Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Potret Kemilau Wajah Perempuan Lamakera: Melihat Sisi Lain Dari Perempuan Lamakera Dalam Bekerja

3 Desember 2023   12:35 Diperbarui: 3 Desember 2023   13:02 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan Lamakera tidak ongkang-ongkang kaki begitu saja melihat kondisi kehidupan rumah tangganya. Mereka tidak mau suaminya saja yang mencari nafkah. Pun mereka tidak mau membiarkan anak-anak mereka tidak sekolah dan sulit makan minum karena kesulitan ekonomi rumah tangga.

Mungkin mencari nafkah di Lamakera dengan jualan kue, nasi kuning dan lainnya masih mendingan. Namun, mencari nafkah di Waiwerang dan Lewoleba membutuhkan effort, energi dan nyali khusus. Karena, di sana mereka harus naik-turun perahu. Dari Lamakera ke Waiwerang biasanya ojok dan manotti bella hamu (ombak dan gelombang laut besar dan kencang).

Begitu pula dari Waiwerang ke Lewoleba, bukan hanya ombak dan gelombang laut, tetapi juga kadang bermalam berhari-hari di sana. Mereka bergulat dengan kondisi alam di tempat mereka berjualan. Belum lagi memikul barang banyak dan berat.

Sementara dalam ranah sosial-budaya, kepedulian dan tanggung jawab perempuan Lamakera menyata dalam keterlibatannya membantu dan menolong sesama kakan noo arin (keluarga) yang berada pada kampung Lamakera maupun lainnya.

Misalnya, ketika ada pesta yang diadakan oleh kakan noo arin pada salah satu suku di kampung Lamakera, maka perempuan Lamakera akan hadir sebagai alap, ana bine dan opu wae untuk menyukseskan kegiatan tersebut. Di sana bukan saja waktu dan tenaga yang dipersembahkan oleh perempuan Lamakera, akan tetapi juga finansial sesuai kesepakatan dan kemampuan.

Kepedulian dan tanggung jawab dalam konteks ini bisa dilihat dalam banyak horizon dan segmentasi. Misalnya, ketika dalam pesta ditetapkan bahwa perempuan Lamakera, baik sebagai alap, ana bine dan opu wae, harus mengumpulkan uang sekian untuk menyukseskan pesta dimaksud, maka mereka hanya sami'na wa'atho'na (mendengar dan mengikuti saja). Ini bukan soal mereka punya kekayaan dan atau tidak, akan tetapi soal kepedulian, tanggungjawab dan kesetiakawanan serta semangat gotong royong yang sudah mengakar urat dalam spektrum kehidupan mereka sebagai masyarakat berbudaya.

Selain itu, perempuan Lamakera pun biasanya ikut terlibat dalam pengambilan kayu bakar dan air secara berjamaah. Pengambilan kayu bakar di tempat yang jauh, menggunakan perahu (sekarang sudah menggunakan mobil). Sementara pengambilan air dilakukan berkali-kali dengan menumpuh jarak yang lumayan jauh (sekarang sudah dibantu lewat air pipa). Kembali di tempat pesta mereka mengambil bagian dalam menyiapkan makan dan minum dengan menguasai arena perdapuran untuk memasak. Kadang juga mereka bermalam di tempat pesta (karena keluarga semua).

Ketiga; perempuan Lamakera adalah perempuan pekerja keras. Seperti disinggung sebelumnya di atas, karakter ini merupakan perwujudan dan kelanjutan dari dua karakter sebelumnya. Di antara indikator penting terkait dengan karakter ini adalah perempuan Lamakera mengambil peran dalam pekerjaan yang terbilang banyak. Mereka tidak hanya bekerja sebagai istri dan ibu rumah tangga, tetapi juga bekerja sebagai "pencari nafkah". Mereka bekerja di dalam (wilayah domestik) sekaligus di luar (wilayah publik). Mereka mengambil peran ganda, sebagai perempuan sekaligus sebagai "laki-laki".

Bayangkan, pekerjaan domestik bagi perempuan Lamakera pada sesungguhnya sudah terbilang (agak) berat pake banget. Di antara daftar pekerjaan domestik yang seringkali dilakukan perempuan Lamakera secara rutin adalah memasak, mengambil air, membersihkan dan merapikan rumah, mencuci pakaian, mengasuh dan merawat anak, mengurus anaknya pergi sekolah (jika masih kecil usia SD/sederajat maupun SMP/sederajat). Pekerjaan domestik semacam ini _dalam pengamatan sebagai orang asli Lamakera_ jarang sekali dilakukan oleh laki-laki, khususnya laki-laki yang bernama suami dan ayah.

Namun, rupa-rupanya hal demikian tidak diandaikan sebagai bagian dari manifestasi diskriminasi gender sebagaimana yang digaungkan dan disuarakan oleh mereka-mereka yang menamakan diri sebagai feminis(me) dan emansipatoris. Di mana dalam logika feminis(me) dan emansipatoris, beban ganda (double burden) yang diberikan dan dilakukan oleh salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya diandaikan sebagai bagian dari ketidakadilan gender (gender inequality). Sehingga, apa pun wujud dari double burden, maka itu diandaikan sebagai gender inequality.

Lebih dari itu, rupa-rupanya pula hal demikian tidak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak mengambil bagian dari bekerja di ranah publik berupa mencari nafkah dan seterusnya. Mereka tetap mengambil bagian dalam kerja-kerja publik tersebut. Bahkan bukan kerja-kerja publik hanya terkait dengan institusi keluarga semata, tetapi juga melingkupi kerja-kerja publik membantu dan menolong orang secara umumnya. Seperti yang disebutkan sebelumnya di atas, perempuan Lamakera begitu peka, peduli dan aktif dalam membantu, menolong dan menyukseskan kegiatan publik di Lamakera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun