Mohon tunggu...
Azis Kuba
Azis Kuba Mohon Tunggu... -

Tinggal di Makassar suka sesuatu yang jauh dan mampu saya tulis: Wisata dan petualangan, sepertinya bersuadara.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyusuri Sungai Asin Salengrang Maros

2 Oktober 2011   09:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Hari mulai gelap, aktivitas pertanian di dusun Salenrang, Kecamatan Bontao, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan berangsur-angsur berakhir. Suara mesin penggiling beras berhenti dan kerbau sudah masuk kubangannya. Tak lama, ribuan kelilawar berterbangan diatas saya dan teman yang berdiri diatas jembatan besi, menunggu perahu sampan yang akan menghantar kami ke kampung Berua. Barisan rombongan hewan malam ini begitu panjang hingga jejaknya dan arah berpencarnya bisa disaksikan. Hewan itu hilang disekitar kawasan pabrik Semen Bosowa.

Sumber: rombongan Kelelawar (FOTO: Iqbal Lubis)


Perkampungan Berua berada paling ujung kecamatan Salenrang, berbatasan dengan kabupaten Pangkep dan lokasi itu tujuan kami malam ini. Disana sudah ada teman-teman lain menunggu tapi lost contact . Perkiraan saya tempat ini begitu mudah ditemukan ternyata meleset. Kami sempat panik dan binggung sebab tidak ada jalur darat dan hari sudah gelap Untung bertemu Irwan, aktivis pencinta alam Maros, ia menyarankan agar kami menumpangi perahu Sampan, sebab melewati jalur darat cukup rumit ditempuh bagi orang baru seperti saya, apalagi jalur darat penduduk ke kampung Berua memang tidak ada.

”Tidak ada jalur darat disini. Mending naik perahu saja. Cukup dekat jika lewat sungai, ” kata Irwan.

Kami pun menunggu sampan yang hendak kesana. Irwan meninggalkan kami, waktu Magrib sudah lewat dan sudah benar-benar gelap, tidak ada perahu lewat dan suasana mencekam tiba. Daeng Rumpa yang kebetulan lewat melihat kami nongkrong diatas jembatan sambil membakar ranting, ia pun mendekati kami. Setelah ngobrol soal tujuan kami akhirnya dia bersedia mengantar kami, tapi setelah salat Isya.

”Tak apalah pak. Salat dulu lah, ” ucapku pada kakek berusia sekitar 60 tahun itu.

Lepa-lepa atau perahu sampan Daeng Rumpa akhirnya ditarik ke pinggir sungai dalam keremangan dari senter kepala (headlamp) yang kami bawa, sesuai janjinya sekitar pukul 20.00 Wita.

Ia mengantar kami ke dusun yang terletak paling ujung Rammang-rammang. Lengannnya terus mengayun dayungnya dan ia pun terus bercerita dan cukup mengejutkan kami, katanya air dibawah ini adalah air asin, apa lagi itu musim kemarau sungai yang mengelilingi kawasan kart ini diisi air dari laut selat Makassar. Sebab dua ujung sungai ini bermuara di laut.”Kalau musim timur seperti ini air sungai menjadi asin. Karena air ini dari laut.” ujarnya, sembari mengayuh dayungnya didalam gelap. ”Kalau musim hujan airnya juga menjadi tawar, ” sambungnya.

Sekitar 45 menit dari jembatan Rammang-rammang, warga sekitar sebutanya jembatan Besi.

Menyusuri sungai dalam gelap malam itu, tidak begitu banyak pemandangan yang sempat mengenai cahaya senter kepala kami. Hanya barisan pohon nipah yang tumbuh dibibir sungai dan atraksi beberapa ekor ikan sungai atau udang kecil yang lompat ke atas perahu kami.

”Saya sudah biasa menyusuri sungai ini saat malam dan tanpa cahaya senter. Saya manfaatkan cahaya bulan, ” ujar daeng Rumpa. Malam itu kami sampai juga dengan selamat dan penuh ketegangan, sebab ini pengalaman pertama saya naik sampan dalam gelap dan dinahkodai seorang kakek. Akhirnya camp perkemahan teman saya ketemukan, itu setelah berputar-putar dipersawahan.

