Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Potret Kemilau Wajah Perempuan Lamakera: Melihat Sisi Lain Dari Perempuan Lamakera Dalam Bekerja

3 Desember 2023   12:35 Diperbarui: 3 Desember 2023   13:02 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Azis Maloko

Beberapa hari belakangan ini banyak story Watshap dan juga Facebook ramai memposting sebuah video berdurasi pendek tentang "perempuan Lamakera" dengan berbagai macam coption (komentar) di dalamnya.

Dalam video itu terlihat para "perempuan Lamakera" lagi sementara merapikan bak (baskom) berisi ikan tunai yang begitu banyak sembari salah satu di antaranya tula tena (tolak perahu) dengan menggunakan talakka (bambu) yang lazim digunakan nelayan Lamakera pada umumnya ketika hendak mengontrol dan mengendalikan tena (perahu), kedde maupun be'la (besar).

Sebenarnya, peristiwa semacam itu bukan baru pertama kalinya terjadi di kampung Lamakera, akan tetapi sudah berulang-ulang kali dilakukan oleh perempuan Lamakera. Ada malahan kondisi lautnya lagi dilanda dengan ombak yang begitu besar. Mereka melawan ombak (ojok maupun manote) untuk bisa naik perahu sambil memikul barang-barang berat. Bahkan ada yang naik sampan lalu diterpa ombak dan tenggelam. Namun, mungkin saja peristiwa dan atraksi heroik semacam ini belum sempat terdokumentasi, sehingga tidak sempat terpublikasi dan menjadi konsumsi publik laiknya video tersebut.

Olehnya, video tersebut merupakan salah satu di antara banyak peristiwa dan atraksi heroik yang dilakukan oleh perempuan Lamakera. Mungkin saja video semacam itu direkam sedemikian rupa lalu diposting secara serempak, sehingga seketika video tersebut menjadi begitu viral dan booming di jagat permedsosan. Hal demikian terbilang wajar oleh sebab di tengah era digitalisasi semacam ini banyak hal seketika mengudara di dunia medsos dan menjadi konsumsi publik. Apalagi konten seperti yang ditunjukkan dalam video tersebut sudah bareng pasti akan cepat viral dan booming.

Memang, ketika melihat atraksi heroik yang ditunjukkan oleh perempuan Lamakera tersebut sontak melahirkan rasa kagum dengan sejuta apresiasi dan support. Namun, peristiwa dan atraksi semacam itu bagi masyarakat terbilang sesuatu yang biasa saja. Sebab, perempuan Lamakera juga cukup akrab dengan hal begituan. Mungkin sisi-sisi lain semacam itu belum sepenuhnya dipublikasi dan diketahui publik luar. Olehnya, perlu kiranya ada penjelasan terkait dengan sisi-sisi lain dimaksud untuk mengeksplorasi apa dan bagaimana perempuan Lamakera sebenarnya dalm bekerja.

Karakter Otentik Perempuan Lamakera

Atraksi heroik yang ditunjukkan oleh perempuan Lamakera demikian dikarenakan di sana perempuan Lamakera memiliki "karakter otentik" dalam menjalani aktivitas hidup dan kehidupannya, semenjak masih kecil hingga menganjak dewasa serta menikah dan menjadi seorang ibu.

Karakter otentik dimaksud adalah karakter yang dimiliki dan dilakukan perempuan Lamakera dalam kehidupannya, bukan karena ada unsur ingin gaya-gayaan, pamer dan mengharapkan pujian dan sanjungan dari dunia. Karakter demikian lahir dan berkembang secara natural dan adaptif dengan perkembangan zaman.

Tentunya, karakter otentik dimaksud dalam hal ini adalah karakter positif yang dimiliki oleh perempuan Lamakera dalam menjalani aktivitas hidupnya, baik sebagai seorang anak dan seorang istri maupun seorang ibu. Dengan kata lain, bukan karakter secara umum yang di dalamnya mencakup karakter negatif.

Meskipun, sangat disadari dan diakui bahwa perempuan juga memiliki "karakter negatif". Karena, setiap karakter manusia pasti ada plus dan minusnya. Apalagi perempuan juga manusia sebagaimana manusia pada umumnya, sehingga terbuka ruang kemungkinan ada sisi positif dan negatifnya juga.

