Sepanjang 2015 hingga sekarang ini, pembahasan soal media berbasis internet atau media digital yang diakses secara daring (dalam jaringan) alias media online dikalangan jurnalis di Makassar seolah tiada habisnya, malah makin berkembang. Dari pembahasan senjakala media konvensional hingga terperanjat dengan munculnya satu per satu portal news. "Wih! ada lagi media (online) yang baru?" kata seorang kawan yang heran dengan munculnya media baru lagi. Â
Kehadiran berbagai media online di Makassar umumnya di Sulawesi Selatan (Sulsel) ini dirasa begitu gegas. Belum akrab dengan media yang sudah berseliwerang muncul lagi yang baru dan yang lebih baru lagi. Jumlahnya pun tidak main-main, 132 media online. Dari hasil penelusuran dan jumlah itu tumbuh dalam tempo waktu dua tahun, dari Januari 2015 hingga Oktober 2016. Itupun ada kemungkinan belum semua terdeteksi.
Portal-portal ini sepertinya berlomba mendistribusikan informasi paling pertama, tercepat, penyebutan kerennya breaking news, ekslusif hanya di media ini dan media itu, mengupdate sepanjang peristiwa. Berpacu menggunakan algoritma untuk menjadi tautan yang muncul di page pertama mesin pencari Google dan mengejar klaim ranking teratas di mesin penghitung trafik Alexa.com.
Namun ada juga yang sepertinya tidak mementingkan hal-hal itu, yang jelas mereka eksis dengan sejumlah sisipan banner iklan dari tokoh dan publik figur-figur cukup terkenal.
Jika media cetak membutuhkah oplah, televisi dan radio membutuhkan pemirsa, maka media online membutuhkan media social (sosmed) untuk mengaet pengunjung (visitor) demi peningkatan traffic dan ranking Alexa dan pastinya penghasilan dari Google Adsense. Karena itu tautan (link direct) banyak berseliweran di Facebook, Twitter hingga masuk ke area 'dark social' yang lebih privasi melalui aplikasi chating; BBM, WhatsApp, LINE dan lain sebagainya.
Belum lagi, serangan tautan dari Fanpage Facebook milik media online yang kita follow dan akun abal-abal yang kebetulan dibagikan oleh akun kenalan. Jika tidak menjadi tautan berita berlian, ya pastinya berita sampah!
Jumlah 132 media online di Sulsel yang terdeteksi dari Januari 2015 hingga Oktober 2016 ini juga menjadi fenomena terbilang unik, sebab muncul secara berentetan dalam jarak waktu yang tidak terlalu jauh, malah ada yang bersamaan. Mereka muncul bak jamur di musim hujan, kemudian berkecambah dan akan berkembang hingga akan menjadi tumbuhan atau layu sebelum berkembang.
Yah, kita tunggu media daring mana saja yang akan naik daun atau kering kerontang sampai mati. Sebab pada 2010 - 2012 di Makassar pernah tumbuh dalam jumlah tidak sebanyak sekarang tapi juga berangsur hilang. Â Â
Namun pada akhirnya kita akan bertanya-tanya gejala apakah ini. Mungkinkah ini hanya gejala kekinian? media online lagi tren? atau terjangkit euforia dari sebuah pengelolah media online yang terbilang sukses? Atau seolah senjakala media konvensional?
Satu yang pasti, bahwa membuat situs online tidak membutuhkan biaya tinggi, seperti media cetak yang mesti menyiapkan anggaran miliaran untuk menebus biaya cetak, menyiapkan mesin cetak dan kertas. Apa lagi, media online juga tidak membutuhkan terlalu banyak tenaga. Wartawan pun bisa mengelola media online secara mandiri. Tentu ini pelanggaran di perusahaan medianya bekerja.
1. 152 Media Online
Hampir semua kabupaten dan kota di Sulsel terdapat media online. Sepanjang 2016 ini saja muncul 72 media online (setelah tulisan ini dibuat ditemukan lagi dua media online. Jadi sudah 74), dimana hanya dalam waktu tiga bulan terakhir ini 22 media online terregister di provider domain dan hosting. Sementara sepanjang 2015, terhitung ada 34 situs, termasuk media online terbaru dari sebuah perusahaan surat kabar yang cukup besar dan terkenal di Sulsel. Â Tapi toh jumlah itu termasuk banyak dibanding 2014.