Selain itu, dalam survei Center For Strategic And International Studies (CSIS) mengungkapkan bahwa ada 60 persen generasi muda akan menjadi pemilih di Pemilu 2024 mendatang. Akan tetapi, CSIS menyebut minat generasi muda untuk terjun ke partai politik masih rendah. "Demografi pemilih Indonesia menjelang Pemilu 2024 akan mengalami perubahan. Proporsi pemilih muda dengan kelompok 17-38 tahun diprediksi akan mendekati 60 persen atau setara dengan 114 juta pemilih" (baca: di sini). Pun begitu halnya dengan kecenderungan pemilih terhadap calon pemimpin bangsa yang tergolong muda pun terbilang lumayan tinggi.
Dengan adanya survei dan data lonjakan yang luar biasa terkait dengan bonus demografi, maka digaungkan gerakan "keterlibatan" dan atau "melibatkan" mereka-mereka yang dikategorikan sebagai "anak muda" untuk mengambil bagian dalam jagat perpolitikan kita. Bukan saja keterlibatan dan atau melibatakan "anak muda" tersebut agar lebih akrab dan melek politik lalu kemudian menjadi konstituen politik yang ikut serta berpartisipasi aktif dalam pelbagai suksesi kontestasi politik sebagai seorang voter (pemilih pemula), tetapi juga "dipaksa" untuk mengambil bagian dalam kepemimpinan nasional dengan maju sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
Tentunya, sah-sah saja jika "anak muda" mengambil bagian dalam kepemimpinan nasional. Karena, "anak muda" yang memenuhi syarat konstitusional memiliki hak konstitusional untuk maju berlaga dalam kontestasi pemilihan kepemimpinan nasional. Hanya saja perlu ada catatan terkait dengan "anak muda" dimaksud. Tentunya, kata muda yang merupakan terjemahan dari huruf "M" dalam kata AMIN tidak melulu hanya bermakna muda secara usia. Sehingga, muda dimaksud secara otomatis adalah mereka-mereka yang dikatakan sebagai "anak muda" itu. Meskipun, kategorisasi makna muda demikian tidak ada salahnya juga.
Namun, maksud yang diinginkan dari kata "muda" sebagai bagian dari kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya adalah mereka-mereka yang memiliki pikiran, gagasan, visi-misi dan tindakan yang bercitarasa muda (baca: segar) karena selalu up to date dan upgrade dengan perkembangan zaman dan peradaban. Termasuk menjaga dan merawat sistem demokrasi dan amanat reformasi tanpa merusaknya dengan intrik dan teror politik melalui tangan bandit-bandit oligarki dan politik dinasti maupun tangan kekuasaan otoriter. Apalagi kalau membajak sistem demokrasi melalui kerja-kerja koruptif, kolusif dan nepotisme (KKN).
Menurut Kang Eep (panggilan akrab untuk seorang yang bernama Eep Saifullah Fatah, pendiri dan direktur Lembaga Survei PolMark Indonesia), muda bukan hanya definisi biologis atau fisik atau usia, akan tetapi soal cara, soal tata cara, soal sikap dan soal landasan filosofisi kerja. Tidak sampai di situ, Kang Eep juga memberikan ilustrasi (yang bersifat kritik) bahwa jika dua hari saya menjadi anggota partai lalu kemudian langsung menjadi ketua partai tanpa melalui proses demokratis itu tua sekali, dipraktekkan oleh partai non modern yang belum mengenal demokratisasi dalam dirinya. Bahkan betapa pun saya berusia 22 tahun, kalau menggunakan cara demikian, maka tua sekali.
Batasan pengertian demikian mengandaikan bahwa orang yang sudah tua sekalipun kalau-kalau pikiran dan tindakannya masih segar dan sesuai dengan logika yang lazim, maka ia adalah sosok anak muda dan pemuda yang sebenarnya. Sebaliknya, jika yang masih muda sekali, namun pikiran dan tindakannya tidak mencerminkan pemuda yang sebenarnya, maka hakikatnya ia adalah orang tua di usia muda. Begitu pula halnya ketika orang tua memiliki pikiran dan tindakan melabrak logika, aturan dan kelaziman, maka ia adalah tua kuadrat. Sebaliknya, jika anak muda dan pikiran serta tindakannya tidak labrak logika publik dan aturan sana sini, maka ia adalah anak muda otentik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa muda sebagai kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa adalah calon pemimpin yang memiliki proses dan pengalaman politik yang hirarkis dan bertahap, menjunjung tinggi amanat reformasi, nilai-nilai demokrasi dan 4 Pilar Indonesia (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945) serta menjaga dan mengawal supremasi hukum. Bukan mereka-mereka yang potong jalan, potong kompas dan potong konstitusi (untuk mewujudkan dan melanggengkan hasrat dan syahwat kekuasaan politik) sebagaimana dikatakan oleh Anies Baswedan ketika merespon carut-marut wajah hukum dan politik Indonesia.
Begitu pula dengan modernis juga merupakan kriteria ideal yang patut untuk dipertimbangkan dalam memilah dan memilih calon pemimpin bangsa. Sebab, calon pemimpin bangsa yang modernis adalah calon pemimpin yang cara berpikir (worldview) dan cara bertindak (framework)nya cenderung baru, modern dan segar karena sesuai dengan tuntutan zaman yang kian mengalami perkembangan yang begitu pesat dari aspek sains dan teknologi maupun produk-produk yang dihasilkan di dalamnya. Jika calon pemimpin tidak akrab dengan hal ihwal modern niscaya akan melahirkan nalar phobia dan sentimen terhadap hal ihwal yang berkaitan dengan kemodernan.
Tidak hanya itu saja. Calon pemimpin yang tidak berkenalan dengan hal ihwal kemodernan sangat rentan pula menolak begitu saja hal-hal baru yang lahir dan berkembang dari rahim kemodernan. Mau tidak tipologi calon pemimpin semacam itu lebih akrab dengan kejumudan, kekolotan, kegagapan, keterbelakangan dan "ketradisionalan". Implikasinya, calon pemimpin semacam ini tidak open mindset dan welcome terhadap perubahan dan pembaharuan yang bersifat positif. Sehingga, tidak ada inovasi dan kreativitas dalam kepemimpinan, akhirnya mengalami ketertinggalan kereta kemajuan, perubahan dan pembaruan menuju tatanan peradaban baru.
Logika demikian tidak bermaksud bahwa kita, khususnya calon pemimpin bangsa, harus menerima semua produk kemodernan begitu saja tanpa nalar kritis dan selektif di sana. Akan tetapi, logika demikian hanya ingin menjelaskan aspek-aspek tentang pentingnya calon pemimpin modernis. Tentunya, konsep calon pemimpin modernis dalam konteks keindonesiaan kita sudah cukup baik dijelaskan dalam salah satu rumusan kaidah yang diracik dan diwariskan para ulama, yakni al-muhfazhatu 'al al-qadmi ash-shlih wa al-akhdzu bi al-jadd ash-shlih ( menjaga dan melestarikan tradisi lama yang baik serta mengambil dan mengalamkan hal baru yang baik).
Kaidah fiqh tersebut menjelaskan dua karakter dan tipologi manusia, lagi-lagi, khususnya manusia yang tengah menjadi calon pemimpin bangsa. Kedua karakter dan tipologi dimaksud adalah menjadi manusia dan calon pemimpin bangsa yang tradisionalis sekaligus juga modernis. Bisa kedua karakter dan tipologi tersebut bersenyawa dan menyata dalam satu jiwa. Bisa juga memilih di antara satunya. Calon pemimpin tradisionalis adalah mereka-mereka yang komit dengan tradisi, namun akrab dengan kemodernan. Sebaliknya, calon pemimpin modernis adalah mereka-mereka yang memilih jalan modern dengan tetap berpijak pada akar tradisional.