Azis Maloko
Pada tulisan sebelumnya (baca di sini) sudah dijelaskan hal ihwal terkait dengan habitus dan prinsip dasar dalam berliterasi. Pada tulisan kali ini selain melanjutkan tulisan sebelumnya (karena satu paket) juga menjelaskan aspek lain terkait dengan habitus dan prinsip dasar dalam berliterasi, yakni bahwa literasi pada sesungguhnya sebuah seni mengukir kata yang terbilang agak mudah untuk dilakukan oleh seorang pegiat literasi dengan catatan harus mengetahui hal ihwal terkait dengan bagaimana caranya agar mudah, cepat dan tuntas dalam mengukir kata menyusun sebuah karya ilmiah. Tentunya, mudah, cepat dan tuntas dimaksud bukan ditempuh melalui cara-cara instan melalui aktivitas copas, plagiasi dan lainnya. Akan tetapi, murni ditempuh melalui cara-cara yang benar.
Kategori Penilaian Karya Ilmiah
Kita pasti akan bertanya-tanya kenapa perlu ada sub pembahasan semacam ini dan didahulukan untuk dibahas? Pertanyaan itu pasti muncul manakala kita membaca sub pembahasan ini. Pertanyaan semacam itu wajar-wajar saja. Bukan semata sebagai sebuah kerja-kerja epistemologis, akan tetapi juga karena pada kenyataannya pada buku-buku terkait dengan pedoman penulisan karya ilmiah pada kampus masing-masing tidak menyertakan secara khusus sub pembahasan semacam ini. Apalagi pada kenyataannya juga soal terkait dengan kategori penilaian karya ilmiah terpulang pada masing-masing pembimbing dan penguji.
Kita pasti punya pengalaman terkait dengan masalah demikian ketika melakukan proses bimbingan karya ilmiah. Di mana antara satu pembimbing dengan pembimbing lainnya selalu mempunyai perbedaan yang cukup mendasar dalam kaitannya dengan kategori penilaian karya ilmiah, hatta kampus (bahkan ada juga perfakultas) sudah menyediakan sebuah roadmap dalam bentuk pedoman penulisan karya ilmiah. Bahkan karena perbedaan semacam itu pulalah mahasiswa seringkali dipingpong kesana kemari tanpa ada kejelasan dan kepastian terkait dengan hal ihwal penulisan karya ilmiah. Sampai-sampai mahasiswa kadang bingung dan pusing sendiri.
Pertanyaan kemudian adalah apakah mahasiswanya terlampau malas belajar dan karenanya kelihatan bodoh dalam proses-proses intelektual-akademik semacam itu atau malah pembimbing dan pengujinya terlalu cerdas sehingga selalu menghadirkan sesuatu yang baru sampai-sampai sesama pembimbing dan penguji berbeda sehingga berujung pada kebingungan dan kepusingan mahasiswa karena dipingpong ke sana kemari? Nah, karena itulah menjadi penting kiranya untuk menurunkan sebuah pembahasan khusus untuk mendiskusikan persoalan dimaksud. Setidak-tidaknya memberikan gambaran awal terkait dengan kategori penilaian karya ilmiah.
Jika kita menelaah pelbagai referensi kepustakaan terkait dengan metodologi penelitian dan pedoman penulisan karya ilmiah maupun praktek dan pengalaman langsung dalam menjalani proses bimbingan karya ilmiah, maka kita akan menjumpai pada umumnya ada dua kategori penilaian karya ilmiah. Keduanya menjadi konsep dasar, di dalamnya terdapat pelbagai derivasi aspek penilaian. Sehingga, tidak salah kemudian jika dikatakan bahwa kedua konsep tersebut menjiwai pelbagai aspek penilaian lainnya. Karena, aspek-aspek penilaian spesifik lainnya akan kembali mengacu secara langsung pada keumuman kedua kategori penilaian itu.
1.Kategori Penilaian Konten
Kategori penilaian pertama ini mengandaikan bahwa termasuk penilaian karya ilmiah adalah kategori konten daripada karya ilmiah itu sendiri. Konten dimaksud adalah keseluruhan isi dari karya ilmiah, baik mulai dari kulit luar, kulit dalam hingga pada semua isi perutnya atau mulai dari judul hingga pada daftar pustaka beserta lampirannya. Semua karya ilmiah dapat dipastikan memiliki konten. Tidak mungkin tidak. Hatta karya ilmiah bodong, hasil kerja joki karya ilmiah hingga pada karya ilmiah asal jadi yang penting bisa selesai studi bagi mereka yang dikatakan sebagai mahasiswa dan atau mendapat tunjangan BKD dan LKD bagi mereka yang dikatakan sebagai dosen.
Dalam membuat konten sebuah karya ilmiah yang baik dan benar (sekaligus menarik dan menggigit) tentunya harus dibangun di atas prinsip dan mekanisme mendasar dalam penulisan sebuah karya ilmiah. Tidak mungkin karya ilmiah ditulis begitu saja tanpa ada prinsip dan mekanisme khusus di dalamnya. Sementara kita tahu bersama bahwa karya ilmiah akan dibaca secara publik oleh hampir semua kalangan, khususnya kalangan intelektual-akademik. Apalagi sistem pendidikan nasional kita menghendaki agar supaya karya ilmiah yang dilahir-hasilkan oleh kalangan intelektual-akademik harus bebas dari namanya plagiasi sekaligus dipublikasi secara online sistem.
Sehingga, perlu kiranya memperhatikan aspek penilaian dalam konten karya ilmiah. Terdapat kurang lebih dua aspek penilaian secara umumnya. Aspek penilaian pertama terkait dengan prinsip dasar dalam menuliskan konten karya ilmiah. Prinsip penting ini mencakup kurang lebih tiga aspek. Pertama; prinsip kebaruan (novelty) dari konten karya ilmiah. Prinsip ini mengandaikan bahwa konten karya ilmiah yang (hendak) dituliskan oleh seseorang mahasiswa (begitu pula dosen tentunya bahkan seorang dosen harusnya menjadi tauladan dalam hal ini) harus memiliki kebaruan di dalamnya. Tidak boleh konten karya ilmiah hanya sekedar mencopas dan mendaur ulang karya-karya ilmiah yang ada.
Kebaruan (konten) karya ilmiah dapat dilihat langsung pada judul karya ilmiah, rumusan konsep dan gagasan karya ilmiah dan hasil temuan karya ilmiah. Ketiganya ini memiliki kedudukan yang begitu penting dalam prinsip kebaruan karya ilmiah. Judul suatu karya ilmiah yang nyaris sama sangat rentan sekali untuk mengajak seorang mahasiswa _dalam keadaan terpaksa maupun tidak_ untuk memasuki wilayah plagiasi. Bersamaan dengan itu, judul semacam itu menandakan seorang mahasiswa kehilangan daya berpikir ilmiahnya, sehingga terjebak dalam budaya berpikir instan, masa bodoh hingga menjadi plagiator. Banyak judul-judul karya ilmiah dalam konteks seperti ini.
Begitu pula rumusan konsep dan gagasan beserta temukan harus atau sebisa mungkin diupayakan untuk ada nilai kebaruan di dalamnya. Meskipun agak berat rasanya manakala hal demikian dilakukan oleh seorang mahasiswa. Karena, corak dan model penulisan karya ilmiah kita nampaknya terlampau normatif, hatta untuk kategori jenis penelitian lapangan (field research) sekalipun. Selain hal semacam itu memerlukan sebuah kecerdasan intelektual yang dibarengi dengan kekuatan literasi. Apalagi dosen kadang juga memberikan contoh semacam itu. Sehingga, mau tidak mau mahasiswa juga melakukan hal yang sama, meskipun nantinya ada sedikit perbedaan rumusan konsep dan gagasan hingga penggunaan kutipan referensi.
Kedua; prinsip orisinalitas konten karya ilmiah. Prinsip ini terkait erat dengan prinsip sebelumnya. Sekiranya prinsip sebelumnya sudah terpenuhi dengan baik, maka besar kemungkinan prinsip kedua ini akan mudah juga terpenuhi oleh seorang mahasiswa (dan lagi-lagi tentunya oleh dosen juga di dalamnya). Prinsip novelty lebih menekankan aspek kebaruan dan atau hal-hal yang baru (modern), sementara prinsip kedua ini lebih menekankan pada keaslian sebuah karya ilmiah. Dalam kamus bahasa Indonesia, keaslian yang dikaitkan dengan orisinilitas selalu disertai dengan namanya ketekunan. Seolah-olah memberikan pesan bahwa sesungguhnya keaslian itu tidak terlepas dari ketekunan seorang penulis karya ilmiah.
Prinsip kedua ini mengandaikan bahwa sebuah karya ilmiah harus memiliki prinsip dan nilai orisinalitas. Orisinalitas dalam karya ilmiah bermakna bahwa karya bersangkutan benar-benar merupakan hasil karya dan cipta seorang penulis karya ilmiah, bukan hasil copas, daur ulang dan atau dikerjakan oleh orang lain. Termasuk wujud dan bentuk orisinalitas karya ilmiah adalah jujur untuk melakukan kutipan pelbagai referensi sebagai argumentasi justifikasi, baik kutipan dimaksud bersifat langsung maupun tidak langsung (dengan memperhatikan mekanisme terkait dengan kutipan karya ilmiah). Sehingga, prinsip orisinalitas berbicara pada keseluruhan isi karya ilmiah. Artinya, karya ilmiah dari pertama hingga terakhir harus benar-benar merupakan karya asli seorang penulis.
Memang agaknya berat jika prinsip kedua ini dilakukan penulis selevel mahasiswa. Terdapat banyak persoalan menyertai hal ini. Di antaranya karena mahasiswa tidak memiliki budaya literasi yang baik. Budaya literasi mahasiswa biasanya mentok pada membaca dan berdiskusi, tidak ada upaya serius untuk mengembangkan tradisi membaca dan berdiskusi dalam bentuk budaya tulis. Apalagi kalau mahasiswa memang kerjanya hanya pulang pergi kuliah, bermain dan tidur. Sehingga, pada kenyataannya ditemukan banyak mahasiswa memiliki budaya membaca dan berdiskusi begitu luar biasa baik, khususnya dalam lingkup organisasi, namun rupa-rupanya begitu gagap minta ampun ketika berurusan dengan budaya tulis, hatta tulisan tersebut terkait erat dengan status kesarjanaannya.
Selain itu, terdapat pula problem lainnya yang tidak kalah mengerikan. Dunia pendidikan kadang terlampau ideal dalam merumuskan dan menetapkan standar mutu pendidikan. Karena, kadang hal demikian tidak berbanding lurus dengan kondisi riil di lapangan. Kurikulum pendidikan tidak sepenuhnya menciptakan budaya literasi di kalangan mahasiswa. Di mana tidak ada kurikulum khusus lagi berjenjang untuk membiasakan budaya literasi di kalangan mahasiswa. Belum lagi akses-akses untuk memudahkan mahasiswa dalam berkarya secara orisinal tidak semuanya terbuka, mulai dari pembendaharaan referensi di perpustakaan, keterampilan bahasa hingga pada kondisi lingkungan yang tidak begitu mensupport. Lebih para lagi kalau-kalau dosen sebagai tauladan dalam hal ini malah kadang mereproduksi karya ilmiah yang tidak orisinal juga.
Ketiga; prinsip kebermanfaatan karya ilmiah. Lagi-lagi, prinsip ini sangat terkait erat dengan dua prinsip sebelumnya. Logikanya, jika sekiranya kedua prinsip sebelumnya sudah terpenuhi oleh seorang penulis karya ilmiah, maka mau tidak mau juga di dalamnya terdapat sesuatu yang dinamakan sebagai prinsip kebermanfaatan. Paling rendah mungkin prinsip kebermanfaan terkait dengan orisinalitas karya ilmiah. Ya, biar sebuah karya ilmiah terbilang orisinil belum tentu di dalamnya ada kebermanfaatan. Namun, keaslian dapat tergolong sebagai bagian dari kebermanfaatan karya ilmiah, dalam bentuk menulis karya secara orisinal. Sementara puncak kebermanfaatan karya ilmiah adalah manakala suatu karya ilmiah menghadirkan temuan-temuan (baru) yang bermanfaat bagi dunia keilmuan maupun masyarakat.
Ketika ketiga prinsip penulisan karya ilmiah ini sudah terpenuhi, selanjutnya penulis harus memperhatikan mekanisme untuk menterjemahkan prinsip-prinsip tersebut dalam bentuk sebuah karya ilmiah. Mekanisme dimaksud terkait dengan sistematika penulisan karya ilmiah, narasi dan demonstrasi gagasan dan pemikiran, rancang bangun argumentasi yang digunakan dan terakhir kekuatan logis dan rasionalitasnya. Sistematika penulisan menegaskan bahwa karya ilmiah yang hendak ditulis benar-benar sistematis; tidak compang-camping alias dibuat dengan sembarangan. Gambaran sederhananya adalah jika judul tulisan terkait dengan unta, maka hal ihwal yang dibahas nantinya harus juga unta, mulai dari bab satu, bab dua, bab tiga hingga bab lima terkait dengan kesimpulan.
Pada kenyataannya banyak ditemukan karya ilmiah yang kebalikan dari logika demikian. Misalnya judul tulisannya adalah unta, namun isinya malah babi dan domba semua. Tidak ada kaitan sama sekali dengan unta yang menjadi judul penelitiannya. Entah mahasiswanya phobia terhadap unta atau apa. Setelah membaca langsung ditemukan bahwa antara judul penelitian, latar belakang masalah hingga pada pembahasan tinjauan teoretisnya sama sekali tidak memiliki keterkaitan. Namun, dosen pembimbingnya tidak mempersoalkannya dan mengizinkan untuk dilanjutkan seminar proposal dan penelitian. Ini salah satu contoh dari sekian banyak contoh yang didapatkan dalam proses konsultasi karya ilmiah. Apalah daya bagi seorang konsultan manakala di sana sudah ada legacy dari pembimbing dan mahasiswanya juga adem ayem saja.
Sementara narasi, argumentasi dan rasionalitas tulisan juga terbilang begitu penting. Sebuah karya yang baik bukan hanya memiliki unsur kebaruan, orisinalitas dan kebermanfaatan semata, akan tetapi ditulis juga dalam sebuah narasi yang kuat secara argumentasi dan rasionalitas. Narasinya harus saling terpaut antara satu dengan lainnya, juga mengalir bak sebuah air dari muaranya. Narasi terkait erat dengan kecakapan dan keterampilan dalam mendeskripsikan dan mentransformasi gagasan dan pemikiran (besar) menjadi sebuah kata-kata yang kuat, apik, menarik dan enak untuk dinikmati sebagai sebuah karya ilmiah, di dalamnya terdapat lapisan argumentasi yang terbilang begitu kuat, logis dan rasional.
Ketiga prinsip dalam kategori penilaian pertama ini dapat diandaikan dan atau diistilahkan dengan kategori penilaian yang bersifat "ta'aqquli". Dikatakan demikian karena kategori penilaian ini menekankan pentingnya kreativitas dan inovasitas seorang mahasiswa untuk menulis sebuah karya ilmiah. Dengan catatan apa-apa yang menjadi hasil kreativitas dan inovasitas karya ilmiahnya berdasarkan pada prinsip-prinsip penilaian pada kategori penilaian konten karya ilmiah. Sehingga, keliru rasanya jika dalam konteks ini seorang dosen (pembimbing maupun penguji) semacam memaksakan kehendak agar supaya konsep gagasan dan pemikiran beserta kata-katanya juga harus diikuti secara an sich oleh seorang mahasiswa.
Sebab, point penting yang menjadi penekanan dari kategori penilaian konten karya ilmiah adalah seorang mahasiswa mampu kemudian bisa mengabstrasikan pokok-pokok pikiran terkait dengan judul penelitian dalam bentuk sebuah karya ilmiah yang di dalamnya terdapat kebaruan, orisinalitas dan kebermanfaatan plus dituliskan dengan sistematis, naratif-demonstratif, argumentasi hingga logis-rasional. Bukan harus sama persis seperti pokok-pokok pemikiran dan kata-katanya dosen. Karena, dosen bukanlah mahasiswa dan mahasiswi bukanlah dosen. Masing-masing memiliki tingkat kemampuan intelektual-akademik. Intinya, mahasiswa sudah memenuhi syarat terkait dengan prinsip dan mekanisme penulisan konten karya ilmiah pada umumnya.
Untuk memudahkan memahami problem tersebut kita langsung masuk pada contoh praktisnya. Misalnya, seorang mahasiswa A menulis sebuah karya ilmiah terkait dengan penelitian skripsinya lalu kemudian melakukan bimbingan sebagaimana biasanya. Sebelum bimbingan, mahasiswa A sudah mengerjakan dengan sebaik-baiknya hal ihwal terkait dengan proposal penelitiannya, khususnya persoalan konten karya ilmiah. Namun, dalam proses bimbingan malah dosen menyuruhnya harus mengikuti sama persis apa yang menjadi konsep pemikiran dan kata-katanya dosen. Dosen mengatakan mahasiswa A harus menggunakan konsep pemikiran dan kata-kata seperti disampaikan. Padahal, apa yang ditulis oleh seorang mahasiswa sudah memenuhi standar kelayakan karya ilmiah.
Problem lainnya yang terjadi adalah seorang dosen kadang tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pembimbing dengan baik dan benar. Ketika ada bimbingan, proposal mahasiswanya kadang disimpan di meja kerja dan rumahnya sampai berhari-hari. Semacam tidak mempunyai waktu khusus untuk memberikan bimbingan; edukasi dan pencerahan terhadap mahasiswa bimbingannya. Pelbagai alasan bermunculan, mulai dari terlalu padat jadwal hingga sering keluar daerah menjalankan tugas lainnya. Belum lagi persoalan pribadi dosen juga menjadi alasan lain untuk memperlambat dan mempersulit mahasiswa bimbingannya. Inilah di antara problem dalam dunia pendidikan pada umumnya.
Seharusnya alokasi waktu mengajar dengan bimbingan karya ilmiah diatur sedemikian rupa melalui paket kurikulum. Sehingga, dosen mempunyai waktu khusus untuk mengajar, melakukan riset, pengabdian, menulis karya ilmiah hingga memberikan bimbingan terhadap mahasiswa. Dosen tidak perlu terlalu serakah dan forsil mengambil semua mata kuliah, baik mata kuliah mikro maupun makro, hingga tugas-tugas pendidikan lainnya terabaikan. Misalnya, tugas dosen untuk melakukan riset dengan baik dan benar lalu kemudian menulis hasil risetnya dalam bentuk sebuah karya ilmiah yang teruji. Selain itu, dosen juga bisa mengatur waktu untuk melakukan pengabdian masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah memiliki waktu untuk memberikan bimbingan karya ilmiah.
Ketika dosen memiliki waktu untuk bimbingan misalnya, itupun masih saja terdapat banyak problem lainnya. Misalkan problem proposal mahasiswa tidak dibaca dengan tuntas. Langsung diterima dan disimpan atau langsung memberikan tandatangan persetujuan untuk melanjutkan tahapan-tahapan selanjutnya. Kalau pun diperiksa karya ilmiah itu pun kadang hanya asal-asalan saja; tidak betul-betul mengkutui dan menguliti habis-habisan karya ilmiah. Bahkan ada juga dosen memberikan catatan panjang kali lebar, namun catatannya hanya bisa dibaca dan dipahami oleh dosen. Mahasiswa bukannya tambah paham, tetapi malah tambah tidak paham; bingung dan pusing. Sehingga, proses bimbingan tidak efektif dan memberikan efek positif terhadap mahasiswa.
2.Kategori Penilaian Metode
Berbeda dengan kategori penilaian sebelumnya di atas, kategori penilaian ini diandaikan sebagai sebuah penilaian karya ilmiah yang bersifat "ta'abbudi" sekaligus "ta'aqquli". Dikatakan demikian karena kategori penilaian motede karya ilmiah memuat sesuatu yang benar-benar harus diikuti begitu saja tanpa perlu ada kreativitas dan inovasitas di dalamnya. Sekiranya ada upaya untuk menghadirkan kreativitas dan inovasi, maka hal demikian dapat diandaikan sebagai sesuatu yang "bid'ah" (baru) dalam penulisan karya ilmiah dan tentunya tergolong sebagai fallacy sekaligus tertolak. Kategori penilaian jenis ini, bersifat "ta'abbudi", dalam karya ilmiah disebut dengan metode sebagai mekanisme penulisan karya ilmiah.
Sama dengan prinsip ibadah pada umumnya yang tidak meniscayakan adanya "bid'ah" dalam pelaksanaannya, kategori penilaian metode sebagai mekanisme penulisan karya ilmiah juga memiliki prinsip mengikuti begitu saja apa yang telah diatur sedemikian rupa dalam pedoman penulisan karya ilmiah oleh masing-masing kampus. Sekiranya pedoman penulisan telah membuat aturan penulisan bahwa untuk jenis penelitian ini dan itu bab satunya terdiri dari ini dan itu, maka tidak ada pilihan lain bagi mahasiswa untuk mengotak-atiknya. Hatta mahasiswa bersangkutan (sok) kritis sekalipun. Karena, tidak ada pilihan lain dalam kaitannya dengan metode sebagai struktur penulisan karya ilmiah melainkan harus mengikuti begitu saja.
Olehnya, kita dapat mengatakan bahwa dunia kampus juga mengenal istilah (larangan melakukan) "bid'ah", khususnya dalam bab struktur penulisan karya ilmiah. Perbedaannya terletak pada ruang lingkupnya. Jika bid'ah dalam agama terkait erat dengan hal ihwal yang bertalian dengan ibadah (tentunya terlepas dari klasifikasi dan status hukumnya). Sementara, dalam lingkup kampus, "bid'ah" hanya berlaku pada hal ihwal terkait dengan mekanisme penulisan karya ilmiah. Karena, masing-masing kampus telah menyediakan pedoman khusus di dalamnya sebagai acuan bagi mahasiswa untuk menyusun karya ilmiah. Meskipun, persoalan mekanisme merupakan bagian dari persoalan ta'aqquli (wilayah rasionalitas manusia). Namun, tetap saja mengharuskan adanya larangan melakukan "bid'ah" di dalamnya.
Untuk memahami proses kerja kategori penilaian metode sebagai struktur dan mekanisme penulisan karya ilmiah kita perlu masuk langsung pada contoh-contoh praktisnya. Salah satu di antara sekian banyak pasal-pasal yang diatur dalam pedoman penulisan karya ilmiah adalah hal ihwal terkait dengan kutipan. Dalam hal kutipan diatur tiga aspek penting di dalamnya, mulai dari endnote, footnote dan daftar pustaka. Khusus untuk footnote misalnya, di situ diatur dengan sedemikian rupa, mulai dari posisinya, jenis dan ukuran fonsnya, bentuk tulisan dan tanda bacanya, hingga pada apa-apa yang perlu dimasukkan di dalamnya sebagai bagian dari footnote.
