Azis Maloko
Menjelang masa kempanye politik masing-masing Capres-cawapres yang berlaga pada kontestasi politik 2024, suasana atmosfer politik kian memanas. Karena, masing-masing Capres-cawapres nampaknya saling bermain dan berbalas "pantun" antar satu dengan lainnya. Menyusul kemudian sahutan pantun yang dilayangkan masing-masing loyalis. Bukan "pantun apresiatif" Cak Imin dan Mahfudz MD ketika memberikan sambutan dalam acara pengundian dan penetapan nomor urut masing-masing Capres-cawapres yang berujung pada pelaporan oleh lembaga P3K ke Bawaslu karena konon di dalamnya ada unsur kempanye belum pada saatnya (baca: di sini).
Akan tetapi, "pantun kritik" terhadap visi-misi dan program masing-masing Capres-cawapres. Salah satunya adalah merespon soal opini Cawapres "anak haram konstitusi" dalam istilah kompas dan "potong jalan, potong kompas dan potong konstitusi" dalam istilah Anies Baswedan. Pantun tersebut membias dan menggelinding ke mana-mana hingga melahirkan polemik dan diskursus lanjutan tentang hakikat pemuda sebenarnya, supremasi hukum, komitmen reformasi dan nilai-nilai demokrasi, cawe-cawe politik, netralitas dan keamanan pelaksanaan Pemilu hingga pada istilah "neo orba" yang dipopulerkan oleh kubu Ganjar-Mahfud.
Secara tidak langsung, polemik dan diskursus semacam itu mengarah pada masalah syarat dan kriteria ideal bagi calon pemimpin bangsa. Namun, publik malah lebih asyik dengan hal-hal yang bersifat insidentil ketimbang hal-hal yang bersifat substansial dan fundamental. Sehingga, melalui tulisan ini akan didiskusikan hal ihwal terkait dengan menggunakan "perspective" kata AMIN. Terdapat kurang lebih tiga topik penting yang akan diturunkan untuk didiskusikan secara bersama, yaitu 1) mendudukkan kembali penggunaan kata AMIN; 2) dan AMIN sebagai kriteria ideal bagi calon pemimpin bangsa. Plus epilog tentang hakikat memilih pemimpin bangsa.
Mendudukkan Kembali Penggunaan Kata AMIN
Semenjak kata AMIN menjadi identitas politik salah satu pasangan Capres-cawapres, kata AMIN menjadi begitu familiar oleh sebab menggema hampir di mana-mana. Tidak hanya di dikanal media sosial, tetapi santer menjadi topik percakapan oleh pelbagai kalangan, hatta kalangan masyarakat biasa sekalipun. Hingga tanpa sadar kata AMIN mulai membias dan masuk dalam berbagai horizon dan segmentasi kehidupan masyarakat pada umumnya. Entah karena kata AMIN menjadi identitas politik dan massive digaungkan dan digemakan di mana-mana atau ada unsur lain. Sehingga perlu kiranya mendudukkan kembali penggunaan kata AMIN.
Setidaknya kata AMIN dikenal dengan beberapa penggunaan dalam kehidupan kita, yaitu:
Pertama; AMIN sebagai doktrin dan narasi teologis dalam agama dan ajaran Islam. Kategori AMIN ini mengandaikan bahwa ternyata penggunaan kata AMIN memiliki jejak yang begitu kuat dalam salah satu doktrin dan narasi teologis agama dan ajaran Islam. Dalam Islam setidak-tidaknya dikenal tiga bentuk pembacaan dan penggunaan kata AMIN. Pembacaan kata AMIN pertama adalah (amin). Pembacaan pertama ini sama persis dengan kata AMIN yang digunakan dalam tulisan ini, yakni tidak ada huruf panjang di sana, baik huruf (alif), huruf (min) maupun huruf (nun). Sehingga, makna yang diinginkan dari kata ini di antaranya adalah aman, damai dan selamat.
Pembacaan kata AMIN selanjutnya adalah (amn). Pembacaan kedua ini sudah berbeda dengan pembacaan kata AMIN pertama. Letak perbedaannya berada pada huruf (min), karena dimasukkan huruf (ya) mati. Sehingga, pola pembacaan kata AMIN kedua ini adalah memanjangkan huruf (mim) dengan minimal satu harakat. Dengan demikian, makna yang diinginkan dari kata berbeda dengan kata . Di antara makna kata adalah jujur, terpercaya, setia dan loyal. Kata inilah sebagai julukan yang diberikan masyarakat Quraisy terhadap Nabi Muhammad saw. karena dikenal luas sebagai sosok manusia yang paling jujur dan terpercaya.
Pola pembacaan kata AMIN terakhir adalah (mn). Lagi-lagi, pola pembacaan kata AMIN ketiga ini jauh berbeda dengan kata (amin) dan (amn) sebelumnya. Jika sebelumnya perbedaan pembacaan hanya pada satu huruf, yakni huruf (mim) karena dimasukkan huruf (ya) mati. Maka, perbedaan pembacaan ketiga ini terdiri dari dua huruf, yaitu huruf (alif) dan huruf (mim). Huruf alif dibaca panjang dengan menggunakan satu sampai empat harakat, sementara huruf mim juga dibaca panjang minimal satu harakat. Sehingga, makna kata adalah sebuah permintaan untuk mengabulkan doa dan munajat yang dipanjatkan, "kabulkan doa kami".
Dengan demikian, pembacaan terhadap kata AMIN berbeda-beda dalam Islam, sekaligus memiliki makna masing-masing antara satu dengan lainnya. Tentunya, pola pembacaan demikian berbeda dengan pola pembacaan dalam bahasa Indonesia. Karena, bahasa Indonesia memang tidak mengenal pola pembacaan panjang pendek terhadap sebuah kata. Juga tidak dinafikan pula bahwa memang bahasa Indonesia memiliki keterbatasan dalam mengadopsi dan menggunakan bahasa Asing semacam bahasa Arab, misalnya. Contohnya adalah penggunaan kata AMIN di Indonesia bisa sebagai nama orang sekaligus dalam doa dan shalat.