Dalam pembacaan terbatas yang dilakukan terhadap realitas kehidupan perempuan Lamakera, baik sebagai bagian dari keluarga besar perempuan Lamakera (karena asli orang Lamakera) maupun sebagai peneliti misalnya, tampaknya terlihat jelas beberapa karakter positif yang dimiliki dan selalu dilakukan oleh perempuan Lamakera dalam melakoni aktivitas hidup pada umumnya.

Karakter ini sangat boleh jadi dimiliki pula orang perempuan-perempuan lainnya, tetapi memiliki perbedaan dari aspek muatannya. Karena, karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi psiko-sosial, budaya dan lainnya.

Pertama; perempuan Lamakera adalah perempuan kuat dan tangguh. Karakter ini sangat mudah terlihat dalam horizon kehidupan masyarakat Lamakera pada umumnya.

Semenjak kecil hingga dewasa maupun ketika menjadi istri dan ibu, perempuan Lamakera selalu tampil sebagai sosok yang kuat dan tangguh. Mereka tidak lemah dan cengeng laiknya kebanyakan perempuan kota dan bangsawan. Perempuan Lamakera ditempa dan dididik dengan sedemikian rupa oleh lingkungan geografis, sosiologis dan budaya plus agama untuk menjadi sosok yang kuat dan tangguh dalam melakoni aktivitas hidupnya.

Contoh sederhananya adalah perempuan yang masih kecil maupun sudah besar dibiasakan untuk memikul air menggunakan ember dan bak. Ember yang digunakan biasa disesuaikan dengan usia dan struktur fisiologis perempuan. Biasa anak kecil dan badan juga pas-pasan menggunakan ember dan bak kecil. Kadang juga menggunakan ember dan bak besar.

Aktivitas semacam ini dilakukan secara rutin dengan menempuh jarak yang lumayan jauh, dari sumur ke rumah masing-masing. Bahkan kadang harus naik-turun bukit, karena banyak rumah di bagian bukit. Aktivitas ini juga biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki.

Contoh lainnya adalah perempuan Lamakera semenjak kecil dilatih kecakapan kewirausahaan dengan dilibatkan dalam berbagai pekerjaan yang dijalankan oleh orangtuanya. Ketika orangtuanya menjual kue, nasi kuning, gorengan dan lainnya, maka anak-anaknya akan dilibatkan sebagai penjual. Entah sistem penjualannya dengan duduk menjaga barang jualannya di tempat maupun keliling kampung Lamakera seperti lazimnya. Begitu pula ketika orangtuanya membeli ikan pari (ikka balla), maka mereka pun juga dilibatkan dan atau melibatkan diri di dalamnya dengan ikut serta mengerjakan ikan pari.

Aktivitas dan kebiasaan semacam itu terus berlanjut ketika mereka menganjak dewasa lalu kemudian menikah menjadi seorang istri dan ibu. Di sana sosok mereka sebagai perempuan yang kuat dan tangguh semakin nampak terlihat dengan adanya "tanggungjawab" dan "kewajiban" (baru) yang melekat pada mereka (tentunya terlepas dari polemik dan silang pendapat di kalangan Intelektual, cendikiawan dan ulama terkait dengan "tanggungjawab" dan "kewajiban" seorang perempuan sebagai istri dan ibu) maupun menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam membangun kehidupan mereka.

Kedua; perempuan Lamakera adalah perempuan yang peduli dan bertanggungjawab. Karakter ini tampak terlihat setidak-tidaknya ketika perempuan Lamakera menjadi seorang istri dan ibu. Bukan berarti sebelum menjadi istri dan ibu alias masih anak-anak dan belum menikah mereka tidak memiliki karakter kepedulian dan akuntabilitas.

Ketika menjadi seorang istri dan ibu, perempuan Lamakera akan menggerakkan segenap potensi dan daya upayanya untuk melakukan segala sesuatu (yang positif tentunya) dalam rangka menyokong dan mensupport kehidupannya bersama suami dan anak-anaknya.

Dalam rumah tangga, kepedulian dan tanggung perempuan Lamakera ini ditandai dengan adanya keterlibatan aktif mereka dalam mencari nafkah melalui du'u hope (jual-beli), baik di kampung Lamakera itu sendiri maupun di Waiwerang, Lewoleba bahkan ada sampai merantau ke Malaysia dan lainnya.

Perempuan Lamakera tidak ongkang-ongkang kaki begitu saja melihat kondisi kehidupan rumah tangganya. Mereka tidak mau suaminya saja yang mencari nafkah. Pun mereka tidak mau membiarkan anak-anak mereka tidak sekolah dan sulit makan minum karena kesulitan ekonomi rumah tangga.

Mungkin mencari nafkah di Lamakera dengan jualan kue, nasi kuning dan lainnya masih mendingan. Namun, mencari nafkah di Waiwerang dan Lewoleba membutuhkan effort, energi dan nyali khusus. Karena, di sana mereka harus naik-turun perahu. Dari Lamakera ke Waiwerang biasanya ojok dan manotti bella hamu (ombak dan gelombang laut besar dan kencang).

Begitu pula dari Waiwerang ke Lewoleba, bukan hanya ombak dan gelombang laut, tetapi juga kadang bermalam berhari-hari di sana. Mereka bergulat dengan kondisi alam di tempat mereka berjualan. Belum lagi memikul barang banyak dan berat.

Sementara dalam ranah sosial-budaya, kepedulian dan tanggung jawab perempuan Lamakera menyata dalam keterlibatannya membantu dan menolong sesama kakan noo arin (keluarga) yang berada pada kampung Lamakera maupun lainnya.

Misalnya, ketika ada pesta yang diadakan oleh kakan noo arin pada salah satu suku di kampung Lamakera, maka perempuan Lamakera akan hadir sebagai alap, ana bine dan opu wae untuk menyukseskan kegiatan tersebut. Di sana bukan saja waktu dan tenaga yang dipersembahkan oleh perempuan Lamakera, akan tetapi juga finansial sesuai kesepakatan dan kemampuan.

Kepedulian dan tanggung jawab dalam konteks ini bisa dilihat dalam banyak horizon dan segmentasi. Misalnya, ketika dalam pesta ditetapkan bahwa perempuan Lamakera, baik sebagai alap, ana bine dan opu wae, harus mengumpulkan uang sekian untuk menyukseskan pesta dimaksud, maka mereka hanya sami'na wa'atho'na (mendengar dan mengikuti saja). Ini bukan soal mereka punya kekayaan dan atau tidak, akan tetapi soal kepedulian, tanggungjawab dan kesetiakawanan serta semangat gotong royong yang sudah mengakar urat dalam spektrum kehidupan mereka sebagai masyarakat berbudaya.

Selain itu, perempuan Lamakera pun biasanya ikut terlibat dalam pengambilan kayu bakar dan air secara berjamaah. Pengambilan kayu bakar di tempat yang jauh, menggunakan perahu (sekarang sudah menggunakan mobil). Sementara pengambilan air dilakukan berkali-kali dengan menumpuh jarak yang lumayan jauh (sekarang sudah dibantu lewat air pipa). Kembali di tempat pesta mereka mengambil bagian dalam menyiapkan makan dan minum dengan menguasai arena perdapuran untuk memasak. Kadang juga mereka bermalam di tempat pesta (karena keluarga semua).

Ketiga; perempuan Lamakera adalah perempuan pekerja keras. Seperti disinggung sebelumnya di atas, karakter ini merupakan perwujudan dan kelanjutan dari dua karakter sebelumnya. Di antara indikator penting terkait dengan karakter ini adalah perempuan Lamakera mengambil peran dalam pekerjaan yang terbilang banyak. Mereka tidak hanya bekerja sebagai istri dan ibu rumah tangga, tetapi juga bekerja sebagai "pencari nafkah". Mereka bekerja di dalam (wilayah domestik) sekaligus di luar (wilayah publik). Mereka mengambil peran ganda, sebagai perempuan sekaligus sebagai "laki-laki".

Bayangkan, pekerjaan domestik bagi perempuan Lamakera pada sesungguhnya sudah terbilang (agak) berat pake banget. Di antara daftar pekerjaan domestik yang seringkali dilakukan perempuan Lamakera secara rutin adalah memasak, mengambil air, membersihkan dan merapikan rumah, mencuci pakaian, mengasuh dan merawat anak, mengurus anaknya pergi sekolah (jika masih kecil usia SD/sederajat maupun SMP/sederajat). Pekerjaan domestik semacam ini _dalam pengamatan sebagai orang asli Lamakera_ jarang sekali dilakukan oleh laki-laki, khususnya laki-laki yang bernama suami dan ayah.

