Sejak tadi malam, bayang-bayang rupa kampung yang membuat penasaran ini pun kelihatan. Ternyata lokasi perkemahan kami berada ditengah gugusan bukit batuan karts. Bukit batu yang tidak jauh dari rumah daeng Sangkala terdapat situs purbakala bekas tangan dan bekas penelitan arkeolog Universitas Hasanuddin Makassar dan air terjun yang sudah mengering. ”Air terjun inilah yang mengisi sungai sehingga menjadi tawar, jika musim hujan, ”
Matahari belum begitu terik ketika saya dan teman berkeliling dikampung Berua. Kampung ini berada ditengah perbukitan bukit karts dengan hamparan persawahan yang mulai menguning dan tambak yang dikelolah 11 keluarga disana.
Kami menyempatkan keliling melihat secara dekat bekas telapak tangan purba dari cerita daeng Sangkala semalam, namun nihil bekas tangan itu susah dilihat hanya dengan mata telajang. Perlu teknolgi arkelogi untuk melihatnya. Tapi tak apalah, sebab rencana kami adalah kembali menyusuri sungai. Kami penasaran menyusurinya dalam gelap.
Dengan sedikit bertenaga, daeng Sangkala mendorong perahu sampannya yang terjepit diantara bambu tiang jembatan dan bibir pematangan sawah dibawah rumahnya.Didalam anak sungai Berua itu ia mendorongnya hingga mencapai ketinggian sekitar 50 sentimeter.
Perahu ini akan mengantar kami menyusuri jejak para wisatawan mancanegara. Diatas Sampan atau “lepa-lepa” dalam bahasa Makassar ini, kami bertiga harus tenang, sebab jika terlalu banyak goyang perahu bisa terbalik. Tas bawaan kami pun ditaruh didepan dan tak lupa kamera DSLR dikeluarkan untuk menangkap pemandagan yang menanti kami didepan.
”Perahu saya sudah ditumpangi wisatawan dari berbagai dunia. Amerika, Australia, Jepang dan lain-lain, “ ujar Sangkala sambil mengganyung dayungnya keluar dari anak-anak sungai. “Hampir tiap bulan bule datang ke sini, “ sambung dia.
Selepas anak sungai itu, kami langsung disambut cerukan batu raksasa hingga tampak dua bongkahan batu didepan kami. Batu inilah yang membuat saya bertanya-tanya seperti apa rupa tebing itu, ternyata salah satu bentuknya tampak seperti ekor kapal mesin dengan posisi terbalik yang dipenuhi pepohonan diatasnya.
Sampan pun diarahkan menyusuri ditengahnya sehingga tampak jelas dinding tebing kanan dan kiri kami yang lubang-lubang, makin keluar kedua atapnya seperti bertemu sehingga tampak seperti terowongan. Didinding batu itu begitu terlihat jelas garis batas jika air sedang pasang yang setinggi antara 50 sampai 70 sentimeter dari sungai. “Kalau air pasang. Kadang pekarangan rumah ikut kebanjiran, “ kata daeng Sangkala.
Setelah melewati bongkahan batu ini, pemandangan pohon nipah dibibir sungai begitu rapi berbaris. Pohon ini pun mendominasi pemandangan sepanjang aliran sungai hingga mendekati kampung Rammang-rammang. Walau tampak membosankan, namun jejak aktivitas warga setempat cukup mengimbangi suguhan alami kampung terujung kecamatan Salenrang ini. Seperti jaring pukat, bangang kecil, empang, sawah dan gubuk diatas air.
Begitu tenang daeng Sangkala membawa kami, hanya terdengar suara dayung dan Sampan yang saling terantuk-antuk diselingi percikan air saat dayung larut dalam sungai asin ini. Suara burung dan bebek hutan pun bersautan dibalik hutan nipah. ”Kalau musim kemarau seperti ini air sungai menjadi asin. Air ini dari laut.” ujar bapak berusia 40 tahun ini. ”Kalau musim hujan airnya juga menjadi tawar, ” sambungnya.
Sangkala bercerita, para pelancong dari Eropa sukanya mencari pemandangan alam dan keadaan penduduk yang tidak tersentuh kemewahan. ”Kami biasa dihubungi terlebih dahulu oleh pemandu wisata sebelum mereka kemari, ” kata dia.