Dalam konteks ini, terdapat dua ketentuan hukum terkait dengan footnote itu sendiri. Pertama; hukum terkait eksistensi footnote dalam karya ilmiah. Poin ini maksudnya adalah jika sekiranya pedoman penulisan karya ilmiah pada kampus tertentu hanya membolehkan menggunakan footnote dan daftar pustaka dalam penulisan karya ilmiah, namun ketika seorang penulis karya ilmiah malah tidak menggunakan footnote, maka secara otomatis akan tertolak karena tidak mengikuti aturan main yang ada. Kedua; hukum terkait dengan rukun-rukun penggunaan footnote dalam penulisan karya ilmiah. Poin ini maksudnya adalah ketika seorang mahasiswa menggunakan footnote, namun tidak sama persis dengan petunjuk yang ada, maka sama saja secara otomatis akan tertolak pula.
Sementara kategori penilaian metode terakhir adalah metode sebagai sebuah pendekatan keilmuan. Untuk kategori penilaian motede ini dalam karya ilmiah disebut dengan "metodologi penelitian". Jika kajian karya ilmiah merupakan library research (kajian kepustakaan), maka posisi metodologi penelitian biasanya berada pada bab satu bersama dengan beberapa sub pembahasan bab satu lainnya. Sementara kalau karya ilmiah merupakan field research (kajian lapangan), maka posisinya biasa berada pada bab dua; berdiri sendiri, sama dengan bab satu, bab dua, bab empat dan bab lima. Itu pada umumnya. Bisa saja setiap pedoman penulisan karya ilmiah memposisikan metodologi penelitian berbeda-beda. Intinya, pada setiap karya ilmiah ada terdapat bab dan atau sub bab tentang metodologi penelitian.
Posisi metodologi penelitian dalam karya ilmiah terbilang begitu penting sekali oleh sebab metodologi penelitian sebagai panduan terkait tata cara untuk melakukan kerja-kerja penelitian, sebelum dan sesudahnya. Di dalamnya dijelaskan pelbagai hal yang bertalian secara langsung dengan kerja-kerja intelektual dan ilmiah dalam proses penelitian hingga penulisan karya ilmiah, khususnya pengolahan data-data hasil penelitian. Berbeda dengan metode sebagai mekanisme penulisan karya ilmiah, metodologi penelitian berkait dengan hal-hal substansial dalam penelitian, mulai dari jenis penelitian dan analisis data, pendekatan penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik pengelolaan dan analisis data hingga pada teknik pengujian keabsahan data dan kesimpulan penelitian dan lain-lain.
Poin paling penting dalam metodologi penelitian adalah jenis dan pendekatan penelitian. Sebab, hal ihwal lainnya sangat tergantung pada makhluk tersebut, khususnya jenis penelitian. Jika sekiranya jenis penelitiannya adalah field research, maka yang perlu untuk diperhatikan selanjutnya adalah analisis datanya. Hal demikian dikarenakan penelitian lapangan pada umumnya terdapat dua jenis analisis data, antara analisis data kualitatif dan kuantitatif. Keduanya ini bukan semata akan mempengaruhi poin-poin dalam pembahasan metodologi penelitian, akan tetapi juga secara langsung akan berdampak pada metode sebagai mekanisme penulisan karya. Misalnya, kalau jenis penelitiannya adalah field research kualitatif, maka komponen metodologi penelitian harus menyesuaikan dengannya. Pun begitu halnya dengan soal mekanisme penulisan point-point dalam setiap babnya.
Tahapan dan Teknik Penyusunan Karya Ilmiah
Setelah mengetahui konsep dasar terkait dengan kategori penilaian karya ilmiah beserta penjelasan singkatnya di atas, maka selanjutnya kita akan masuk pada tahapan inti dalam menyusun karya ilmiah. Tahapan ini dipandang penting oleh sebab pengetahuan terkait dengan konsep dasar penilaian karya ilmiah tidak serta merta membuat seorang mudah untuk memulai menyusun karya ilmiah. Karena, masih terdapat hal-hal elementer dan fundament lainnya yang perlu untuk diketahui sebelum menyusun karya ilmiah. Hal-hal yang kebanyakan penulis karya ilmiah, khususnya mahasiswa, lupa dan abaikan begitu saja.
Tentunya, hal-hal elementer dan fundament dimaksud bersifat praktis dan simpel karena terkonstruk secara elaboratif dari teks pada satu sisi dan konteks pada sisi lainnya; teks terkait dengan pembacaan pelbagai referensi seputar kepenulisan, sementara konteks terkait dengan pengalaman langsung di dalamnya. Meskipun, tidak dinafikan masih banyak cara dan langkah-langkah yang digunakan dalam memulai menyusun sebuah karya ilmiah. Namun, apa yang ditulis ini hanya sekedar share informasi sekaligus pengalaman dalam kaitannya dengan masalah praktek penyusunan karya ilmiah.
1.Penentuan Masalah Penelitian
Pada dasarnya penelitian dan penulisan sebuah karya ilmiah dikarenakan ada sesuatu yang dipandang "bermasalah" dan menarik untuk dilakukan kajian dan penelitian di dalamnya. Entah masalah dimaksud berkaitan langsung dengan judul penelitian yang hendak diangkat atau malah dikarenakan masalah yang bersifat turunan darinya. Ya, tidak akan mungkin suatu judul penelitian yang tidak ada masalah dan signifikansinya diterima dan dibolehkan untuk sebagai judul penelitian karya ilmiah. Hampir dapat dipastikan bahwa judul penelitian yang tidak memiliki basis persoalan epistemologis yang jelas lagi penting akan tertolak, hatta rumusan judulnya terbilang begitu aduhai secara proposisi dan retorika.
Makanya, secara teknis-prosedural, semua judul penelitian yang diajukan pertama kali harus disertai dengan latar belakang masalah dan rumusan masalah. Tujuannya adalah memberikan gambaran awal bagi tim penerima judul untuk mengetahui apa sesungguhnya landasan epistemologis yang meniscayakan judul penelitian semacam itu bisa diangkat sebagai sebuah karya ilmiah. Bahkan ketika melakukan proses bimbingan pun selalu saja dipertanyakan oleh pembimbing dan juga penguji adalah kerangka pikir atau latar belakang yang mengjiwai dan mengilhami judul dimaksud layak untuk diangkat dan diteliti sebagai sebuah karya ilmiah. Tidak heran kemudian jika mahasiswa seringkali mengganti judul penelitiannya.
Pada konteks ini kita dapat mengatakan bahwa masalah mendahulukan judul penelitian. Tentunya hal demikian jauh berbeda dengan kenyataan di lapangan. Di mana kebanyakan mahasiswa sibuk dan pusing mencari judul dengan pelbagai formatnya, bukan berangkat dari problem yang meniscayakan perlu dirumuskan sebuah judul penelitian. Akhirnya, ketika ditemukan judul penelitian bukannya malah memberikan kabar gembira bagi mahasiswa bersangkutan, akan tetapi malah menambah masalah baru lagi oleh karena dengan judul yang ada rupa-rupanya tidak ada masalah penting yang meniscayakan perlu dilakukan penelitian terkait dengan judul tersebut. Bahkan banyak juga mahasiswa malah meraba-raba untuk menentukan masalah yang melatarbelakangi judulnya.
Tidak berlebihan kemudian dikatakan bahwa penentuan masalah penelitian memiliki kedudukan yang terbilang sangat penting sebagai basis fundament untuk menyusun penelitian dan penulisan karya ilmiah selanjutnya. Dengan menentukan masalah penelitian akan memudahkan peneliti untuk mengidentifikasi hal ihwal lainnya yang berkaitan dengan penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Sehingga, ketika masalah penelitian menjadi sebuah judul penelitian tidak membingungkan peneliti itu sendiri. Peneliti tinggal melanjutkan tahapan dan teknik penyusunan karya ilmiah berdasarkan pedoman penyusunan karya ilmiah yang disediakan oleh masing-masing kampus. Peneliti tidak perlu lagi bingung dan pusing dengan masalah judul penelitiannya. Karena, peneliti berangkat dari masalah sebelum merumuskan menjadi judur penelitian.
Untuk memudahkan memahami persoalan terkait dengan tahapan dan teknik penyusunan karya ilmiah pada point ini kita akan langsung masuk pada contoh dpraktisnya. Misalnya, mahasiswa Syariah dan Hukum hendak melakukan penelitian, maka mahasiswa bersangkutan mengidentifikasi masalah terkait dengan apa yang hendak dijadikan sebagai judul penelitian. Hal demikian bisa ditemukan melalui pembacaan terhadap pelbagai teks yang berkaitan dengan bidang keilmuannya. Atau bisa juga secara langsung menengok konteks kehidupan masyarakat yang memiliki masalah yang berkaitan dengan bidang kajian keilmuannya. Kita ambil contoh bidang keilmuan hukum Islam, khususnya terkait dengan hukum perkawinan (fiqh munakahat). Apa masalah kontekstual terkait dengan hukum perkawinan baik dalam teori maupun praktis.
Di antara masalah faktual terkait dengan hukum perkawinan adalah fenomena praktik poligami dalam kehidupan, baik praktik poligaminya berjalan dengan baik maupun di dalamnya terjadi penyimpangan. Atau masalah terkait dengan aturan perundang-undangan yang mencoba melarang perkawinan poligami bagi wanita PNS. Kedua persoalan terkait dengan aspek hukum perkawinan ini dipandang menjadi cukup beralasan untuk dijadikan sebagai judul sekaligus fokus dan variabel penting dalam penelitian. Dengan masalah tersebut, maka seorang peneliti akan merumuskan judul yang tepat untuk dijadikan sebagai penelitiannya. Di antara judulnya adalah "Larangan Perkawinan Poligami Wanita PNS perspective hukum Islam" atau "Praktik Perkawinan Poligami Masyarakat A Perspective Hukum Islam" dan lain sebagainya.
2.Penentuan Jenis Penelitian
Setelah mengetahui masalah penelitian, maka tahapan selanjutnya adalah menentukan jenis penelitian. Lagi-lagi, point ini terbilang sangat penting juga bagi peneliti, apalagi penelitinya terbilang masih pemula. Bahkan peneliti lama sekalipun juga penting sekali untuk melalui tahapan tersebut. Karena, point ini akan menentukan model rumusan judul penelitian seperti apa bagusnya; apakah penelitian kepustakaan (library research) atau penelitian lapangan (field research)? Kalau penelitian lapangan misalnya, apakah jenis penelitiannya menggunakan analisis kualitatif atau kuantitatif? Tujuannya sederhana, yakni tidak membuat peneliti bingung dan pusing sendiri dengan rumusan judulnya. Ya, tidak tahu jenis penelitian apa yang hendak digunakan berpotensi sekali membuat seorang peneliti bingung dan pusing sendiri dengan judul penelitiannya.
Misalnya, maunya penelitian kepustakaan, namun rumusan judul malah bercorak penelitian lapangan. Dan, juga maunya jenis penelitian kualitatif, namun malah rumusan judul nampak corak dan karakter penelitian kuantitatif. Tentunya, kondisi semacam ini mau tidak membuat peneliti pasti akan bingung dan pusing. Bisa saja peneliti akan mengubah rumusan judul penelitiannya. Atau bisa juga malah megubah jenis penelitiannya. Sama-sama akan menambah pekerjaan bagi seorang peneliti. Di situlah letak urgensitas dan signifikansi penentuan jenis penelitian, cukup membantu peneliti dalam merumuskan judul penelitian yang tepat sesuai dengan kecenderungan akan jenis penelitian yang hendak digunakan dalam penelitiannya. Sehingga, setelah judul dirumuskan tidak harus diotak-atik kembali. Kalau pun dengan terpaksa diotak-atik, maka hanya masalah teknis saja, bukan masalah substansial.
3.Perumusan Judul Penelitian
Ketika kedua tahapan sebelumnya sudah terpenuhi, maka tahapan selanjutnya adalah membuat rumusan judul yang tepat dan ideal, baik dari segi kata-kata maupun bangunan narasinya. Bisa juga judul penelitian dibuat sedemikian rupa sehingga tim penerima judul berikutnya pembimbing dan penguji membacanya langsung tertarik bahkan tertantang malahan. Di situ bisa saja menggunakan rumusan judul penelitian yang terbilang biasa-biasa saja hingga pada judul penelitian yang terbilang agak "nakal" (karena menggigit dan provokatif, misalnya). Tidak salah kemudian pada tahapan ini terbilang persoalan teknis semata, karena kedua tahapan sebelumnya sudah dilalui. Sehingga, judulnya bukan semata keren dan menarik serta menggelitik, akan tetapi di sana juga terdapat banguan argumentasi yang kuat terkait dengan alasan mendasar yang mengharuskan perlu ada judul penelitian tersebut.
4.Menyusun Proposal Penelitian
Ketika rumusan judul sudah jadi dan sudah juga diterima oleh tim penerima judul pada masing-masing program studi, maka langkah selanjutnya adalah menyusun proposal penelitian. Tahapan ini adalah tahapan inti dan membutuhkan action dari seorang peneliti. Prinsip dan metode yang perlu diperhatikan dan dilakukan pada tahapan ini adalah kembali melihat tahapan penilaian karya ilmiah yang dibahas sebelumnya di atas, yakni terkait dengan konten dan metode penulisan karya ilmiah. Di situ seorang peneliti harus menyusun proposal penelitian berdasarkan dua ketentuan umum tersebut. Sehingga, proposal penelitian yang dihasilkan nantinya benar-benar memenuhi standar kelayakan sebagai sebuah karya ilmiah untuk dilanjutkan pada tahapan-tahapan selanjutnya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H