Genealogi dan fenomena "asam sulfat" tersebut pada akhirnya harus dikatakan sangat paradoks dengan sistem demokrasi pada umumnya. Dalam genealogi historicalnya, sistem demokrasi lahir dan dikembangkan oleh kalangan intelektual dan elitis untuk mensukseskan kepemimpinan publik melalui sebuah mekanisme pemilihan. Di mana masyarakat sebagai pemilik saham terbesar di dalamnya, karena kepemimpinan publik dalam sistem demokrasi ditentukan oleh masyarakat melalui sebuah mekanisme pemilihan. Sehingga, terdapat sebuah rumusan teoretis tentang demokrasi sebagai vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan).
Pada konteks itu, semua masyarakat (yang punya hak untuk memilih sebagaimana diatur oleh konstitusi) memiliki kedudukan yang sama. Siapa dan bagaimana atribut masyarakatnya, sama-sama sebagai pemilih dan suaranya cukup menentukan dalam demokrasi, hatta setiap masyarakat hanya memiliki satu suara. Sehingga, masyarakat yang sekolah maupun tidak sekolah dan punya pekerjaan maupun tidak memiliki kedudukan yang sama sebagai pemilih. Di sini keterlibatan masyarakat sebagai pemilih dibatasi. Masyarakat yang boleh memilih adalah masyarakat yang telah memenuhi syarat minimal usia sekitar 17 tahun (UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 348-350).
Meskipun demikian, tidak semua masyarakat yang memiliki hak memilih juga bisa maju berlaga menjadi calon pemimpin pada tingkat dan level tertentu. Sebab, di sana masih cukup banyak syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi oleh masyarakat untuk bisa meng-upp statusnya sebagai pemilih menjadi calon pemimpin yang siap untuk dipilih. Misalnya, syarat untuk menjadi calon pemimpin bangsa. Sebut saja Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) pasca putusan Mahkamah Konstitusi jo. UU No. 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU No. 19 Tahun 2023.
Artinya, di sana ada syarat yang mesti untuk dipenuhi oleh seorang calon pemimpin. Mungkin untuk pemilih tidak apa-apa manakala syaratnya hanya batas usia minimal menjadi pemilih dalam setiap kontestasi politik. Meskipun, banyak gerakan politik yang berupaya untuk menyertakan syarat bagi pemilih tersebut dengan syarat-syarat lainnya. Misalnya, menjadi pemilih cerdas dan kritis, bukan pemilih emosional dan transaksional. Namun, syarat menjadi seorang pemimpin tidak cukup hanya dengan batas usia minimal dan maksimalnya. Sebab, horizon tanggung jawab seorang pemimpin (sangat) jauh berbeda dengan tanggung jawab seorang pemilih.
Mengacu pada aturan yang disebutkan di atas (terlepas dari berbagai kontroversi, polemik dan diskursus tentangnya), syarat menjadi seorang pemimpin bangsa diatur sedemikian rupa. Bila dikategorikan, syarat demikian terdiri dari beberapa kategori, yaitu: 1) kategori keimanan dan ketakwaan; 2) kategori status kewarganegaraan; 3) kategori komitmen moral kebangsaan; 4) kategori kesehatan rohani dan jasmani; 5) kategori hukum; 6) kategori administratif; 7) kategori usia minimal dan maksimal; 8) kategori pengalaman kepimpinan minimal; 9) kategori standar minimal pendidikan; 10) kategori bebas dari organisasi terlarang; dan 11) kategori visi dan misi.
Nampaknya, kategorisasi syarat Capres-Cawapres demikian terbilang biasa-biasa saja. Dengan kata lain, meskipun kategori syarat menjadi Capres-Cawapres terbilang lebih banyak dari syarat menjadi pemilih (memang harusnya demikian halnya), namun kategori syarat tersebut terbilang tidak terlalu ketat dan menggambarkan sebuah peradaban bangsanya. Dengan syarat-syarat demikian banyak masyarakat berpeluang untuk maju menjadi calon pemimpin, hatta tingkat pendidikannya hanya sampai SMA dan sederajat dan syarat-syarat lainnya hanya formalitas semata. Apalagi kalau masyarakat yang memiliki relasi kuasa dan privilese orangtuanya.
Di situlah wajah paradoks demokrasi itu. Pada satu sisi menginginkan agar supaya sistem demokrasi agak lebih intelek dan elit serta dapat menjadi ruang selektif untuk menghadirkan pemimpin bangsa yang berkualitas, namun pada sisi lain malah tercipta "akal politik kolektif" yang bernama "koalisi partai politik" untuk mengusung calon pemimpin tanpa memperhatikan kualitasnya. Pun begitu halnya dengan para elit politik yang selalu mengikhtiarkan tentang pentingnya menjadi pemilih cerdas dan kritis dalam pesta demokrasi, namun pada sisi lain para elit politik malah (kelihatan) tidak begitu cerdas dan kritis dalam mengusung calon pemimpin.
Raibnya Marwah Panggung Demokrasi
Sistem demokrasi dan elit politik nampaknya masih mementingkan elektabilitas politik semata tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan aspek intelektualitas dan etikabilitas plus pengalaman kepemimpinan politik seorang calon pemimpin. Â Makanya, sistem demokrasi dan juga elit politik masih terjebak pada "demokrasi prosedural", bukan "demokrasi substansial". Implikasinya, sistem demokrasi menjadi panggung bagi calon pemimpin yang kualitasnya pas-pasan. Sementara para elitenya hanya memburu calon pemimpin yang memiliki relasi kuasa dan elektabilitas politik. Di sanalah titik perjumpaan calon pemimpin semacam itu dengan hasrat elite politik.
Padahal bangsa Indonesia tidak kehabisan stok orang-orang intelektual dan berpengalaman di birokrasi. Tersebar hampir dalam berbagai instansi. Termasuk instansi politik. Pendidikan menjadi amanat konstitusi. Banyak institusi pendidikan yang bermunculan untuk mendukung dan mewujudkan amanat konstitusi. Sehingga, lahir dan berkembang orang-orang Indonesia dengan tingkat pendidikan yang jelas sampai level doktoral dan mendapat penganugerahan Guru Besar/Profesor. Namun, Sumberdaya Manusia (SDM) Indonesia yang begitu dahsyat nampaknya tidak begitu penting bagi partai politik untuk diusung menjadi calon pemimpin bangsa.
Wajar kemudian jika bermunculan calon pemimpin dalam panggung demokrasi dengan standar kualitasnya terbilang pas-pasan. Tidka perduli apa dan bagaimana wawasan intelektual, wawasan literasi (poltik dan kepemimpinan) dan pengalaman politik. Intinya, kalau-kalau calon pemimpin demikan punya "elektabiltas politik" yang "dimainkan" oleh lembaga survei lalu kemudian didukung dengan relais kuasa dan privilese orangtuanya, maka punya peluang untuk maju sebagai calon pemimpin. Wajar pula jika hal demikian pada akhirnya membuat sistem nilai dalam berbangsa pun ikut rusak karena terjadi blunder dan offside melalui tangan-tangan kekuasaan.