Mohon tunggu...
Cerita Sepulang Kerja
Cerita Sepulang Kerja Mohon Tunggu... Novelis - Azhar The Explanator

Cerita yang ada di sini, ditulis sepulang kerja, sebagai pelepas penat saya, dan saya berharap siapapun yang membaca cerita ini, juga bisa melepas penatnya juga

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Buku Azka #1: Ketika Lelaki Kutu Buku Itu Jatuh Cinta

11 Maret 2024   19:26 Diperbarui: 11 Maret 2024   19:31 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diilustrasikan oleh Neural.love AI

Prolog

Azka adalah seorang kutu buku yang belum pernah jatuh cinta. Kehidupannya di sekolah Quart School berjalan biasa saja sampai dia bertemu secara tak sengaja dengan seorang gadis bernama Syifa di perpustakaan. Pertemuan itu akan mengubah hidup Azka selamanya. Bagaimana cara Azka mendekati gadis itu, dan bagaimana pula gadis itu mengubah hidupnya?

-------------------------------------------

Hari itu, matahari benar-benar panas memanggang bumi. Jam dinding menunjuk ke angka dua dan dua belas. Di samping jam, ada kertas besar bertuliskan jadwal pelajaran. Tertulis di paling bawah, hari ini, Senin pukul 2 siang, pelajaran ekonomi. Pelajaran terakhir untuk hari ini.

Aku terus mengamati gerak jam dinding sambil berpikir. Dengan kondisi panas begini, tak akan fokus mengikuti pelajaran. Apalagi pembawaan Bu Indah, guru ekonomi kami itu, yang kaku dan membosankan, pasti aku akan tertidur. Aku tidak mau hal itu terjadi, sebab sekolah ini mengizinkan muridnya membolos, tapi tidak mengizinkan muridnya untuk tidur dalam kelas.

Tidak aku tidak boleh tertidur di kelas. Lebih baik membolos saja.

Engkau jangan kaget kawan. Iya, di sekolah kami, Quart School, murid boleh membolos. Murid boleh tidak mengikuti pelajaran yang tidak dia sukai. Sekali lagi jangan kaget atau heran, sekolah kami adalah sebuah anomali, segala macam kebalikan dari sekolah-sekolah pada umumnya. Nantilah aku ceritakan hal itu, sekarang aku sedang berpikir keras, sebelum Bu Indah masuk kelas, beberapa menit lagi, aku harus memutuskan, mau bolos kemana?

Sayang sekali, aku tidak mendapatkan partner untuk menjalankan rencana bolosku. Wahid yang kuajak ke kantin, menolak mentah-mentah.

"Sudah habis uangku Az."

"Nanti kutraktir."

"Tidak mau. Aku sudah kekenyangan. Bisa muntah aku," ujar temanku itu sambil menunjuk-nunjuk mulutnya.

Gagal membujuk Wahid, aku beralih ke Aram, temanku yang lain yang dikenal sebagai biang kenakalan dan tukang buat onar di seluruh sekolah.

"Bolos Az? Bolos kamu bilang? Jangan sembarangan kamu Az. Ekonomi ini pelajaran yang paling penting. Nanti kalau aku sudah berkeluarga bersama Bu Indah, eh maksudku, kalau nanti aku sudah menikah dan berkeluarga, ekonomi ini adalah ilmu pertama yang terpakai. Ini ilmu untuk seumur hidup, Az. Betapa pentingnya pelajaran ekonomi. Tak mau aku membolos, Az."

Seharusnya aku tidak bertanya pada temanku yang satu itu. Bahkan seharusnya namanya tidak usah kuceritakan. Bikin malu saja. 

Derap langkah Bu Indah sudah mulai terdengar di ujung lorong, itu artinya waktu untuk kabur bolos semakin sempit. Jadilah aku, di detik terakhir, terpikir untuk mengajak Nasri. Meski agak gila, sebab Nasri jarang sekali bolos jam pelajaran.

"Nas, mau ikut ke kantin?"

Dia langsung menggeleng. Habis sudah harapan.

"Baiklah. Kalau tidak ada yang mau, ya sudah, aku ke perpustakaan saja deh."

"Tunggu, apa? Perpustakaan? Aku ikut." Nasri tiba-tiba berdiri. Aku menatapnya tidak percaya. "Ya, aku mau berganti suasana. Di sini terlalu membosankan. Ayo."

"Hei, hei, kalian berdua mau kemana?" tegur seorang gadis mungil yang duduk di deretan bangku paling depan. Kenalkan dia kawan, namanya Lia. Dahlia Anggraini. Dia adalah sahabatku.

"Ke perpustakaan," sahutku singkat.

"Aku ikut," sambutnya. Alhasil, kami bertiga pergi ke perpustakaan. Membolos secara resmi.

Diilustrasikan oleh Neural.love AI
Diilustrasikan oleh Neural.love AI

Perpustakaan Quart School adalah salah satu bangunan terluas di sekolah ini selain kantinnya. Pihak sekolah agaknya paham betul, bahwa dengan sistem pembelajaran di sekolah ini yang lain dari yang lain, menuntut para muridnya untuk banyak membaca referensi dari luar. Jadilah pihak sekolah membangunkan perpustakaan yang besar dan megah serta mengisinya dengan ribuan buku yang update dan keren-keren. Katakan padaku kawan, apakah mungkin sekolah berharap murid-muridnya rajin membaca kalau perpustakaannya saja tak terurusu, sepertinya tidak ya?

Selamat datang di Perpustakaan Quart School.

Begitu masuk, mencatat nama di buku pengunjung, aku langsung pergi ke rak khusus buku-buku sejarah. Ada sebuah buku yang belum tamat kubaca. Judulnya Sejarah-sejarah Kecil Indonesia. Buku ini tebal bukan main, kawan. Namun, kalimat Pak Hadi yang bilang kalau buku ini adalah sumber kajian komprehensif bagi siapa saja yang ingin mempelajari sejarah Indonesia, membuatku tertantang. Aku ingin menamatkan buku ini. Sekarang aku punya banyak waktu, satu setengah jam sebelum bel pulang berbunyi.

Lain aku, lain lagi dua temanku. Nasri begitu sampai di perpustakaan, langsung mencari tempat duduk lesehan, lalu dia duduk selonjoran, bersandar, dan bengong. Bengong saja. Adapun Lia langsung membaur dengan beberapa murid lainnya yang ada di dalam perpustakaan.

Setengah jam berlalu, aku yang tadi membaca dengan berapi-api, kini mulai bosan. Tak mudah memang kawan, untuk fokus membaca di perpustakaan macam ini. Kucoba membujuk diri membaca lagi, tapi lima menit kemudian, aku menyerah. Pusing kepalaku.

"Ada apa?" tanya Nasri, melihatku meletakkan buku sambil menghela nafas. Seperti orang putus asa.

"Di sini juga membosankan."

"Sebaliknya, bagiku di sini sangat tenang."

"Omong-omong, mana Lia? Apakah kamu melihatnya?"

"Tadi kulihat dia sedang duduk di meja bundar di bagian tengah."

"Aku mau ke sana saja," sahutku berdiri, "kau mau ikut."

Nasri menggeleng. Dia kembali bengong. Akhirnya kuletakkan kembali buku tebal Sejarah-sejarah Kecil Indonesia itu, dan kuhampiri Lia. Nasri benar, Lia duduk di meja bundar. Ada seorang gadis yang duduk bersamanya. Aku melangkah ke depan, duduk berhadapan.

"Halo, kuharap kalian tidak keberatan kalau aku bergabung," ucapku.

"Hai Az. Silakan duduk. Kulihat tadi kamu serius sekali membaca buku. Kok berhenti?"

"Bosan, Lia. Sampai sakit kepalaku membaca... buku itu." Aku sempat tertegun.

"Oh ya, memangnya apa judulnya?" tanya Lia lagi. Gadis ini memang pandai untuk menyambungkan topik.

"Sejarah kecil.... Indonesia." Aku tertegun lagi.

"Judulnya kedengaran menarik. Apa saja isinya?"

Bukan, bukan Lia yang baru saja bicara. Melainkan gadis di sampingnya. Ketika aku menoleh kepadanya, gadis itu menampilkan senyumnya yang manis. Matanya mengerjap-ngerjap, cemerlang.

"Eh isinya, isinya tentang, sejarah Indonesia."

Gadis itu tertawa kecil. "Ya pastilah. Maksudku bagaimana yang dimaksud sejarah kecil itu. Sejarah kecil, istilah yang unik."

Kawan, apa yang harus kulakukan. Aku gemetar. Gadis di depanku ini entah bagaimana bisa membuatku gugup tanpa melakukan apapun. Dia hanya bertanya. Tapi senyumnya, matanya yang cemerlang itu, astaga. Pesonanya seolah menembus ke dalam tubuhku, melewati tenggorokan (kerongkongan secara teknis), ke lambung, berbelok sedikit, masuk ke hati.

HUAHHHHHHH!

Aku malah menguap!

Diilustrasikan oleh Neural.love AI
Diilustrasikan oleh Neural.love AI

"Eh kalau menguap, mulutnya ditutup, nanti kemasukan setan." Gadis itu reflek menegurku, genap membuatku salah tingkah. Bisa kulihat Lia tersenyum misterius melihat tingkahku.

"Maaf, aku memang mengantuk sejak di kelas tadi."

Gadis itu malah tertawa kecil. "Tidak apa," katanya kemudian. "Tak perlu minta maaf. Kamu tidak salah apa-apa kok."

Beruntung, sebelum aku semakin kikuk, tiba-tiba seseorang lelaki, datang, mendekat dan langsung duduk di kursi sebelahku. Kursi yang menghadap langsung ke arah gadis itu.

"Eh Syifa, Syifa, aku punya kabar terbaru nih."

"Oh ya, ada apa?" bisa kulihat matanya tetap berbinar. Gadis ini, saat dia penasaran, dia terlihat begitu cantik.

"Kemarin, aku bertemu dengan bapakmu di kantor kecamatan."

Aku langsung menyernit kening. Basa-basi macam apa ini. Apakah pria ini tidak bisa berbasa-basi? Itu adalah kalimat paling tak bermutu yang pernah kudengar.

"Oh ya?" gadis ini tetap menghadiahi basa-basi tak bermutu itu dengan keramahan, dia memasang senyum dan tertawa kecil.

"Tunggu," Lia menyerobot, "bagaimana bisa kamu mengenali bapaknya Syifa? Jangan-jangan kamu cuma ngaku-ngaku."

"Tentu saja aku benar-benar bertemu dengan bapaknya Syifa. Aku kan datang ke kantor kecamatan memakai seragam Quart School. Beliau mengenali seragamku dan kami berbincang. Dari sana aku tahu kalau beliau adalah bapaknya Syifa."

Sumpah kawan, aku ingin sekali menanyakan ini pada orang yang duduk di sebelahku ini, sambil meneriakinya. Apa pentingnya kita membahas ini? Namun gadis bermata cemerlang di depanku tetap tersenyum. Seolah-olah hidupnya penuh dengan keriangan. Gadis ini benar-benar menarik!

-------------------------------------------

Disclaimer penulis

Cerita ini dibuat setelah pulang kerja untuk pelepas penat saja. Saya berharap kisah ini bisa dinikmati siapa saja, entah itu sepulang kerja juga, atau sambil santai ngopi di pagi hari. Satu peringatan dari saya, ini bukan cerita novel yang bersambung secara urut. Kalau anda, ingin membaca lebih banyak cerita seperti ini, bisa main ke lapak saya di Karya Karsa dengan nama pena yang sama. 

Salam hangat, Azhar The Explanator

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun