Kebiasaan buruk dari gangguan shortened attention span ini sebenarnya rawan bagi mereka yang sehari-harinya berinteraksi dengan internet terkhusus pada konten-konten youtube, instagram hingga tiktok. Beberapa media sosial ini menawarkan konten video yang berdurasi singkat. Meskipun mampu memberikan informasi dalam waktu singkat, tetapi hal ini membuat mereka yang terkena efeknya akan mengalami gangguan menurunnya kemampuan seseorang untuk fokus pada suatu kegiatan dalam waktu yang lama. Pada tahun 2000 saja kemampuan perhatian manusia hanya selama 12 detik. Kemudian pada tahun 2010 kemampuan menurunnya seseorang menurun hingga 8 detik.
Kemampun ini akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka mengonsumsi konten-konten di media sosial. Buruknya lagi konten-konten di sosial media memang sengaja dirancang untuk menyampaikan dalam waktu singkat namun, tetap memberikan informasi. Namun, informasi yang disampaikan tentu tidak akan bisa selengkap dengan yang terjadi. Alhasil para penggunanya akan terbiasa dengan informasi yang cepat dan sulit dalam berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama. Hal ini juga akan berdampak pada kemampuan para pengidapnya untuk memproses informasi dan menerima informasi apa saja yang tersedia di depannya.
Generasi alpha yang memiliki kecenderungan interaksi sejak kecil dengan media sosial akan sangat mudah mengalami gangguan shortened attention span. Dampak buruknya adalah kelompok generasi ini akan mudah terbawa arus informasi yang menyesatkan. Implikasi lainnya adalah menurunnya minat baca buku yang menurun. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa buku merupakan salah satu sumber yang kredibel dan lengkap. Pada umumnya buku memuat informasi yang lebih lengkap ketimbang konten-konten media sosial.
- Menurunnya Minat Membaca Buku
Shortened attention span yang menyebabkan berkurang fokus seseorang pada pekerjaan-pekerjaan yang memiliki durasi panjang. Pada kasus tertentu implikasi ini dapat mengakibatkan menurunnya tingkat literasi seseorang. Membaca buku sejatinya merupakan proses penting dalam pembentukan kreativitas dan imajinasi seseorang. tidak hanya itu, buku juga memberikan ruang kritis bagi seorang individu untuk mempertanyakan isi dari konten yang ditawarkan oleh buku tersebut. Hal inilah yang tidak mungkin didapatkan bagi mereka yang tidak mau mengakses buku sebagai media informasi.
Jika melihat hasil riset yang dilakukan oleh UNESCO minat baca Indonesia hanya 0,00% yang diartikan bahwa dari 1000 orang hanya ada 1 orang yang rajin membaca. riset ini pun selaras dengan rangkingworld's most literate nations ranked yang dilakukan oleh central connecticut state university. Rangking yang dilakukan pada tahun 2016 ini menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 minat baca di dunia (Wibowo, 2021). Kondisi ini berbanding terbaling dengan tingkat pengguna gadget di Indonesia yang menjadi salah satu negara yang memiliki tingkat pengunaan internet tertinggi.
Menurut data yang dihimpun oleh Komunitas We are Social pengguan internet aktif di Indonesia mencapai angka 212, 9 juta, sedangkan pengguna media sosial mencapai angka 167 juta orang. Angka ini merupakan sebuah data yang tinggi untuk menggambarkan bagaimana tingginya angka penggunaan internet dan media sosial di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar sudah memiliki kemampuan untuk mengakses internet.
Tingginya akses internet ini berbanding terbalik dengan minat baca masyarakat Indonesia. Menurut data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2020 hanya ada sekitar 10% penduduk Indonesia yang rajin membaca. Angka ini tentu merupakan hal yang mengkhawatirkan. Bagi sebuah negara sebesar Indonesia dengan penduduk jutaan memiliki angka akses terhadap buku sekecil itu menandakan betapa tidak pedulinya mereka dengan ilmu pengetahuan. Kondisi ini menandai bahwa masih ada banyak orang yang tidak memiliki minat terhadap buku. Tidak heran apabila masyarakat Indonesa mudah sekali terserang hoax dan berita-berita bohong.
Minimnya tingkat literasi di Indonesia sebenarnya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan individu. Akses dan ketersediaan buku-buku fisik seringkali tidak memadai. Akses infornasi berupa buku seringkali hanya bisa dinikmati mereka yang berada di pusat perkotaan ataupun lembaga kependidikan. Kondisi membuat mereka yang jauh dari pusat perkotaan tidak mampu untuk mengaksesnya. Kelangkaan akses ini membuat jurang minat terhadap membaca buku menjadi semakin dalam. Buruknya lagi, hal ini seolah menjadi permasalahan yang dibiarkan selama bertahun-tahun lamanya.
Kondisi seperti ini sebenarnya hanya terjadi pada masyarakat Indonesia secara umum. Bagi kelompok generasi alpha yang sudah melek teknologi sejak belia, akses informasi sebenarnya bukanlah hal yang sulit. Namun, ancaman lainnya adalah kemudahan dan bertebarannya informasi di internet dan media sosial memberikan opsi bagi kelompok ini untuk lebih memilih akses yang mudah dan cepat. Sehingga tidak mengherankan apabila akses informasi di internet jauh lebih diminati ketimbang mencari informasi di buku.
Secara perlahan budaya membaca akan ditinggalkan dan orang akan beralih pada akses-akses informasi pada platform digital saja. Fenomena ini tentu saja memberikan ancaman nyata bagi mereka yang menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk buku, Terkhusus kalangan sejarawan. Kelompok sejarawan saat masih terus menjadi buku sebagai media penyampaikan narasi-narasi yang telah mereka teliti. Tentu hal ini merupakan salah satu bentuk dari kewajiban mereka sebagai seorang akademisi. Dampaknya, di tengah menurunnya angka literasi kalangan sejarawan juga harus memberikan sentuhan agar informasi yang mereka tulisan dapat tersampaikan bagi generasi alpha.
Â
- Tantangan SejarawanÂ