Kebaruan (konten) karya ilmiah dapat dilihat langsung pada judul karya ilmiah, rumusan konsep dan gagasan karya ilmiah dan hasil temuan karya ilmiah. Ketiganya ini memiliki kedudukan yang begitu penting dalam prinsip kebaruan karya ilmiah. Judul suatu karya ilmiah yang nyaris sama sangat rentan sekali untuk mengajak seorang mahasiswa _dalam keadaan terpaksa maupun tidak_ untuk memasuki wilayah plagiasi. Bersamaan dengan itu, judul semacam itu menandakan seorang mahasiswa kehilangan daya berpikir ilmiahnya, sehingga terjebak dalam budaya berpikir instan, masa bodoh hingga menjadi plagiator. Banyak judul-judul karya ilmiah dalam konteks seperti ini.
Begitu pula rumusan konsep dan gagasan beserta temukan harus atau sebisa mungkin diupayakan untuk ada nilai kebaruan di dalamnya. Meskipun agak berat rasanya manakala hal demikian dilakukan oleh seorang mahasiswa. Karena, corak dan model penulisan karya ilmiah kita nampaknya terlampau normatif, hatta untuk kategori jenis penelitian lapangan (field research) sekalipun. Selain hal semacam itu memerlukan sebuah kecerdasan intelektual yang dibarengi dengan kekuatan literasi. Apalagi dosen kadang juga memberikan contoh semacam itu. Sehingga, mau tidak mau mahasiswa juga melakukan hal yang sama, meskipun nantinya ada sedikit perbedaan rumusan konsep dan gagasan hingga penggunaan kutipan referensi.
Kedua; prinsip orisinalitas konten karya ilmiah. Prinsip ini terkait erat dengan prinsip sebelumnya. Sekiranya prinsip sebelumnya sudah terpenuhi dengan baik, maka besar kemungkinan prinsip kedua ini akan mudah juga terpenuhi oleh seorang mahasiswa (dan lagi-lagi tentunya oleh dosen juga di dalamnya). Prinsip novelty lebih menekankan aspek kebaruan dan atau hal-hal yang baru (modern), sementara prinsip kedua ini lebih menekankan pada keaslian sebuah karya ilmiah. Dalam kamus bahasa Indonesia, keaslian yang dikaitkan dengan orisinilitas selalu disertai dengan namanya ketekunan. Seolah-olah memberikan pesan bahwa sesungguhnya keaslian itu tidak terlepas dari ketekunan seorang penulis karya ilmiah.
Prinsip kedua ini mengandaikan bahwa sebuah karya ilmiah harus memiliki prinsip dan nilai orisinalitas. Orisinalitas dalam karya ilmiah bermakna bahwa karya bersangkutan benar-benar merupakan hasil karya dan cipta seorang penulis karya ilmiah, bukan hasil copas, daur ulang dan atau dikerjakan oleh orang lain. Termasuk wujud dan bentuk orisinalitas karya ilmiah adalah jujur untuk melakukan kutipan pelbagai referensi sebagai argumentasi justifikasi, baik kutipan dimaksud bersifat langsung maupun tidak langsung (dengan memperhatikan mekanisme terkait dengan kutipan karya ilmiah). Sehingga, prinsip orisinalitas berbicara pada keseluruhan isi karya ilmiah. Artinya, karya ilmiah dari pertama hingga terakhir harus benar-benar merupakan karya asli seorang penulis.
Memang agaknya berat jika prinsip kedua ini dilakukan penulis selevel mahasiswa. Terdapat banyak persoalan menyertai hal ini. Di antaranya karena mahasiswa tidak memiliki budaya literasi yang baik. Budaya literasi mahasiswa biasanya mentok pada membaca dan berdiskusi, tidak ada upaya serius untuk mengembangkan tradisi membaca dan berdiskusi dalam bentuk budaya tulis. Apalagi kalau mahasiswa memang kerjanya hanya pulang pergi kuliah, bermain dan tidur. Sehingga, pada kenyataannya ditemukan banyak mahasiswa memiliki budaya membaca dan berdiskusi begitu luar biasa baik, khususnya dalam lingkup organisasi, namun rupa-rupanya begitu gagap minta ampun ketika berurusan dengan budaya tulis, hatta tulisan tersebut terkait erat dengan status kesarjanaannya.
Selain itu, terdapat pula problem lainnya yang tidak kalah mengerikan. Dunia pendidikan kadang terlampau ideal dalam merumuskan dan menetapkan standar mutu pendidikan. Karena, kadang hal demikian tidak berbanding lurus dengan kondisi riil di lapangan. Kurikulum pendidikan tidak sepenuhnya menciptakan budaya literasi di kalangan mahasiswa. Di mana tidak ada kurikulum khusus lagi berjenjang untuk membiasakan budaya literasi di kalangan mahasiswa. Belum lagi akses-akses untuk memudahkan mahasiswa dalam berkarya secara orisinal tidak semuanya terbuka, mulai dari pembendaharaan referensi di perpustakaan, keterampilan bahasa hingga pada kondisi lingkungan yang tidak begitu mensupport. Lebih para lagi kalau-kalau dosen sebagai tauladan dalam hal ini malah kadang mereproduksi karya ilmiah yang tidak orisinal juga.
Ketiga; prinsip kebermanfaatan karya ilmiah. Lagi-lagi, prinsip ini sangat terkait erat dengan dua prinsip sebelumnya. Logikanya, jika sekiranya kedua prinsip sebelumnya sudah terpenuhi oleh seorang penulis karya ilmiah, maka mau tidak mau juga di dalamnya terdapat sesuatu yang dinamakan sebagai prinsip kebermanfaatan. Paling rendah mungkin prinsip kebermanfaan terkait dengan orisinalitas karya ilmiah. Ya, biar sebuah karya ilmiah terbilang orisinil belum tentu di dalamnya ada kebermanfaatan. Namun, keaslian dapat tergolong sebagai bagian dari kebermanfaatan karya ilmiah, dalam bentuk menulis karya secara orisinal. Sementara puncak kebermanfaatan karya ilmiah adalah manakala suatu karya ilmiah menghadirkan temuan-temuan (baru) yang bermanfaat bagi dunia keilmuan maupun masyarakat.
Ketika ketiga prinsip penulisan karya ilmiah ini sudah terpenuhi, selanjutnya penulis harus memperhatikan mekanisme untuk menterjemahkan prinsip-prinsip tersebut dalam bentuk sebuah karya ilmiah. Mekanisme dimaksud terkait dengan sistematika penulisan karya ilmiah, narasi dan demonstrasi gagasan dan pemikiran, rancang bangun argumentasi yang digunakan dan terakhir kekuatan logis dan rasionalitasnya. Sistematika penulisan menegaskan bahwa karya ilmiah yang hendak ditulis benar-benar sistematis; tidak compang-camping alias dibuat dengan sembarangan. Gambaran sederhananya adalah jika judul tulisan terkait dengan unta, maka hal ihwal yang dibahas nantinya harus juga unta, mulai dari bab satu, bab dua, bab tiga hingga bab lima terkait dengan kesimpulan.
Pada kenyataannya banyak ditemukan karya ilmiah yang kebalikan dari logika demikian. Misalnya judul tulisannya adalah unta, namun isinya malah babi dan domba semua. Tidak ada kaitan sama sekali dengan unta yang menjadi judul penelitiannya. Entah mahasiswanya phobia terhadap unta atau apa. Setelah membaca langsung ditemukan bahwa antara judul penelitian, latar belakang masalah hingga pada pembahasan tinjauan teoretisnya sama sekali tidak memiliki keterkaitan. Namun, dosen pembimbingnya tidak mempersoalkannya dan mengizinkan untuk dilanjutkan seminar proposal dan penelitian. Ini salah satu contoh dari sekian banyak contoh yang didapatkan dalam proses konsultasi karya ilmiah. Apalah daya bagi seorang konsultan manakala di sana sudah ada legacy dari pembimbing dan mahasiswanya juga adem ayem saja.
Sementara narasi, argumentasi dan rasionalitas tulisan juga terbilang begitu penting. Sebuah karya yang baik bukan hanya memiliki unsur kebaruan, orisinalitas dan kebermanfaatan semata, akan tetapi ditulis juga dalam sebuah narasi yang kuat secara argumentasi dan rasionalitas. Narasinya harus saling terpaut antara satu dengan lainnya, juga mengalir bak sebuah air dari muaranya. Narasi terkait erat dengan kecakapan dan keterampilan dalam mendeskripsikan dan mentransformasi gagasan dan pemikiran (besar) menjadi sebuah kata-kata yang kuat, apik, menarik dan enak untuk dinikmati sebagai sebuah karya ilmiah, di dalamnya terdapat lapisan argumentasi yang terbilang begitu kuat, logis dan rasional.
Ketiga prinsip dalam kategori penilaian pertama ini dapat diandaikan dan atau diistilahkan dengan kategori penilaian yang bersifat "ta'aqquli". Dikatakan demikian karena kategori penilaian ini menekankan pentingnya kreativitas dan inovasitas seorang mahasiswa untuk menulis sebuah karya ilmiah. Dengan catatan apa-apa yang menjadi hasil kreativitas dan inovasitas karya ilmiahnya berdasarkan pada prinsip-prinsip penilaian pada kategori penilaian konten karya ilmiah. Sehingga, keliru rasanya jika dalam konteks ini seorang dosen (pembimbing maupun penguji) semacam memaksakan kehendak agar supaya konsep gagasan dan pemikiran beserta kata-katanya juga harus diikuti secara an sich oleh seorang mahasiswa.