Namun, rupa-rupanya hal demikian tidak diandaikan sebagai bagian dari manifestasi diskriminasi gender sebagaimana yang digaungkan dan disuarakan oleh mereka-mereka yang menamakan diri sebagai feminis(me) dan emansipatoris. Di mana dalam logika feminis(me) dan emansipatoris, beban ganda (double burden) yang diberikan dan dilakukan oleh salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya diandaikan sebagai bagian dari ketidakadilan gender (gender inequality). Sehingga, apa pun wujud dari double burden, maka itu diandaikan sebagai gender inequality.

Lebih dari itu, rupa-rupanya pula hal demikian tidak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak mengambil bagian dari bekerja di ranah publik berupa mencari nafkah dan seterusnya. Mereka tetap mengambil bagian dalam kerja-kerja publik tersebut. Bahkan bukan kerja-kerja publik hanya terkait dengan institusi keluarga semata, tetapi juga melingkupi kerja-kerja publik membantu dan menolong orang secara umumnya. Seperti yang disebutkan sebelumnya di atas, perempuan Lamakera begitu peka, peduli dan aktif dalam membantu, menolong dan menyukseskan kegiatan publik di Lamakera.

Lantas, kenapa perempuan Lamakera bisa seperti itu? Jawaban terkait dengan ini akan dijelaskan pada sub pembahasan prinsip dan alasan dasar bagi perempuan Lamakera bekerja dengan pekerjaan yang banyak dan berat itu. Namun, secara singkat dapat dikatakan bahwa hal demikian dapat dilakukan oleh perempuan Lamakera karena mereka melihat pekerjaan bukan sebagai "beban", akan tetapi sebagai bagian integral dari kepekaan, kepedulian, tanggungjawab, kemitraan dan kerelaan. Sehingga, mereka menerima dan menikmati setiap pekerjaan yang dilakoni dengan ikhlas tanpa keluh kesah.

Perlu ditekankan di sini bahwa logika demikian tidak bermaksud untuk membenarkan dan membiarkan pekerjaan semacam itu dilakukan oleh perempuan, meskipun pekerjaan semacam itu tidak ada salahnya juga, akan tetapi hanya sekedar mengungkapkan sisi lain dari perempuan Lamakera. Sebab, pekerjaan semacam itu jarang sekali ditemukan pada perempuan-perempuan kota dan bangsawan yang hidup di bawah bayang-bayang kemewahan dan kemanjaan. Sehingga, sisi semacam itu tampaknya sesuatu yang terbilang begitu unik dan menarik bagi sosok perempuan Lamakera.

Keempat; perempuan Lamakera adalah perempuan yang sabar dan pantang menyerah. Karakter ini boleh dikatakan sebagai unsur penting dari tiga karakter yang dikemukakan sebelumnya di atas. Perempuan Lamakera menjadi sosok perempuan yang kuat dan tangguh, punya kepedulian dan tanggungjawab serta sebagai pekerja keras dikarenakan dibaliknya terdapat lapisan realitas yang bernama karakter sabar dan pantang menyerah. Ya. Karena karakter sabar dan pantang menyerah, sehingga perempuan Lamakera tampil menjadi perempuan yang memiliki ketiga karakter tersebut.

Wujud karakter demikian dapat dilihat pada beberapa aspek penting yang melingkupi kehidupan perempuan Lamakera pada umumnya. Misalnya, sebagai istri perempuan Lamakera begitu sabar dan pantang menyerah menghadapi suami. Termasuk menghadapi dinamika kehidupan yang berkembang di dalamnya, baik dinamika terkait dengan ekonomi keluarga maupun lainnya. Sementara sebagai ibu, selain sabar dan pantang menyerah terhadap suami, perempuan Lamakera juga begitu sabar dan pantang menyerah dalam mengurus anak-anaknya. Meskipun, tidak dinafikan selalu ada selingan di dalamnya.

Wujud nyata dari gambaran demikian lebih lanjut dapat dilihat pada beberapa fakta lapangan di antaranya adalah hampir setiap rumah yang ada di Lamakera kini memiliki seorang Sarjana bahkan ada yang sampai Magister dan Doktor (semoga ada yang segera menjadi Guru Besar/Profesor). Tentunya, keberhasilan studi bagi anak-anak Lamakera pada umumnya tidak terlepas dari "tangan dingin" seorang perempuan Lamakera, khususnya mereka-mereka yang menyandang predikat sebagai seorang ibu (dalam rumah tangga). Dengan kondisi ekonomi yang serba pas-pasan, mereka mampu menyekolahkan anaknya.

Meskipun tidak dinafikan bahwa keberhasilan studi bagi anak-anak Lamakera merupakan hasil perpaduan kerjasama yang terjalin secara harmonis antara seorang ibu dan ayah. Di mana seorang ayah bekerja mencari nafkah untuk mensupport pendidikan anaknya. Selain mensupport dengan ketauladanan tentunya. Namun, seorang ibu memiliki saham yang begitu besar dalam kesuksesan studi anaknya. Sebab, selain berurusan langsung dengan anaknya, seorag ibu di Lamakera juga terlibat aktif dalam mencari nafkah untuk "menyempurnakan" kebutuhan rumah tangga, termasuk kebutuhan studi anaknya.

Selain itu, aspek kesabaran dan pantang menyerahnya perempuan Lamakera bisa dilihat pada tingkat perceraian. Hampir dapat dipastikan bahwa masyarakat Lamakera termasuk masyarakat yang jauh dari praktek dan fenomena perceraian hatta rumah tangganya terbilang carut-marut dikarenakan terjadi banyak "dinamika hukum" di dalamnya. Misalnya, terjadi krisis dan ketimpangan ekonomi, suami mabuk-mabukan, "kekerasan" terhadap istri, suami tidak bekerja dan hal ihwal lainnya tidak membuat perempuan Lamakera berpikir dan mengambil sikap untuk mengakhiri bangunan rumah tangganya.

Aspek demikian semakin tampak terlihat dengan adanya keterlibatan aktif perempuan dalam pekerjaan mencari nafkah. Di mana perempuan Lamakera mengambil bagian pekerjaan domestik sekaligus pekerjaan publik. Pada ruang domestik, perempuan Lamakera bekerja sebagai "ibu rumah tangga" dengan sederet pekerjaan yang disebutkan sebelum di atas. Sementara pada ruang publik, perempuan Lamakera mengambil peran sebagai papalele dengan melakukan kegiatan du'u hope (jual-beli) pada beberapa tempat, di Waiwerang, Lembata maupun merantau ke Malaysia dan lainnya.

Posisi dan Peran Perempuan Lamakera dalam Bekerja

Bila dicermati video tentang atraksi heroik yang ditunjukkan perempuan Lamakera tersebut dapat dipahami bahwa video tersebut terkait dengan sebuah profesi yang dilakoni perempuan-perempuan Lamakera selama ini, yakni profesi sebagai papalele. Setidaknya profesi ini menjadi lakon baru bagi perempuan Lamakera ketika masyarakat nelayan Lamakera mulai menggunakan pukat lempara. Sebelumnya dan maupun sekarang (meskipun sudah ada larangan dari pemerintah), masyarakat nelayan Lamakera menangkap ikka balla (ikan pari manta) dan sesekali juga menangkap kraru (ikan paus).

Ya. Video tersebut mendokumentasikan kegiatan yang lazimnya dilakukan oleh perempuan Lamakera ketika du'u hope ikan tongkol dan lainnya. Mereka mengambil ikan pada tena lempara (perahu lempara) yang berada di Lamakera untuk kemudian dijual di Waiwerang dan Lewoleba. Adakalanya ikan yang diambil diawetkan dengan sedemikian rupa lalu dengan es batu maupun garam lalu kemudian dijemur dan dijual kembali di Waiwerang maupun di Lewoleba. Pada video itu terlihat ikan yang hendak dijual di Waiwerang dengan menggunakan perahu kecil disertai atraksi heroik itu adalah ikan segar.

Dengan demikian, video tersebut terkait dengan profesi yang dilakoni oleh perempuan Lamakera. Untuk itu perlu kiranya mengetahui posisi dan peran (strategis) perempuan Lamakera dalam sebuah pekerjaan semacam itu maupun lainnya. Sehingga, tidak ada kesalahpahaman dalam membaca fakta sosiologis terkait dengan keterlibatan perempuan Lamakera dalam mencari nafkah, berupa du'u hope tersebut. Pekerjaan yang dilakoni tersebut adalah pekerjaan yang mulia, meskipun terbilang agak berat. Di dalamnya perempuan Lamakera memiliki posisi dan peran yang strategis.

Kurang lebih ada dua posisi dan peran strategis perempuan Lamakera dalam bekerja. Pertama; posisi dan peran sebagai mitra bagi ayah maupun suaminya. Posisi dan peran ini mengandaikan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai mitra dalam bekerja. Perempuan boleh bekerja laiknya laki-laki pada umumnya. Namun, perempuan memiliki pekerjaan berbeda dengan laki-laki. Setidaknya hal demikian untuk konteks Lamakera. Sebab, tidak mungkin perempuan Lamakera bekerja sebagai nelayan dengan pergi laut tombak ikan pari dan paus. Pun tidak mungkin perempuan pergi lempara.

Pada konteks itu, pekerjaan laki-laki di Lamakera ada yang tidak bisa dipertukarkan oleh perempuan. Begitu pula pekerjaan perempuan kadang juga tidak bisa diwakili oleh laki-laki. Misalnya, pekerjaan yang bersifat kodrati (mengandung, melahirkan dan menyusui). Namun, pada umumnya pekerjaan laki-laki sebagai pencari nafkah bisa juga dilakukan oleh perempuan Lamakera melalui pekerjaan yang bernama jual-beli. Malahan pekerjaan perempuan semacam ini terbilang lebih intens dan kontinyu bila dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki, khususnya melaut tombak ikan pari dan paus.

Intinya, posisi dan peran strategis perempuan Lamakera dalam konteks demikian adalah sama-sama terlibat aktif dalam bekerja sesuai dengan kompetensi dan kesempatan masing-masing. Posisi dan peran strategis demikian tidak hanya terjadi dalam "kondisi tidak normal". Misalnya, kondisi suaminya tidak punya pekerjaan alias pengangguran, kondisi suami punya pekerjaan tapi penghasilan pas-pasan maupun kondisi tatkala suami sakit parah dan meninggal. Akan tetapi, posisi dan peran demikian berlaku dalam semua kondisi, baik kondisi tidak normal maupun kondisi normal sekalipun.

Dengan demikian, posisi dan peran pertama ini mengandaikan bahwa perempuan Lamakera tidak hanya sebagai "ibu rumah tangga" yang kerjanya hanya berurusan dengan rumah saja. Atau meminjam istilah kaum feminis dan emansipatoris, perempuan Lamakera tidak hanya menjadi "perempuan domestik" yang hanya berurusan dengan hal ihwal domestik. Akan tetapi, perempuan Lamakera juga diberikan ruang oleh sistem nilai (value system), baik sistem nilai berbasiskan kebudayaan maupun paham keagamaan yang diyakini dan dianut, untuk ikut terlibat aktif dalam wilayah publik.

Kedua; posisi dan peran strategis perempuan Lamakera sebagai "pencari nafkah tunggal". Posisi dan peran ini terjadi manakala "pencari nafkah utama" dalam rumah tangga mengalami beberapa kondisi. Misalnya, kondisi suaminya tidak punya pekerjaan alias pengangguran, kondisi suami punya pekerjaan tapi penghasilan pas-pasan maupun kondisi tatkala suami sakit parah dan terakhir ketika suami meninggal. Kondisi-kondisi semacam ini mau tidak mau semacam mengharuskan seorang perempuan Lamakera tampil menjadi "pencari nafkah tunggal", bekerja sesuai kemampuannya.

Sebab, tidak mungkin dalam kondisi demikian, seorang istri/ibu diam dan sante-sante begitu saja dalam menyikapinya. Apalagi memang perempuan Lamakera pada umumnya terkenal aktif dalam bekerja. Ditambah anak-anaknya belum dapat diharapkan untuk mengambil peran suami/ayah dengan berbagai pertimbangan. Sehingga, mau tidak mau perempuan Lamakera mengambil tugas di dalamnya untuk bekerja laiknya seorang suami dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pekerjaan yang santer dilakukan perempuan Lamakera dalam kondisi demikian adalah du'u hope.

Dengan demikian, posisi dan peran perempuan Lamakera dalam konteks demikian adalah aktif, peka dan bertanggung jawab dengan kondisi kehidupan rumah tangga. Perempuan-perempuan Lamakera adalah perempuan yang selalu siap siaga dalam berbagai kondisi, baik kondisi normal maupun kondisi musyaqqah dan kondisi darurat sekalipun. Mereka tidak akan mungkin diam dan sante-sante saja dalam melihat dan menyikapi kondisi yang melingkupi hidup dan kehidupan mereka. Mereka akan tampil sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki untuk sebisa mungkin menjadi solusi.

Prinsip Dasar Perempuan Lamakera dalam Bekerja

Profesi dan aktivitas yang dilakukan perempuan Lamakera tersebut dibangun di atas beberapa prinsip penting. Prinsip ini merupakan hasil pembacaan terhadap kehidupan masyarakat Lamakera pada umumnya dan perempuan Lamakera secara khususnya. Karena, setiap orang dalam melakukan sesuatu pasti memiliki prinsip. Entah prinsip dimaksud dibahasakan secara langsung maupun tidak dibahasakan secara langsung. Namun, pada umumnya setiap aktivitas yang dilakukan pasti dibangun di atas prinsip-prinsip tersebut, hatta kegiatan yang instan dan prematur sekalipun.

Ada tiga prinsip dasar yang menjiwai perempuan Lamakera dalam bekerja. Pertama; prinsip kemitraan. Prinsip ini sudah disinggung pada sub pembahasan posisi dan fungsi strategis perempuan Lamakera dalam bekerja. Intinya sama, yakni perempuan Lamakera bekerja dibangun di atas prinsip kemitraan. Prinsip ini secara sederhana diterjemahkan sebagai kesadaran perempuan (begitu pula laki-laki) untuk sama-sama mengambil bagian dalam bekerja. Perempuan bekerja karena dirinya merupakan mitra bagi laki-laki dalam bekerja. Meskipun pekerjaan mencari nafkah bukan kewajibannya.

Kedua; prinsip tanggung jawab. Prinsip ini mengandaikan bahwa keterlibatan perempuan Lamakera dalam bekerja adalah panggilan rasa tanggung jawabnya sebagai seorang anak, istri maupun ibu. Bahwa perempuan memiliki tanggungjawab (juga) untuk mengambil bagian dalam bekerja. Entah kondisi ekonomi rumah dalam keadaan stabil maupun tidak, perempuan punya tanggung jawab (juga) di dalamnya. Tentunya prinsip ini berbeda jauh dengan prinsip yang terpahami dalam teks bahasa agama pada umumnya bahwa tanggung jawab nafkah berada pada seorang suami/ayah dan anak laki-laki.

Namun, perlu diungkapkan bahwa prinsip tersebut merupakan fakta sosiologis dalam struktur kehidupan masyarakat Lamakera. Di mana masyarakat Lamakera menerima begitu saja keterlibatan perempuan dalam bekerja. Selain itu, dalam menjalankan profesi tersebut perempuan Lamakera pada umumnya juga menjalankan tugas-tugasnya lainnya secara seimbang. Sehingga, jarang ditemukan adanya problem mendasar dalam rumah tangga masyarakat Lamakera pada umumnya ketika seorang perempuan mengambil bagian untuk bekerja mencari nafkah.

Ketiga; prinsip kesukarelaan dan keikhlasan. Prinsip ini secara sepintas lalu terlihat agak abstrak oleh sebab terkait erat dengan hati setiap orang. Karena, kesukarelaan dan keikhlasan pada sesungguhnya merupakan wilayah hati. Meskipun, sangat boleh jadi hal demikian diekspresikan dalam bentuk kata-kata dan perbuatan untuk meyakinkan prinsip kesukarelaan dan keikhlasan yang dibangun oleh seseorang dalam bekerja. Pada konteks itulah prinsip ini hendak dijelaskan, bahwa terlihat dalam sikap yang diberikan dalam menjalankan pekerjaannya, baik pra maupun pasca, tidak salah kemudian diandaikan demikian.

Artinya, sikap yang tampak dari perempuan Lamakera ketika menjalankan profesinya sebagai seorang papalele tidak sedikit pun terlihat adanya unsur keterpaksaan di sana. Di mana mereka menjalankan pekerjaannya dengan senang hati, riang gembira dan suka cita, meskipun di dalamnya terdapat banyak problem dan tantangan yang dihadapi. Selain itu, mereka-mereka tidak pernah mengeluh dan menyesal dengan pekerjaannya tersebut. Mereka tetap bekerja meskipun harus melawan berbagai kondisi, sakit, kedinginan, kepanasan, pikul barang berat, bermalam berhari-hari di tempat orang dan lain sebagainya.

Motif dan Tujuan Perempuan Lamakera Bekerja

Selain posisi dan peran strategis serta prinsip dasar yang menjiwai perempuan Lamakera dalam bekerja, tentunya aktivitas demikian juga dijalankan dengan motif dan tujuan tertentu di dalamnya. Jika prinsip berbicara tentang landasan moral dan filosofis bagi perempuan Lamakera dalam melakukan aktivitasnya sebagai seorang papalele, maka motif dan tujuan ini melihat lebih jauh apa (sih) sesungguhnya motif dan tujuan dibalik dari keterlibatan perempuan Lamakera dalam bekerja. Sehingga, selain alasan yang menjiwai perempuan Lamakera bekerja, perlu melihat motif dan tujuan dibaliknya.

