"Aku ikut," sambutnya. Alhasil, kami bertiga pergi ke perpustakaan. Membolos secara resmi.
Perpustakaan Quart School adalah salah satu bangunan terluas di sekolah ini selain kantinnya. Pihak sekolah agaknya paham betul, bahwa dengan sistem pembelajaran di sekolah ini yang lain dari yang lain, menuntut para muridnya untuk banyak membaca referensi dari luar. Jadilah pihak sekolah membangunkan perpustakaan yang besar dan megah serta mengisinya dengan ribuan buku yang update dan keren-keren. Katakan padaku kawan, apakah mungkin sekolah berharap murid-muridnya rajin membaca kalau perpustakaannya saja tak terurusu, sepertinya tidak ya?
Selamat datang di Perpustakaan Quart School.
Begitu masuk, mencatat nama di buku pengunjung, aku langsung pergi ke rak khusus buku-buku sejarah. Ada sebuah buku yang belum tamat kubaca. Judulnya Sejarah-sejarah Kecil Indonesia. Buku ini tebal bukan main, kawan. Namun, kalimat Pak Hadi yang bilang kalau buku ini adalah sumber kajian komprehensif bagi siapa saja yang ingin mempelajari sejarah Indonesia, membuatku tertantang. Aku ingin menamatkan buku ini. Sekarang aku punya banyak waktu, satu setengah jam sebelum bel pulang berbunyi.
Lain aku, lain lagi dua temanku. Nasri begitu sampai di perpustakaan, langsung mencari tempat duduk lesehan, lalu dia duduk selonjoran, bersandar, dan bengong. Bengong saja. Adapun Lia langsung membaur dengan beberapa murid lainnya yang ada di dalam perpustakaan.
Setengah jam berlalu, aku yang tadi membaca dengan berapi-api, kini mulai bosan. Tak mudah memang kawan, untuk fokus membaca di perpustakaan macam ini. Kucoba membujuk diri membaca lagi, tapi lima menit kemudian, aku menyerah. Pusing kepalaku.
"Ada apa?" tanya Nasri, melihatku meletakkan buku sambil menghela nafas. Seperti orang putus asa.
"Di sini juga membosankan."
"Sebaliknya, bagiku di sini sangat tenang."
"Omong-omong, mana Lia? Apakah kamu melihatnya?"