* * *

Sejak tadi malam, bayang-bayang rupa kampung yang membuat penasaran ini pun kelihatan. Ternyata lokasi perkemahan kami berada ditengah gugusan bukit batuan karts. Bukit batu yang tidak jauh dari rumah daeng Sangkala terdapat situs purbakala bekas tangan dan bekas penelitan arkeolog Universitas Hasanuddin Makassar dan air terjun yang sudah mengering. ”Air terjun inilah yang mengisi sungai sehingga menjadi tawar, jika musim hujan, ”

Matahari belum begitu terik ketika saya dan teman berkeliling dikampung Berua. Kampung ini berada ditengah perbukitan bukit karts dengan hamparan persawahan yang mulai menguning dan tambak yang dikelolah 11 keluarga disana.

Kami menyempatkan keliling melihat secara dekat bekas telapak tangan purba dari cerita daeng Sangkala semalam, namun nihil bekas tangan itu susah dilihat hanya dengan mata telajang. Perlu teknolgi arkelogi untuk melihatnya. Tapi tak apalah, sebab rencana kami adalah kembali menyusuri sungai. Kami penasaran menyusurinya dalam gelap.

Dengan sedikit bertenaga, daeng Sangkala mendorong perahu sampannya yang terjepit diantara bambu tiang jembatan dan bibir pematangan sawah dibawah rumahnya.Didalam anak sungai Berua itu ia mendorongnya hingga mencapai ketinggian sekitar 50 sentimeter.

Perahu ini akan mengantar kami menyusuri jejak para wisatawan mancanegara. Diatas Sampan atau “lepa-lepa” dalam bahasa Makassar ini, kami bertiga harus tenang, sebab jika terlalu banyak goyang perahu bisa terbalik. Tas bawaan kami pun ditaruh didepan dan tak lupa kamera DSLR dikeluarkan untuk menangkap pemandagan yang menanti kami didepan.

”Perahu saya sudah ditumpangi wisatawan dari berbagai dunia. Amerika, Australia, Jepang dan lain-lain, “ ujar Sangkala sambil mengganyung dayungnya keluar dari anak-anak sungai. “Hampir tiap bulan bule datang ke sini, “ sambung dia.

Selepas anak sungai itu, kami langsung disambut cerukan batu raksasa hingga tampak dua bongkahan batu didepan kami. Batu inilah yang membuat saya bertanya-tanya seperti apa rupa tebing itu, ternyata salah satu bentuknya tampak seperti ekor kapal mesin dengan posisi terbalik yang dipenuhi pepohonan diatasnya.

Sampan pun diarahkan menyusuri ditengahnya sehingga tampak jelas dinding tebing kanan dan kiri kami yang lubang-lubang, makin keluar kedua atapnya seperti bertemu sehingga tampak seperti terowongan. Didinding batu itu begitu terlihat jelas garis batas jika air sedang pasang yang setinggi antara 50 sampai 70 sentimeter dari sungai. “Kalau air pasang. Kadang pekarangan rumah ikut kebanjiran, “ kata daeng Sangkala.

Setelah melewati bongkahan batu ini, pemandangan pohon nipah dibibir sungai begitu rapi berbaris. Pohon ini pun mendominasi pemandangan sepanjang aliran sungai hingga mendekati kampung Rammang-rammang. Walau tampak membosankan, namun jejak aktivitas warga setempat cukup mengimbangi suguhan alami kampung terujung kecamatan Salenrang ini. Seperti jaring pukat, bangang kecil, empang, sawah dan gubuk diatas air.

Begitu tenang daeng Sangkala membawa kami, hanya terdengar suara dayung dan Sampan yang saling terantuk-antuk diselingi percikan air saat dayung larut dalam sungai asin ini. Suara burung dan bebek hutan pun bersautan dibalik hutan nipah. ”Kalau musim kemarau seperti ini air sungai menjadi asin. Air ini dari laut.” ujar bapak berusia 40 tahun ini. ”Kalau musim hujan airnya juga menjadi tawar, ” sambungnya.

Sangkala bercerita, para pelancong dari Eropa sukanya mencari pemandangan alam dan keadaan penduduk yang tidak tersentuh kemewahan. ”Kami biasa dihubungi terlebih dahulu oleh pemandu wisata sebelum mereka kemari, ” kata dia.

Turis biasanya datang berkelompok, paling banyak 12 orang. Maka Daeng Sangkala dan warga kampung Berua dan kampong Tintingan harus menyiapkan sebanyak itu. Meski perahu sampan itu bisa memuat hingga empat orang untuk ukuran orang indonesia, namun wisatawan itu sukanya hanya berdua dengan pengayung. ”Mereka juga tidak mau naik kapal bermesin. Berisik kata mereka, ” jelas dia. Mereka memotret pemandangan dari atas perahu.

Dia menceritakan, jika turis datang, biasanya ditampung dirumah salah satu warga di kampung Tintingan. Disana, kata daeng Sangkala, mereka paling suka makan pisang goreng dan makanan tradisional ”roko-roko unti” . Makanan itu dipesan sebelumnya oleh ”guide” yang membawanya. ”Setelah makan dan istirahat barulah mereka berwisata diatas perahu, ”

Wisatawan yang suka sungai dan alam sekitarnya sepertinya sangat cocok ke daerah yang tidak jauh dari kawasan pabrik semen Bosowa ini. Perjalanan kami dari kampung Tintingan menuju jembatan Bosowa, tempat akhir perjalanan mereka memang disuguhi kekayaan eksotisme alam. Seperti gugusan bukit batu dibalik pohon nipah, pohon bakau, dan batu besar yang membentuk terowongan ditengah sungai. Juga batu yang muncul dari bawah sungai sehingga tampak seperti pohon tengah sungai.

Disekitar sungai terdapat kawasan perbatuan berwarna hitam yang diberi naman ”taman batu”. Dari sungai bentukan khas dari proses pelarutan gamping menimbulkan pemandangan yang sangat indah dan berbagai macam pohon dicelahnya. ”Di Rammang-rammang juga terdapat objek wisata purbakala bekas tangan, ” kata Sangkala.

Kawasan Salenrang adalah wilayah perbukitan kapur yang memliki bentuk khas dan unik dengan luas sekitar 13.000 hektar dan dilalui sungai dari Kampung Kassi, Desa Tonasa, Kecamatan  Balocci, Kabupaten Pangkep menuju jembatan Bosowa, sungai Galanggara hingga ke laut Maros.

Setelah mampir di jembatan Bosowa lalu kembali ke jembatan Besi untuk menyaksikan gua purbakala yang terdapat bekas telapak tangan dan lukisan yang menyurupai binatang udang dan ikan. Gua ini terletak sekitar satu kilometer dari jembatan itu. ”Para turis sering masuk kesana, ” kata Ismail Daeng Baso, warga kampung Berua.

Warga setempat menamakan gua karamaka atau gua keramat, karena dipercaya sistem perekahan batu karts itu suci. Untuk mencapai objek wisata itu, akan melalui pematangan sawah, empang dan anak-anak sungai. Daerah ini berada diatas ketinggian jadi harus mendaki sekitar 10 meter.

Di dinding gua terdapat tangan kecil yang menyerupai tangan sebelah kiri, kanan serta ada juga yang tidak sempurna lima jari. Ada yang mulai hilang. Gambar binatang yang menyerupai ikan dan udang itu dapat disaksikan jika tengadah sebab gambarnya terdapat diatap dan terhimpit batu. Objek purbakala itu ditemukan dimulut gua.

Tidak sampai disitu, gua ini juga bisa dimasuki. Menurut penduduk sekitar gua itu cukup panjang dan dalam atau bertingkat-tingkat.

****

Jembatan Salenrang yang terdapat di dusun Rammang-rammang bisa dijadikan patokan untuk menuju desa terakhir atau kampung Berua yang menawarkan pemandangan bukit kapur dan goa keramaka.

Jembatan ini terletak sekitar 1 kilometer lebih dari masjid Al-Ikhlas atau Garudu Induk Maros. Keduanya bisa menjadi patokan untuk menemukan jalan masuk. Sebenarnya tidak ada jalur angkutan masuk sampai ke dalam, namun sangat mudah menggunakan motor atau mobil pribadi dan carteran.

Sepanjang jalur menuju jembatan akan ditemui taman batu. Sementara tarif perahu sampan bervariasi antara Rp 50.000 – Rp 150.000. Selain lewat disamping Gardu Induk, jembatan Bosowa juga bisa menjadi patokan karena disini para warga sekitar Rammang-rammang memarkir perahu jika hendak ke pasar. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun