Pertama; Amanah. Huruf A pada kata AMIN dalam konteks ini diterjemahkan dengan kata "amanah". Tentunya, bisa juga kita menggunakan terjemahan (positif) lainya. Misalnya, akuntabel, adil, dan lainnya. Semuanya sah-sah saja. Bahkan semuanya akan dielaborasi dengan sedemikian rupa untuk memberikan gambaran keseluruhan dari kriteria positif dari huruf "A" itu.. Meskipun, huruf A secara khusus diterjemahkan dengan kata amanah dan dijadikan sebagai kata kuncinya. Karena, kata adil, akuntabel dan lainnya pada sesungguhnya sudah tercover dan terakumulasi dalam keseluruhan dan kedalaman makna dari kata amanah itu sendiri.
Tentunya, semua kita nampaknya sepakat satu kata bahwa salah satu kriteria ideal bagi calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya adalah amanah. Saya kira tidak ada silang pendapat di dalamnya (mukhtalaf fihi). Sebab, amanah menjadi kriteria dan indikator dalam mengukur kohorensi (keserasian) antara apa yang menjadi perkataan (baca: janji-janji manis politik) dengan perbuatan dan kenyataan ketika seseorang didapuk menjadi pemimpin bangsa. Sekiranya, kriteria amanah tidak begitu penting bagi calon pemimpin bangsa niscaya calon pemimpin bangsa akan mengobral dan mengumbar janji seenaknya dan seenaknya pula untuk tidak melakukannya.
Saking pentingnya kriteria amanah dalam kepemimpinan bangsa, maka tidak jarang ditemukan di lapangan orang-orang yang terkenal tidak amanah dan atau tidak mau peduli sama sekali tentang politik sekalipun pasti akan sepakat jika amanah dijadikan sebagai kriteria dan indikator dalam memilih calon pemimpin bangsa. Bahkan (sangat boleh jadi) calon pemimpin yang tidak amanah sekalipun akan sepakat juga dengan kriteria tersebut dan pasti akan mempersonifikasi dirinya sebagai satu-satunya sosok calon pemimpin yang amanah sambil menuduh calon pemimpin lain tidak amanah, baik dilakukan secara terang-terangan melaui kempanye politik maupun dibalik layar.
Meskipun, tidak dinafikan pula bahwa masih ada juga calon pemimpin yang memang sudah jauh-jauh hari terkenal sebagai sosok yang amanah, baik sebelum menjabat maupun saat dan setelah menjabat, tidak mau sama sekali mengobral dan mengumbar kata amanah sebagai bagian dari karakter inhernnya, apalagi hendak mengkapitalisasi dan mempolitisirnya sebagai bagian dari kempanye politik untuk memanipulasi psikologi publik agar bisa memilih dan memenangkannya dalam kontestasi politik. Sosok pemimpin semacam ini terbilang langka di tengah-tengah krisis (moral) kepemimpinan bangsa dan tentunya sangat diharapkan untuk mengisi ruang-ruang kosong yang ada.
Lalu, apa sebenarnya hakikat amanah sebagai kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin ke depannya? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata amanah diartikan dengan tiga pengertian, yaitu 1) orang yang dapat dipercaya; 2) makanya diberikan dan atau dititipkan sesuatu kepadanya, dan 3) karena apa-apa yang dipercayakan kepadanya pasti aman, tentram dan bahagia. Dengan kata lain, pengertian amanah ini mengandaikan bahwa seorang calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya harus benar-benar terpercaya. Sehingga, masyarakat merasa aman, tentram dan bahagia ketika hendak memberikan hak suaranya terhadap mereka dalam kontestasi politik.
Dalam Islam, kata amanah maknanya juga tidak jauh berbeda dengan makna dalam Bahasa Indonesia. Di mana secara kebahasaan, kata amanah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja amina - ya`manu -- amnan - wa amanatan yang memiliki makna aman, tenang dan tentram. Berbeda dengan itu, dalam Kamus al-Mawwir dijelaskan bahwa kata amanah bermakna segala (bentuk) perintah Allah terhadap hamba-hambanya. Pengertian kedua ini semakin membuka horizon makna kata amanah itu sendiri. Sehingga, maknanya terkait dengan apa-apa yang menjadi perintah Allah (dan Rasul-Nya). Termasuk perintah adalah jujur, adil, akuntabel dan lainnya.
Untuk lebih lanjut lagi kita bisa pahami horizon makna amanah dalam hadis. Salah satu hadis yang cukup familiar berbicara amanah adalah hadis tentang tiga tanda orang-orang munafik. Hadis ini tergolong hadis yang cukup familiar di tengah-tengah umat Islam. Sebab, hadis ini menjadi materi khutbah yang di sampaikan di berbagai mimbar, termasuk mimbar politik. Bunyi hadisnya kira-kira begini: "ayat al-munfiqu tsaltsun: idza hadzdzatsa kadziba, waidza wa'ada akhlafa waidza'tumina khna, tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu 1) ketika berbicara ia dusta, 2) ketika berjanji ia mengingkari, dan 3) ketika ia diberi amanat ia berkhianat)."
Posisi amanah dalam hadis tersebut bukan karena ada frase "ketika ia diberikan amanat, maka ia berkhianat", akan tetapi melampaui itu semua. Ketiganya juga memiliki hubungan korelatif antara satu dengan lainnya. Seseorang dikatakan ingkar janji (hipokratik) karena di sana ada habitus kebohongan dalam fakultas diri dan hidupnya. Pun seorang dengan mudah berkhianat disebabkan di sana ada akumulasi dari kebohongan dan kemunafikan. Makanya, keseluruhan poin-poin dalam hadis tersebut berbicara tentang hakikat amanah. Sebab, hakikat amanah berbicara tentang fatsun moral pada umumnya, mulai dari kejujuran, akuntabilitas dan terpercaya.
Dengan demikian, hakikat amanah sebagai kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa adalah jujur (kredibel -- kredibilitas), menepati janji (akuntabel - akuntabilitas) dan terpercaya (memiliki integritas). Itulah di antara keseluruhan dan kedalaman serta ketercakupan makna dari kata amanah itu sendiri. Sehingga, seperti dikatakan sebelumnya, kata amanah ini berkaitan dengan beberapa kata lainnya yang dapat menjadi kriteria dan indikator calon pemimpin bangsa, yakni kata akuntabel, adil dan lainnya. Ketika unsur-unsur penting dari kata amanah ini bersenyawa dalam fakultas diri sekaligus menyata dalam kehidupan, maka di sanalah lahirlah keadilan itu.
Kedua; Muda, Modernis dan Moderat. Ketiganya merupakan kriteria yang sangat penting (juga) dalam jagat perpolitikan kita, khususnya akhir-akhir ini. Sebab, ketiganya merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia ke depannya. Maksudnya, bangsa Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang muda, modernis dan moderat. Hal demikian berbanding lurus dengan konstruksi fakta yang terjadi dalam atmosfer kehidupan kebangsaan kita. Di mana bangsa Indonesia mengalami tiga problem bersamaan, yaitu problem bonus demografi, gerakan anti modernisasi (secara an sich) dan problem radikalisme, ekstrimisme dan terorisme.
Tahun 2020 sampai 2035 diandaikan tahun di mana bangsa dan negara Indonesia akan menikmati suatu era yang langka. Era tersebut disebut-kenal dengan era bonus demografi. Di mana jumlah usia produktif Indonesia diproyeksikan berada pada grafik tertinggi dalam sejarah bangsa ini, mencapai 64 % dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 297 juta jiwa. Bonus demografi demikian dapat menjadi windows opportunity (peluang) yang sangat strategis bagi sebuah Negara untuk melakukan percepatan pembangunan ekonomi (baca: di sini), sekaligus dapat pula digunakan sebagai momentum akselerasi pemuda dalam kepemimpinan nasional.