Point demikian terbilang sangat penting, setidaknya sebagai "otokritik" bagi kita anak-anak mereka. Di mana pada kenyataannya terlihat sebuah sebuah fakta yang sangat miris dan menyayat rasionalitas dan sanubari. Perempuan Lamakera bekerja dengan begitu luar biasanya, namun mereka malah berpenampilan biasa-biasa saja, hatta ketika mereka tampil dalam event yang bergensi sekalipun. Misalnya, mereka menghadiri acara pernikahan, acara adat maupun acara wisuda anak-anaknya. Entah karena mereka tidak terbiasa dan tidak mau berpenampilan begitu atau bagaimana.

Mereka menggunakan pakaian yang lusuh (tua), bi'a (robek) di mana-mana bahkan masih terbilang compang-camping. Raa lipa (kain) maupun raa labu (baju) juga masih biasa-biasa saja. Padahal mereka memiliki pekerjaan dan penghasilan. Namun, mereka tidak mau menggunakan untuk "mempercantik" dirinya dan menghiasi dirinya dengan berbagai kemewahan, mulai dari emas, handphone, pakaian, alat kecantikan dan lainnya. Seolah-olah mereka ditakdirkan hanya untuk bekerja menghasilkan uang lalu kemudian "dinikmati" begitu saja oleh anak-anaknya atas nama studi dan lain sebagainya.

Bersamaan dengan itu, anak-anaknya malah memiliki penampilan luar biasa dahsyat, mulai dari pakaian, handphone hingga alat kecantikan. Bahkan banyak di antara anak-anaknya malah relah membohongi orangtuanya dengan berbagai dalih. Misalnya, tidak sekolah dengan baik. Meminta uang bukan untuk keperluan akademik, membayar SPP, uang transportasi, uang makan dan uang bukan, akan tetapi digunakan main game, membeli rokok dan lain sebagainya. Hingga pada akhirnya mereka pun gagal menyelesaikan studi, sementara orangtuanya sudah susah payah bekerja dan mengirim uang dalam setiap saat.

Tidak sampai di situ, ketika anak-anak selesai studi dan bekerja dengan pendapatan malah mereka seenaknya melupakan orangtua mereka. Apalagi mereka telah menikah, memiliki dunia dan kehidupan baru, orangtua seolah-olah sudah tidak ada lagi. Mereka lupa bahkan tidak mau menafkahi orangtuanya. Padahal orangtuanya dulu bekerja dengan luar bias untuk bisa menafkahi mereka. Meskipun tanggungan orangtua terbilang begitu banyak disertai banyak sekali tantangan yang dihadapi dalam bekerja. Mereka tidak perduli sakit, dingin, panas maupun kelaparan, yang penting mereka bisa menafkahi anak-anaknya.

Itulah mengapa orang bijak mengatakan bahwa orangtua bisa mengingat, menjaga dan menafkahi anak-anaknya dengan baik. Betapa pun banyak anak-anaknya dan anak-anaknya kadang durhaka. Mereka tidak akan lupa untuk mengingat, menjaga dan menafkahi anak-anaknya.

Namun, hal demikian itu belum tentu bisa dilakukan oleh anak-anaknya. Anak-anaknya banyak belum tentu bisa mengingat, menjaga dan menafkahi mereka yang hanya dua orang (ayah dan ibu) saja. Begitulah pengorbanan dan keikhlasan orangtua terhadap anak-anaknya. Wajar manakala jasa mereka tak terbalaskan, sampai kapan pun juga.

Itu pula yang terlihat dari motif dan tujuan asasi perempuan Lamakera bekerja. Mereka bekerja bukan untuk berfoya-foya, bergaya-gayaan dan bersolek-solekan dengan berbagai penampilan yang aduhai. Pun mereka bekerja bukan untuk memperkaya diri mereka sendiri.

Akan tetapi, mereka bekerja selain membantu rumah tangga dan membangun kemandirian ekonomi, juga dalam rangka untuk membantu anak-anaknya agar bisa makan minum, berpakaian yang layak, bertempat tinggal yang layak maupun dapat bersekolah dengan baik hingga jenjang pendidikan tertentu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun