Dengan fenomena dan paradoks semacam itu, mau tidak mau berimplikasi pada marwah panggung demokrasi. Ya. Panggung demokrasi untuk memilih calon pemimpin yang memiliki wawasan intelektual, wawasan literasi, gagasan dan narasi, pengalaman kepemimpinan politik dan rekam jejak, malah berubah menjadi panggung joget-jogetan. Di sana bukan gagasan dan narasi politik yang ditonjolkan sebagai bahan edukasi dan pencerahan politik melainkan berbagai gimik politik yang tidak begitu penting dikarenakan tidak mengandung pesan politik kecuali ditafsirkan dengan berbagai retorika dan logika untuk memanipulasi psikologi publik.
Makanya, banyak rumor mengandaikan bahwa sistem demokrasi semacam itu masih jauh lebih baik sistem demokrasi yang berlangsung dalam sebuah lembaga dan organisasi. Meskipun, di sana terdapat banyak dinamika, namun syarat menjadi calon pemimpin lembaga dan organisasi begitu ketat. Tidak ada ceritanya calon pemimpin lembaga dan organisasi mahasiswa adalah lulusan SMA dan/atau kuliah tanpa ada kejelasan status, prospek dan progres kuliahnya. Pun tidak ada ceritanya calon pemimpin lembaga dan organisasi mahasiswa adalah orang yang miskin wawasan literasi, tidak punya wawasan intelektual, gagasan dan narasi.
Lebih-lebih lagi bila dikaitkan dengan sistem demokrasi yang berlaku dalam dunia kampus, terkait dengan pemilihan Rektor. Lagi-lagi, di sana tidak ada ceritanya calon Rektor adalah lulusan SMA/sederajat dan/atau kuliah dengan status yang tidak jelas. Sudah bareng tentu calon rektornya adalah orang yang memiliki wawasan literasi, wawasan intelektual, gagasan dan narasi, pengalaman dan selalu tampil dalam berbagai ruang-ruang dialog dan sharing gagasan, plus bukan calon yang plonga-plongo. Lebih dari itu, calon Rektor adalah orang tunduk pada konstitusi kampus. Tidak menggunakan tangan-tangan kekuasaan untuk mengotak-atik konstitusi hanya untuk menjadi Rektor.
Tentunya, kita perlu bertanya, kenapa sistem demokrasi yang diterapkan berbeda-beda, khususnya dalam kaitannya dengan syarat dan kriteria calon pemimpinnya? Di sinilah perlu ada evaluasi dan perubahan dalam sistem demokrasi. Bila syarat minimal menjadi Rektor saja harus menyandang gelar akademik setingkat doktor, maka syarat pemimpin bangsa harus juga mengikuti logika demikian. Tidak perlu menggunakan logika bahwa itu berarti membatasi hak konstitusional masyarakat untuk menjadi pemimpin. Sebab, konstitusi Indonesia juga sudah memberikan batasan hak demokrasi masyarakat dengan syarat tertentu sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Misalnya, syarat batas usia minimal dan maksimal menjadi pemimpin. Di situ syarat minimalnya 35 tahun dan syarat maksimalnya 70 tahun. Pertanyaan kemudian adalah apakah syarat usia pemimpin semacam itu bukan sebuah pembatasan hak demokrasi masyarakat? Tentunya, itu adalah pembatasan. Msyarakat yang berusia di bawah 35 tahun dan di atas 70 tahun tidak dibolehkan untuk maju menjadi calon pemimpin. Begitu pula dengan syarat batas minimal pendidikan SMA/sederajat. Di situ juga secara tidak membatasi hak demokrasi masyarakat yang hanya sampai tingkat SD/sederajat dan SMP/sederajat bahkan yang tidak sekolah.
Artinya, standar terkait dengan syarat minimal pendidikan bagi calon pemimpin bisa untuk dipertimbangkan dengan memperhatikan peristiwa dan fenomena politik yang terjadi belakangan ini. Tujuannya sederhana, yakni agar marwah panggung demokrasi jauh dari calon pemimpin yang kualitas pas-pasan serta tontonan yang tidak sehat di dalamnya, mulai dari takut berbicara, takut berdialog dan sharing gagasan hingga pada seringnya melakukan kesalahan ketika menjelaskan sebuah persoalan terkait dengan tugas-tugas kepemimpinan. Lebih dari itu, tujuan adalah menghadirkan sistem demokrasi yang jauh lebih intelek, elite dan bergengsi.
Pada konteks itulah tantangan baru bagi partai politik, pemerintah dan legislator untuk meng-upp dan menjaga marwah panggung demokrasi. Bagi partai politik harus lebih intens, kontinyu dan serius lagi melakukan kerja-kerja politik pengkaderan untuk menyiapkan calon pemimpin. Bukan saja dari aspek pengetahuan dan pengalaman, tetap juga standar pendidikan formalnya. Sementara bagi masyarakat yang memiliki hasrat untuk menjadi calon pemimpin, maka perlu pula menyiapkan diri dengan berbagai bekal kepemimpinan. Selain pengetahuan dan pengalaman, tentunya dibutuhkan juga tingkat dan kejelasan jenjang pendidikan.
Begitu pula halnya dengan pemerintah dan legislator, dengan otority (wewenang) kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi, bisa melakukan rekayasa peradaban demokrasi (engineering democratic civilization) melalui membuat dan mengusulkan rancangan peraturan perundang-undangan tentang syarat pemimpin bangsa yang ideal. Sehingga, masyarakat Indonesia dan juga partai politik memiliki guidance yang jelas secara konstitusional untuk menyiapkan generasi bangsa yang akan diusung dan didukung menjadi calon pemimpin. Dengan demikian, calon pemimpin yang akan maju dalam setiap kontestasi benar-benar berkualitas.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H