Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Asam Sulfat dan Raibnya Marwah Panggung Demokrasi Kita

9 Desember 2023   14:49 Diperbarui: 9 Desember 2023   14:52 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Problemnya adalah ketika setiap orang tidak menyadari dan mereposisi dirinya dalam kehidupannya. Misalnya, seseorang yang miskin literasi, tidak punya konsep dan gagasan plus tidak punya pengalaman kepemimpinan yang matang dan layak memaksakan diri dan atau dipaksakan untuk menjadi calon pemimpin lalu seenaknya berbicara tentang hajat banyak orang (seolah-olah publik semuanya seperti dirinya). Di sini bukan semata soal melakukan kekhilafan dan keberanian untuk meminta maaf secara terbuka. Akan tetapi, soal kenekatan dan kemasabodohan mengambil bagian urusan banyak orang tanpa menyadari apa dan bagaimana eksistensi dirinya.

Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, genealogi peristiwa politik yang bernama "asam sulfat" menandakan sebuah fenomena politik tentang kurang dan miskinnya literasi politik bagi calon pemimpin bangsa. Selain itu, genealogi "asam sulfat" juga menandakan bahwa tidak semua orang yang maju menjadi calon dalam suksesi kepemimpinan publik memiliki kualitas dan kriteria yang dapat diandalkan. Apalagi kalau-kalau sistem demokrasi juga semacam memberikan ruang terbuka bagi semua orang yang dipandang "layak" untuk diusung, didukung dan diperjuangkan, meskipun banyak terdapat problem dan kekurangan di dalamnya.

Cukup ironis manakala mereka-mereka yang begitu berhasrat untuk menjadi pemimpin bangsa malah tidak memiliki kesadaran, tradisi dan wawasan literasi yang luas dan teruji. Juga kalangan elit politik yang terbilang tidak begitu jujur dan berani untuk mengambil sikap di dalamnya. Padahal menjadi pemimpin bangsa memiliki segmentasi tanggungjawab yang terbilang banyak dan besar. Di sana bukan beberapa orang dan kelompok yang di pimpin dan juga bukan tanpa tantangan di dalamnya. Sehingga, selain dibutuhkan pengalaman birokrasi (itupun kalau prosesnya normal) dan kecakapan lainnya, juga dibutuhkan juga kesadaran, tradisi dan wawasan literasi.

Makanya, tidak boleh menganggap remeh soal wawasan literasi bagi seorang pemimpin bangsa. Karena, menjadi pemimpin membutuhkan pengetahuan dan seni khusus. Hal demikian hanya dapat diperoleh di antaranya dengan wawasan literasi yang dilakoni dan digeluti. Pemimpin bangsa yang miskin literasi niscaya memiliki pengetahuan, pandangan dan wawasan yang sempit. Hal demikian antara lain mungkin menjadi penyebab kenapa banyak pemimpin miskin literasi cenderung melahirkan kebijakan yang tidak pro rakyat, tidak pro demokrasi dan tidak pro HAM. Termasuk menabrak berbagai aturan demi mengoalkan dan melanggengkan hasrat kekuasaan politik

Sebaliknya, pemimpin yang melek dengan literasi hingga memiliki wawasan dan reputasi khusus dalam bidang literasi akan memiliki kekayaan dan keluasan wawasan dalam memimpin. Hal demikian sudah bareng tentu akan berimplikasi pada cara pandang dan juga kebijakan-kebijakannya. Di mana tipologi pemimpin semacam ini akan melakukan kajian secara mendalam teliti, cermat dan cepat dengan menggunakan berbagai approach, sehingga produk kebijakan yang dilahirkan benar-benar bisa menghadirkan solusi bagi masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga, kebijakan-kebijakan politiknya merupakan refleksi dari wawasan literasi politik dan kepemimpinan.

Meskipun, tidak dinafikan bahwa ada juga pemimpin yang miskin literasi memiliki track record politik yang bagus ketika menjalankan roda kepemimpinannya. Bisa saja karena pengaruh positif dari orang-orang di sekitarnya. Pun ada juga fakta yang menunjukkan bahwa kadang kecerdasan seorang pemimpin pun sangat rentan digunakan untuk melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Di situ ada titik perjumpaan dengan karakter dan pandangan politik yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Termasuk pengaruh-pengaruh dibalik layar dan lainnya. Intinya, wawasan literasi sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin untuk melakukan kerja-kerja kepemimpinannya.

Coba bayangkan, bila fenomena "asam sulfat" itu berlanjut menjadi sebuah pandangan dan kebijakan politik, sangat boleh jadi akan terjadi banyak problem dalam tubuh kebangsaan kita. Sangat boleh jadi problem yang terjadi nyaris sama dengan "asam sulfat" itu, yakni "mematikan" kesehatan manusia. Artinya, bila hal demikian berlanjut menjadi pandangan dan kebijakan politik niscaya akan melahirkan gelombang "kematian" bagi sistem demokrasi bahkan bagi masyarakat, bangsa dan negara sekaligus yang ditandai dengan berbagai kebijakan yang dilahirkan berupa kebijakan yang anti demokrasi dan supremasi hukum, anti HAM, tidak pro kepentingan rakyat, pro Asing dan seterusnya.

Apalagi sudah ada lembaga survei yang melansir hasil survei terkait dengan kualitas intelektual (intellectual qualities), bahwa calon pemimpin tersebut memiliki kualitas intelektual lebih unggul dibandingkan dengan calon pemimpin lainnya. Sehingga, sangat boleh jadi hasil survei semacam ini bisa kemudian dijadikan sebagai "stempel basah" bagi para fans boy dan fanatikusnya untuk membenarkan dan membela mati-matian setiap sabda dan kebijakan politiknya. Dikhawatirkan pula emak-emak yang kurang literasi dan terlampaui percaya dengan survei semacam itu menerima begitu saja sabda politik terkait dengan fungsi "asam sulfat" bagi fenomena stunting.

Pada konteks itu, mereka-mereka yang memiliki hasrat yang begitu membabi-buta untuk menjadi pemimpin bangsa hingga menabrak aturan dan logika publik harusnya menjadi pemimpin bagi dirinya terlebih dahulu sebelum mengambil kepemimpinan publik dengan mengurus hajat banyak orang itu. Wujud menjadi pemimpin untuk diri sendiri di antaranya adalah memimpin diri untuk belajar dengan baik hingga memiliki wawasan dan reputasi literasi plus kekayaan pengalaman. Sehingga, ketika tampil dalam panggung demokrasi, baik karena keniscayaan maupun keterpaksaan, setidak-tidaknya memiliki bekal kepemimpinan dari segi pengalaman dan wawasan literasi.

Seperti pepatah yang mengatakan bahwa "tampil tanpa persiapan, turun tanpa penghormatan." Artinya, melakukan sesuatu tanpa persiapan yang matang akan berdampak pada hasilnya. Bahkan sebelum turun tanpa penghormatan, calon pemimpin semacam itu bisa saja duluan babak-belur oleh berbagai kesalahan dan "pelanggaran", sehingga merusak tata nilai yang ada, selain dirinya dan keluarganya. Mungkin hal demikian di antara konsekuensi dan sanksi yang dipercepat bagi mereka-mereka yang ingin tampil menjadi pemimpin tanpa melalui sebuah persiapan yang matang; mereka tampil hanya karena relasi kuasa dan privilese orangtua.

Paradoks (dengan) Wajah Demokrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun