Mohon tunggu...
Azi Wansaka
Azi Wansaka Mohon Tunggu... Sejarawan - Mahasiswa Sejarah

Pengasuh @silenthistory.id

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tantangan Sejarawan dalam Menghadapi Shortened Span pada Generasi Alpha

19 Oktober 2024   19:32 Diperbarui: 19 Oktober 2024   19:52 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com

Perkembangan media sosial dengan berbagai konten yang ditawarkan memberikan warna baru bagi orang-orang berinteraksi di seluruh dunia. Kondisi ini membuat semua orang mampu terhubung dalam jarak yang jauh dan melewati batas-batas teriorital. Tidak hanya itu, akses informasi yang cepat membuat setiap orang bisa dengan mudah mengetahui informasi yang terjadi hanya melalui gadget yang ia pegang. Meskipun, terlihat menakjubkan ada ancaman serius dibalik perkembangan media sosial ini.

Salah satu ancaman serius pada perkembangan media sosial adalah sifat adiktif yang ditimbulkan melalui media sosial yang diakses. Sehingga, orang akan sangat sulit untuk bisa lepas dari pengaruh media sosial yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu kelompok generasi yang memiliki potensi besar mengalami hal ini adalah generasi alpha. Generasi ini merupakan generasi yang lahir dengan dikelilingi akses informasi yang melimpah. Namun, terdapat potensi lain yang sangat sulit untuk dideteksi, yaitu potensi gangguan shortened attention span.

Kondisi shortened attention span memberikan dampak terhadap daya tahan seseorang dalam mengerjakan sebuah pekerjaan. Alhasil seseorang bisa dengan mudah mengalami distraksi dan gangguan yang membuat ia tidak fokus untuk melakukan sesuatu. Kondisi ini setidaknya berpengaruh pula terhadap daya tahan seseorang ketika membaca buku. Meskipun, internet dan media sosial memberikan ruang informasi yang beragam, tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali konten yang ditawarkan tidak menyajikan informasi yang lengkap.

Bagi kalangan sejarawan, tentu ini menjadi ancaman yang serius. Sejarawan masih menjadikan buku sebagai sebuah media untuk menyampaikan narasi dan hasil kajian penelitiannya. Meskipun, kini mulai banyak bermunculan kreator konten yang membahas isu-isu sejarah yang membuat kajian sejarah menjadi lebih menarik. Namun, potensi tersebut akan berbahaya ketika para penikmatnya hanya menerima informasi secara singkat pada konten-konten yang mereka konsumsi. Hal inilah yang sekali lagi menjadi tantangan bagi kalangan sejarawan untuk menyajikan narasi sejarah tetapi tetap membawa informasi yang utuh.

  • Attention Deficit Disorder pada Generasi Alpha

Penggunaan istilah alpha merupakan sebuah verifikasi dari huruf pertama alphabet Yunani yang memiliki arti pertama dari serangkaian kategori. Namun, penggunaan istilah generasi alpha sendiri baru digunakan oleh seorang peneliti bernama Mark McCrindle (Hidayat, 2021). Secara karateristik kelompok generasi ini memang hampir mirip dengan generasi sebelumnya yaitu generasi Z yang juga melek terhadap perkembangan teknologi. Koneksi generasi alpha yang kuat terhadap perkembangan teknologi membuat mereka dikenal juga dengan kelompok yang melek teknologi sejak belia.

Generasi alpha atau yang juga sering disebut generasi digital lahir pada rentang tahun 2010 hingga sekarang. Kelompok generasi ini menjadikan teknologi dan informasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari (Radhiyani, 2024). Kondisi ini bisa dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang sudah menjangkau luas banyak orang di seluruh dunia. Sehingga siapa pun bisa dengan mudah mengakses teknologi dari manapun. Informasi yang melimpah ini membuat generasi ini menjadi mahir dan akrab dengan teknologi yang mereka gunakan Istilah ini dikenal juga dengan screeenager.

Istilah screeenager merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut orang-orang yang pandai dalam menggunakan perangkat elektronik seperti komputer gadget, hingga tablet. Tidak hanya itu mereka juga menghabiskan sebagai besar waktunya untuk berinteraksi dengan media sosial, bermain game hingga menjelajahi internet. Istilah ini sendiri diperkenalkan pertama kali di Inggris pada tahun 1959 dan muncul di Times of India. Kehadiran screeenager dianggap sebagai kemajuan dari tren digital dan memberikan warna baru dalam dunia digital.

Generasi alpha lahir di tengah perkembangan teknologi yang sedang pesaat-pesatnya. Tidak mengherankan apabila mereka sudah menerima beragam informasi sejak belia. Hal ini memberikan pola pendidikan yang cenderung memiliki perbedaan dengan generasi-generasi sebelumnya (Yuliandari, 2020). Generasi ini digadang-gadang sebagai kelompok generasi yang akan membawa kemajuan zaman di masa yang mendatang, terkhusus pada bidang teknologi dan informasi.

Kehadiran generasi alpha sebenarnya memberikan indikasi positif mengenai tingkat penggunaan internet yang tinggi. Selain itu, mereka yang mengenal dunia digital sangat tanggap terhadap isu-isu yang berkembang sehingga memiliki kecenderungan mudah dalam merespon isu yang berkembang. Kemudahan dalam memberikan tanggap ini membawa pada berbagai perspektif yang bisa mereka gunakan dalam memandang suatu permasalahan. Berbeda hal nya dengan generasi-generasi yang hanya bisa mengakses satu sumber informasi saja. Namun, mudahnya informasi yang mereka terima membuat daya kritis terhadap isu yang ada menjadi berkurang dan mudah percaya apa saja informasi yang beredar di internet.

Meskipun memiliki indikasi positif, generasi alpha yang akrab dengan teknologi ini memberikan akan memicu kecenderungan adiksi terhadap teknologi termasuk media sosial (Indrajit, 2021). Gangguan kecanduan atau adiksi yang terjadi pada teknologi dan internet berakibat pada shortened attention span. Gangguan shortened attention span merupakan kondisi dimana seseorang memiliki kesulitan untuk fokus pada suatu hal dalam jangka waktu yang lama. Gangguan ini terjadi pada kegiatan-kegiatan yang membutuhkan fokus mendalam. Kemampuan fokus ini akan berakibat pada buruknya kinerja seorang siswa di sekolah atau pun seseorang ketika berada di tempat kerja. kinerja buruk yang terjadi secara terus-menerus ini tidak hanya memberikan dampak buruk bagi individu, melainkan juga dalam hubungannya dengan orang lain.

Perubahan yang terjadi akibat shortened attention span merupakan sebuah fenomena global. Perubahan ini seringkali disebabkan oleh pengamnilan gambar yang terus memendek selama beberapa dekade. Pada tahun 1920-an rata-rata durasi pengambilan gambar lebih panjang yang membuat orang bisa fokus untuk melihat dialog yang ada pada film. Perubahan durasi mulai terjadi pada tahun 1930 dimana pengambilan gambar menjadi rata-rata 12 detik per gambarnya (Mark, 2023). Kondisi ini sebenarnya dapat diperhatikan pada proses pengambilan gambar pada film-film yang kini ditayangkan di televisi.

Kebiasaan buruk dari gangguan shortened attention span ini sebenarnya rawan bagi mereka yang sehari-harinya berinteraksi dengan internet terkhusus pada konten-konten youtube, instagram hingga tiktok. Beberapa media sosial ini menawarkan konten video yang berdurasi singkat. Meskipun mampu memberikan informasi dalam waktu singkat, tetapi hal ini membuat mereka yang terkena efeknya akan mengalami gangguan menurunnya kemampuan seseorang untuk fokus pada suatu kegiatan dalam waktu yang lama. Pada tahun 2000 saja kemampuan perhatian manusia hanya selama 12 detik. Kemudian pada tahun 2010 kemampuan menurunnya seseorang menurun hingga 8 detik.

Kemampun ini akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka mengonsumsi konten-konten di media sosial. Buruknya lagi konten-konten di sosial media memang sengaja dirancang untuk menyampaikan dalam waktu singkat namun, tetap memberikan informasi. Namun, informasi yang disampaikan tentu tidak akan bisa selengkap dengan yang terjadi. Alhasil para penggunanya akan terbiasa dengan informasi yang cepat dan sulit dalam berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama. Hal ini juga akan berdampak pada kemampuan para pengidapnya untuk memproses informasi dan menerima informasi apa saja yang tersedia di depannya.

Generasi alpha yang memiliki kecenderungan interaksi sejak kecil dengan media sosial akan sangat mudah mengalami gangguan shortened attention span. Dampak buruknya adalah kelompok generasi ini akan mudah terbawa arus informasi yang menyesatkan. Implikasi lainnya adalah menurunnya minat baca buku yang menurun. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa buku merupakan salah satu sumber yang kredibel dan lengkap. Pada umumnya buku memuat informasi yang lebih lengkap ketimbang konten-konten media sosial.

  • Menurunnya Minat Membaca Buku

Shortened attention span yang menyebabkan berkurang fokus seseorang pada pekerjaan-pekerjaan yang memiliki durasi panjang. Pada kasus tertentu implikasi ini dapat mengakibatkan menurunnya tingkat literasi seseorang. Membaca buku sejatinya merupakan proses penting dalam pembentukan kreativitas dan imajinasi seseorang. tidak hanya itu, buku juga memberikan ruang kritis bagi seorang individu untuk mempertanyakan isi dari konten yang ditawarkan oleh buku tersebut. Hal inilah yang tidak mungkin didapatkan bagi mereka yang tidak mau mengakses buku sebagai media informasi.

Jika melihat hasil riset yang dilakukan oleh UNESCO minat baca Indonesia hanya 0,00% yang diartikan bahwa dari 1000 orang hanya ada 1 orang yang rajin membaca. riset ini pun selaras dengan rangkingworld's most literate nations ranked yang dilakukan oleh central connecticut state university. Rangking yang dilakukan pada tahun 2016 ini menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 minat baca di dunia (Wibowo, 2021). Kondisi ini berbanding terbaling dengan tingkat pengguna gadget di Indonesia yang menjadi salah satu negara yang memiliki tingkat pengunaan internet tertinggi.

Menurut data yang dihimpun oleh Komunitas We are Social pengguan internet aktif di Indonesia mencapai angka 212, 9 juta, sedangkan pengguna media sosial mencapai angka 167 juta orang. Angka ini merupakan sebuah data yang tinggi untuk menggambarkan bagaimana tingginya angka penggunaan internet dan media sosial di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar sudah memiliki kemampuan untuk mengakses internet.

Tingginya akses internet ini berbanding terbalik dengan minat baca masyarakat Indonesia. Menurut data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2020 hanya ada sekitar 10% penduduk Indonesia yang rajin membaca. Angka ini tentu merupakan hal yang mengkhawatirkan. Bagi sebuah negara sebesar Indonesia dengan penduduk jutaan memiliki angka akses terhadap buku sekecil itu menandakan betapa tidak pedulinya mereka dengan ilmu pengetahuan. Kondisi ini menandai bahwa masih ada banyak orang yang tidak memiliki minat terhadap buku. Tidak heran apabila masyarakat Indonesa mudah sekali terserang hoax dan berita-berita bohong.

Minimnya tingkat literasi di Indonesia sebenarnya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan individu. Akses dan ketersediaan buku-buku fisik seringkali tidak memadai. Akses infornasi berupa buku seringkali hanya bisa dinikmati mereka yang berada di pusat perkotaan ataupun lembaga kependidikan. Kondisi membuat mereka yang jauh dari pusat perkotaan tidak mampu untuk mengaksesnya. Kelangkaan akses ini membuat jurang minat terhadap membaca buku menjadi semakin dalam. Buruknya lagi, hal ini seolah menjadi permasalahan yang dibiarkan selama bertahun-tahun lamanya.

Kondisi seperti ini sebenarnya hanya terjadi pada masyarakat Indonesia secara umum. Bagi kelompok generasi alpha yang sudah melek teknologi sejak belia, akses informasi sebenarnya bukanlah hal yang sulit. Namun, ancaman lainnya adalah kemudahan dan bertebarannya informasi di internet dan media sosial memberikan opsi bagi kelompok ini untuk lebih memilih akses yang mudah dan cepat. Sehingga tidak mengherankan apabila akses informasi di internet jauh lebih diminati ketimbang mencari informasi di buku.

Secara perlahan budaya membaca akan ditinggalkan dan orang akan beralih pada akses-akses informasi pada platform digital saja. Fenomena ini tentu saja memberikan ancaman nyata bagi mereka yang menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk buku, Terkhusus kalangan sejarawan. Kelompok sejarawan saat masih terus menjadi buku sebagai media penyampaikan narasi-narasi yang telah mereka teliti. Tentu hal ini merupakan salah satu bentuk dari kewajiban mereka sebagai seorang akademisi. Dampaknya, di tengah menurunnya angka literasi kalangan sejarawan juga harus memberikan sentuhan agar informasi yang mereka tulisan dapat tersampaikan bagi generasi alpha.

 

  • Tantangan Sejarawan 

Perkembangan teknologi memberikan ruang bagi siapa pun untuk berbicara. Dalam waktu singkat seseorang bisa terlihat sangat ahli terhadap topik-topik yang tidak mereka kuasai. Buruknya, fenomena ini seringkali menjadi hal yang diwajarkan ketika para pengguna internet membicarakan kajian yang tidak mereka kuasai. Salah satu kajian tersebut adalah kajian sejarah yang membutuhkan pendidikan khusus untuk bisa disebut sebagai sejarawan. Bahkan, ketika sudah menempuh pendidikan khusus seorang sejarawan harus mampu membuktikan dirinya melalui karya yang ia buat.

Perkembangan media sosial sebenarnya memberikan implikasi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk kajian sejarah. Bidang studi sejarah memiliki tempat untuk menyalurkan ide-ide dan narasi yang dibuat. Fenomena ini sebenarnya dapat juga dilihat dengan munculnya kalangan kreator konten yang berfokus pada isu-isu sejarah. Kreator konten atau yang kita kenal dengan sebutan influencer ini memberikan ruang pembahasan sejarah yang lebih menarik dan tidak monoton. Sehingga kajian sejarah yang seringkali terasa membosankan menjadi kajian yang menarik untuk diulas.

Topik sejarah memang menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan di media sosial. Namun, seringkali konten yang disediakan tidaklah mampu memberikan penjelasan yang lengkap dan detail. Hal ini terjadi akibat konten-konten yang disajikan memang dibuat tidak dalam durasi yang cukup panjang dijelaskan. Fenomena ini sebenarnya memberikan dampak positif dengan tingginya minat para penggunanya untuk mengakases topik tentang sejarah. Namun, konten sejarah yang ada di tiktok dan instagram cenderung didesain dengan waktu yang sangat singkat, berdurasi 30-60 detik saja. Hal ini tentu memberikan dampak minimnya informasi yang ditawarkan.

Bagi kalangan sejarawan maraknya konten medial sosial yang berada di media sosial terutama Tiktok, hingga instagram menjadi tantangan tersendiri. Alasannya adalah bagaimana caranya seorang sejarawan tetap bisa memberikan kajian sejarah yang menarik, namun tetap menjadikan buku sebagai referensi buku yang akan dibaca. Buku masih menjadi media yang efektif dalam menyampaikan informasi yang detail dan lengkap. Narasi sejarah yang disampaikan melalui ruang media sosial akan cenderung mengalami reduksi data yang berdampak pada singkatnya informasi yang disampaikan oleh sejarawan.

Seorang sejarawan yang menulis buku sejarah biasanya dilatih dalam evaluasi nasional terhadap bukti-bukti yang ia sajikan pada bidangnya. Bisa dipastikan pula bahwa topik yang mereka tulis merupakan topic-topik yang dikuasai. Sejarawan mencurahkan semua pengetahuannya untuk membuat deskripsi, interpretasi, dan penjelsan yang layak dipercaya dalam sebuah buku yang ia tulis. Sehingga kajian-kajian yang mereka tulisan merupakan kajian mendalam dan bisa dipertanggungjawabnkan (McCullagh, 2003).

Kondisi ini sebenarnya menjadi tugas tambahan bagi seorang sejarawan untuk membuat kajian bidang ini tetap eksis dan mendapat tempat di masyarakat terutama generasi alpha. Sejarawaran harus menjawab tantangan bagaimana narasi yang ia sampaikan tetap lengkap tanpa mengalamai reduksi data yang berlebihan. Opsi yang ditawarkan adalah sejarawan harus mampu menyajikan narasi tanpa adanya reduksi atau memberikan cara agar pada penikmat sejarah ini masih dapat menjadikan buku sebagai media penyampaikan informasinya.

Fenomena ini menjadikan tantangan bagi seorang sejarawan agar buku yang menjadi tempat seorang sejarawan dapat terus relevan untuk digunakan. Di masa depan seorang sejarawan tidak hanya harus bergulat dengan penelitian yang ia lakukan, tetapi juga harus memahami bagaimana narasi sejarah yang ia buat di buku-buku dapat dipahami oleh generasi yang melek teknolgi sejak awal. Tantangan shortened attention span yang seringkali terjadi pada kelompok generasi alpha adalah tugas tambahan bagi sejarawan yang akan menulis kajian sejarah terutama dalam bentuk buku.

  • Kesimpulan

Perkembangan teknologi memberikan perkembangan dan kemudian akses informasi yang cepat dan mudah. Implikasi negatifnya perkembangan teknologi dan informasi ini membawa permasalahan yang serius terutama bagi generasi alpha. Kelompok generasi yang sejak awal familiar dengan perkembangan teknologi ini memberikan dampak negatif berupa shortened attention span yang menyebabkan daya tahan pada pekerjaan menjadi terbatas, terutama dalam kegiatan-kegiatan seperti membaca buku. Bagi kalangan sejarawan buku merupakan media yang sampai saat ini masih menjadi salah satu cara untuk menyampaikan hasil-hasil penelitian dan kajiannya. Fenomena ini suatu saat akan menjadi tantangan tersendiri bagi kalangan sejarawan untuk tetap menyajikan informaasi tanpa mengalami reduksi terhadap generasi yang akan datang.

Sumber:

Hidayat, A. (2021). Pendidikan Generasi Alpha: Tantangan Masa Depan Guru Indonesia. Bantul: Jejak Pustaka.

Indrajit, A. N. (2021). Parenting 4.0: Mengenali Pribadi dan Potensi Anak Generasi Multiple Intelligences. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Mark, G. (2023). Attention Span A Groundbreaking Way to Restore Balance, Happiness and Productivity. New York: Hanover Square Press.

McCullagh, C. B. (2003). The Logic of History: Putting Postmodernism in Perspective . London: Routledge.

Radhiyani, F. (2024). Karakteristik Perkembangan Peserta Didik. Bantul: Ananta Vidya.

Wibowo, H. S. (2021). Panduan Literasi Informasi. Semarang: Tiramedia.

Yuliandari, R. N. (2020). Pola Pendidikan Dan Pengasuhan Generasi Alpha. Inventa: Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 108-116.

https://datareportal.com/reports/digital-2024-indonesia, diakses pada hari sabtu,19 Oktober 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun