimpin bangsa harus juga mengikuti logika demikian. Tidak perlu menggunakan logika bahwa itu berarti membatasi hak konstitusional masyarakat untuk menjadi pemimpin. Sebab, konstitusi Indonesia juga sudah memberikan batasan hak demokrasi masyarakat dengan syarat tertentu sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Misalnya, syarat batas usia minimal dan maksimal menjadi pemimpin. Di situ syarat minimalnya 35 tahun dan syarat maksimalnya 70 tahun. Pertanyaan kemudian adalah apakah syarat usia pemimpin semacam itu bukan sebuah pembatasan hak demokrasi masyarakat? Tentunya, itu adalah pembatasan. Msyarakat yang berusia di bawah 35 tahun dan di atas 70 tahun tidak dibolehkan untuk maju menjadi calon pemimpin. Begitu pula dengan syarat batas minimal pendidikan SMA/sederajat. Di situ juga secara tidak membatasi hak demokrasi masyarakat yang hanya sampai tingkat SD/sederajat dan SMP/sederajat bahkan yang tidak sekolah.
Artinya, standar terkait dengan syarat minimal pendidikan bagi calon pemimpin bisa untuk dipertimbangkan dengan memperhatikan peristiwa dan fenomena politik yang terjadi belakangan ini. Tujuannya sederhana, yakni agar marwah panggung demokrasi jauh dari calon pemimpin yang kualitas pas-pasan serta tontonan yang tidak sehat di dalamnya, mulai dari takut berbicara, takut berdialog dan sharing gagasan hingga pada seringnya melakukan kesalahan ketika menjelaskan sebuah persoalan terkait dengan tugas-tugas kepemimpinan. Lebih dari itu, tujuan adalah menghadirkan sistem demokrasi yang jauh lebih intelek, elite dan bergengsi.
Pada konteks itulah tantangan baru bagi partai politik, pemerintah dan legislator untuk meng-upp dan menjaga marwah panggung demokrasi. Bagi partai politik harus lebih intens, kontinyu dan serius lagi melakukan kerja-kerja politik pengkaderan untuk menyiapkan calon pemimpin. Bukan saja dari aspek pengetahuan dan pengalaman, tetap juga standar pendidikan formalnya. Sementara bagi masyarakat yang memiliki hasrat untuk menjadi calon pemimpin, maka perlu pula menyiapkan diri dengan berbagai bekal kepemimpinan. Selain pengetahuan dan pengalaman, tentunya dibutuhkan juga tingkat dan kejelasan jenjang pendidikan.
Begitu pula halnya dengan pemerintah dan legislator, dengan otority (wewenang) kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi, bisa melakukan rekayasa peradaban demokrasi (engineering democratic civilization) melalui membuat dan mengusulkan rancangan peraturan perundang-undangan tentang syarat pemimpin bangsa yang ideal. Sehingga, masyarakat Indonesia dan juga partai politik memiliki guidance yang jelas secara konstitusional untuk menyiapkan generasi bangsa yang akan diusung dan didukung menjadi calon pemimpin. Dengan demikian, calon pemimpin yang akan maju dalam setiap kontestasi benar-benar berkualitas.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H