Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Potret Kemilau Wajah Perempuan Lamakera: Melihat Sisi Lain Dari Perempuan Lamakera Dalam Bekerja

3 Desember 2023   12:35 Diperbarui: 3 Desember 2023   13:02 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua; prinsip tanggung jawab. Prinsip ini mengandaikan bahwa keterlibatan perempuan Lamakera dalam bekerja adalah panggilan rasa tanggung jawabnya sebagai seorang anak, istri maupun ibu. Bahwa perempuan memiliki tanggungjawab (juga) untuk mengambil bagian dalam bekerja. Entah kondisi ekonomi rumah dalam keadaan stabil maupun tidak, perempuan punya tanggung jawab (juga) di dalamnya. Tentunya prinsip ini berbeda jauh dengan prinsip yang terpahami dalam teks bahasa agama pada umumnya bahwa tanggung jawab nafkah berada pada seorang suami/ayah dan anak laki-laki.

Namun, perlu diungkapkan bahwa prinsip tersebut merupakan fakta sosiologis dalam struktur kehidupan masyarakat Lamakera. Di mana masyarakat Lamakera menerima begitu saja keterlibatan perempuan dalam bekerja. Selain itu, dalam menjalankan profesi tersebut perempuan Lamakera pada umumnya juga menjalankan tugas-tugasnya lainnya secara seimbang. Sehingga, jarang ditemukan adanya problem mendasar dalam rumah tangga masyarakat Lamakera pada umumnya ketika seorang perempuan mengambil bagian untuk bekerja mencari nafkah.

Ketiga; prinsip kesukarelaan dan keikhlasan. Prinsip ini secara sepintas lalu terlihat agak abstrak oleh sebab terkait erat dengan hati setiap orang. Karena, kesukarelaan dan keikhlasan pada sesungguhnya merupakan wilayah hati. Meskipun, sangat boleh jadi hal demikian diekspresikan dalam bentuk kata-kata dan perbuatan untuk meyakinkan prinsip kesukarelaan dan keikhlasan yang dibangun oleh seseorang dalam bekerja. Pada konteks itulah prinsip ini hendak dijelaskan, bahwa terlihat dalam sikap yang diberikan dalam menjalankan pekerjaannya, baik pra maupun pasca, tidak salah kemudian diandaikan demikian.

Artinya, sikap yang tampak dari perempuan Lamakera ketika menjalankan profesinya sebagai seorang papalele tidak sedikit pun terlihat adanya unsur keterpaksaan di sana. Di mana mereka menjalankan pekerjaannya dengan senang hati, riang gembira dan suka cita, meskipun di dalamnya terdapat banyak problem dan tantangan yang dihadapi. Selain itu, mereka-mereka tidak pernah mengeluh dan menyesal dengan pekerjaannya tersebut. Mereka tetap bekerja meskipun harus melawan berbagai kondisi, sakit, kedinginan, kepanasan, pikul barang berat, bermalam berhari-hari di tempat orang dan lain sebagainya.

Motif dan Tujuan Perempuan Lamakera Bekerja

Selain posisi dan peran strategis serta prinsip dasar yang menjiwai perempuan Lamakera dalam bekerja, tentunya aktivitas demikian juga dijalankan dengan motif dan tujuan tertentu di dalamnya. Jika prinsip berbicara tentang landasan moral dan filosofis bagi perempuan Lamakera dalam melakukan aktivitasnya sebagai seorang papalele, maka motif dan tujuan ini melihat lebih jauh apa (sih) sesungguhnya motif dan tujuan dibalik dari keterlibatan perempuan Lamakera dalam bekerja. Sehingga, selain alasan yang menjiwai perempuan Lamakera bekerja, perlu melihat motif dan tujuan dibaliknya.

Point demikian terbilang sangat penting, setidaknya sebagai "otokritik" bagi kita anak-anak mereka. Di mana pada kenyataannya terlihat sebuah sebuah fakta yang sangat miris dan menyayat rasionalitas dan sanubari. Perempuan Lamakera bekerja dengan begitu luar biasanya, namun mereka malah berpenampilan biasa-biasa saja, hatta ketika mereka tampil dalam event yang bergensi sekalipun. Misalnya, mereka menghadiri acara pernikahan, acara adat maupun acara wisuda anak-anaknya. Entah karena mereka tidak terbiasa dan tidak mau berpenampilan begitu atau bagaimana.

Mereka menggunakan pakaian yang lusuh (tua), bi'a (robek) di mana-mana bahkan masih terbilang compang-camping. Raa lipa (kain) maupun raa labu (baju) juga masih biasa-biasa saja. Padahal mereka memiliki pekerjaan dan penghasilan. Namun, mereka tidak mau menggunakan untuk "mempercantik" dirinya dan menghiasi dirinya dengan berbagai kemewahan, mulai dari emas, handphone, pakaian, alat kecantikan dan lainnya. Seolah-olah mereka ditakdirkan hanya untuk bekerja menghasilkan uang lalu kemudian "dinikmati" begitu saja oleh anak-anaknya atas nama studi dan lain sebagainya.

Bersamaan dengan itu, anak-anaknya malah memiliki penampilan luar biasa dahsyat, mulai dari pakaian, handphone hingga alat kecantikan. Bahkan banyak di antara anak-anaknya malah relah membohongi orangtuanya dengan berbagai dalih. Misalnya, tidak sekolah dengan baik. Meminta uang bukan untuk keperluan akademik, membayar SPP, uang transportasi, uang makan dan uang bukan, akan tetapi digunakan main game, membeli rokok dan lain sebagainya. Hingga pada akhirnya mereka pun gagal menyelesaikan studi, sementara orangtuanya sudah susah payah bekerja dan mengirim uang dalam setiap saat.

Tidak sampai di situ, ketika anak-anak selesai studi dan bekerja dengan pendapatan malah mereka seenaknya melupakan orangtua mereka. Apalagi mereka telah menikah, memiliki dunia dan kehidupan baru, orangtua seolah-olah sudah tidak ada lagi. Mereka lupa bahkan tidak mau menafkahi orangtuanya. Padahal orangtuanya dulu bekerja dengan luar bias untuk bisa menafkahi mereka. Meskipun tanggungan orangtua terbilang begitu banyak disertai banyak sekali tantangan yang dihadapi dalam bekerja. Mereka tidak perduli sakit, dingin, panas maupun kelaparan, yang penting mereka bisa menafkahi anak-anaknya.

Itulah mengapa orang bijak mengatakan bahwa orangtua bisa mengingat, menjaga dan menafkahi anak-anaknya dengan baik. Betapa pun banyak anak-anaknya dan anak-anaknya kadang durhaka. Mereka tidak akan lupa untuk mengingat, menjaga dan menafkahi anak-anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun